HomeNalar PolitikJokowi-Duterte, Kemenangan Beruntun Tiongkok?

Jokowi-Duterte, Kemenangan Beruntun Tiongkok?

Kemenangan kandidat-kandidat sekutu politik Presiden Filipina Rodrigo Duterte dalam Pemilu Sela Fipina 2019 dianggap juga sebagai kemenangan Tiongkok. Hal ini juga disebut-sebut sebagai kemenangan beruntun bagi Tiongkok di Asia Tenggara setelah Joko Widodo (Jokowi) dinyatakan menang dalam Pilpres di Indonesia.


PinterPolitik.com

“Last week you was hectic, this week I ain’t stressin’. I know I’m on a winning streak” – DeJ Loaf, penyanyi rap asal AS

Koalisi Hugpong ng Pagbabago (HNP) milik putri Duterte, Sara Duterte, disebut-sebut telah memenangkan sembilan dari 12 kursi Senat yang diperebutkan. Dengan hasil Pemilu tersebut, jumlah anggota oposisi yang tersisa dalam Senat menjadi hanya empat kursi.

Kandidat-kandidat Senat yang didukung Duterte di antaranya adalah orang-orang yang memiliki koneksi dekat dengannya, seperti Christopher Go yang merupakan mantan asisten personal Duterte dan mantan Kepala Kepolisian Ronald dela Rosa. Selain Go dan dela Rosa, terdapat juga Imee Marcos yang merupakan putri dari mantan Presiden Filipina Ferdinand Marcos – presiden yang dijatuhkan dalam Revolusi People Power 1986 – dan Cynthia Villar, istri dari taipan Filipina, Manny Villar.

Kemenangan kandidat-kandidat ini nantinya dapat semakin mengamankan posisi Duterte yang beberapa kebijakannya sering kali dihalangi oleh oposisi. Bahkan, kemenangan ini akan membawa keadaan super-mayoritas Senat di bawah Presiden Filipina tersebut.

Tentunya, dengan penguasaan Senat oleh koalisi Duterte ini, perjalanan agenda-agenda legislatif Duterte dipredikisi juga akan semakin lancar, seperti pemberlakuan hukuman mati, menurunkan batas usia kriminal, serta amandemen konstitusi 1987 yang menggeser sistem pemerintahan menjadi federal.

Dengan kemenangan ini pula, Duterte diprediksi akan semakin melanggengkan kebijakan-kebijakannya yang pro-Tiongkok yang sebelumnya banyak dikritik oleh oposisi yang merupakan buntut dari ketegangan hubungan Filipina-Tiongkok akibat sengketa di Laut China Selatan.

Lalu, bagaimana kemenangan koalisi Duterte di Pemilu Sela 2019 dapat menjadi kemenangan bagi Tiongkok juga? Apa hubungannya dengan Indonesia?

Duterte Berkonsolidasi?

Dominasi legislatif oleh kekuasaan eksekutif seperti Duterte bukan merupakan hal yang baru. Bahkan, dominasi semacam ini dapat mengarah pada pemerintahan yang semakin otoriter.

Dominasi kekuasaan seperti ini disebut sebagai konsolidasi kekuasaan. Dengan mengkonsolidasikan kekuasaan, bentuk pengawasan terhadap pemerintah (eksekutif) semakin minim. Hal ini membuat pemerintah semakin lenggang dalam mengambil keputusan.

Menurut Profesor Kacung Marijan dari Universitas Airlangga (UNAIR), konsolidasi kekuasaan merupakan upaya dari pemerintah untuk mempermudah proses pengambilan keputusan politik. Salah satunya adalah dengan meningkatkan soliditas di antara pihak-pihak yang terlibat dalam pengambilan keputusan.

Konsolidasi kekuasaan yang bersejarah pernah terjadi di Jerman pada abad ke-20. Pada tahun awal tahun 1930-an, Jerman merupakan negara di Eropa yang menggunakan sistem pemerintahan demokratis yang hampir sama dengan Inggris.

Konsolidasi kekuasaan merupakan upaya pemerintah untuk mempermudah proses pengambilan keputusan politik, seperti dengan meningkatkan soliditas. Share on X
Baca juga :  Betulkah Jokowi Melemah? 

Dengan Pemilu tersebut, koalisi Hitler yang berisikan Partai Nazi dan Partai Nasional Rakyat Jerman mendominasi Pemilu dengan total suara 51,9 persen – masing-masing memperoleh 43,9 persen dan 8 persen. Dengan dominasi koalisi tersebut, Reichstag mengeluarkan undang-undang Ermächtigungsgesetz – UU Pemberian Kuasa – yang mengizinkan Hitler untuk mengeluarkan peraturan sendiri tanpa persetujuan parlemen.

Hitler pun mulai menghabisi lawan-lawan politiknya dengan berlakunya UU tersebut, seperti anggota-anggota Partai Komunis Jerman. Selain itu, peraturan ini juga menghilangkan posisi Reichstag sebagai oposisi bagi kanselir.

Penghabisan oposisi oleh Hitler ini dilakukan dengan membubarkan serikat-serikat buruh dan melarang partai-partai politik lain. Manuver tersebut akhirnya menghilangkan sistem demokratis di Jerman dengan hanya menyisakan satu partai politik, yaitu Partai Nazi.

Langkahnya untuk menjadi Führer semakin melenggang dengan pembentukan Schutzstaffel (SS) – organisasi paramiliter milik Hitler secara personal – yang membunuh oposisi-oposisinya, seperti 400 anggota Sturmabteilung (SA) – organisasi paramiliter Nazi sendiri – dan kanselir sebelumnya, Kurt von Schleicher.

Konsolidasi kekuasaan yang dilakukan Hitler ini dapat dijelaskan menggunakan game theory. Rodolfo Coelho Prates dari Universidade Federal do Paraná mencoba menghubungkan konsep kekuatan dengan teori tersebut dalam tulisannya yang berjudul “Power in Game Theory.”

Dalam game theory, dijelaskan bahwa terdapat persaingan di antara dua pihak dalam suatu permainan. Menurut Prates, konsep kekuasaan di sini memainkan peran dalam upaya peraihan keuntungan di antara dua belah pihak dalam permainan tersebut. Kekuatan menjamin pemenuhan kepentingan di antara dua belah pemain.

Jika kita aplikasikan dalam situasi konsolidasi kekuasaan, pelaku politik tentunya berusaha memperoleh keuntungan dengan mendapatkan kekuasaan dan otoritas lebih. Dalam kasus Hitler misalnya, sang Führer berusaha meniadakan lawannya dengan kekuasaan dan otoritasnya.

Semakin besar kekuasaan yang dimiliki oleh Hitler, semakin kecil pula kesempatan oposisi untuk melawan sang Führer. Dalam puncaknya, Hitler dapat mendapatkan kekuasaan absolut dan memenangkan zero-sum game.

Lalu, bagaimana dengan Duterte yang semakin berkuasa di Filipina?

Dengan melihat penjelasan teori tersebut, Duterte bisa jadi memiliki kesempatan untuk melakukan konsolidasi atas kekuasaannya. Dengan kekuatan politiknya yang meningkat, bukan tidak mungkin Duterte akan memengaruhi game politik di Filipina.

Meskipun belum diketahui seberapa jauh kekuatan tersebut akan digunakan oleh Duterte, kebijakan-kebijakan yang diinginkan oleh sang presiden diprediksi akan dapat dilanggengkan, seperti yang Hitler lakukan dengan Ermächtigungsgesetz-nya.

Dari sini, kemenangan Tiongkok dapat terwujudkan secara langgeng. Richard Heydarian dalam tulisannya di South China Morning Post menjelaskan bahwa peningkatan kekuatan ini membuat Duterte semakin berkemampuan untuk menyempurnakan kebijakan-kebijakannya yang berporos pada Tiongkok.

Sebelumnya, Tiongkok dan Filipina memiliki beberapa perjanjian terkait Belt and Road Initiative (BRI), yaitu bantuan pembangunan senilai Rp 2.129 triliun dan paket investasi senilai Rp 172 triliun. Heydarian menilai pengaruh Tiongkok nantinya akan meningkat dan berujung pada kerja sama ekonomi lainnya, bahkan, hingga kerja sama pertahanan yang selama ini lebih banyak dilakukan dengan Amerika Serikat (AS).

Baca juga :  Hasan Nasbi-Qodari 24 Jubir Satset

Tiongkok On A Streak?

Kemenangan Jokowi dalam Pilpres 2019 juga turut disertai dengan kemenangan koalisi partai-partai politik pendukungnya dalam Pileg 2019. Koalisi tersebut total memperoleh suara sebesar 56,96 persen (PDIP 20,23 persen; Golkar 12,94 persen; PKB 9,94 persen; Nasdem 9,39 persen; dan PPP 4,46 persen).

Dengan kemenangan mayoritas atas kursi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Jokowi bisa jadi lebih mudah dalam melakukan konsolidasi kekuatan guna mendukung program dan kebijakannya. Belum lagi, beberapa partai politik lainnya yang dikabarkan akan bergabung bersama koalisi Jokowi, seperti Partai Demokrat yang memperoleh suara sebesar 7,72 persen dan PAN yang memperoleh 6,69 persen.

Jika kemenangan koalisi Duterte dalam Pemilu Sela Filipina 2019 menjamin kemenangan Tiongkok di Manila, bagaimana dengan Pemilu 2019 bagi posisi negara panda tersebut di Jakarta?

Tidak menutup kemungkinan juga, konsolidasi kekuasaan tersebut dapat digunakan oleh Jokowi untuk memenuhi kebijakan-kebijakan infrastrukturnya yang selama ini dapat mendulang perolehan suara bagi Jokowi. Tentunya, beberapa proyek infrastuktur tersebut dikabarkan akan menggunakan pinjaman dari Tiongkok.

Dalam arti lain, melalui kebijakan-kebijakan tersebut menjadi kepanjangan dari inisatif BRI yang digembar-gemborkan oleh Presiden Tiongkok Xi Jinping. Seperti yang dijelaskan oleh Muhammad Zulfikar Rakhmat dan Dikanaya Tarahita dalam tulisannya di South China Morning Post, periode kedua Jokowi dapat menjadi pertanda bagi semakin dekatnya hubungan Indonesia-Tiongkok di masa mendatang terkait inisiatif BRI.

April lalu misalnya, KTT BRI yang dihadiri oleh Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Luhut Binsar Pandjaitan berujung pada penekenan nota kesepahaman terkait 9 proyek infrastruktur yang akan dilaksanakan di beberapa wilayah Indonesia, seperti Bali, Kalimantan Utara, Sulawesi Utara, dan Sumatera Utara.

Jokowi sendiri sepertinya juga memiliki kekaguman tersendiri pada Presiden Xi dan pembangunan Tiongkok yang pesat. Bahkan, beberapa tips pembangunan yang diberikan oleh Xi tampaknya telah diwujudkan oleh Jokowi dalam kebijakan-kebijakannya.

Jika ditarik pada skala kontestasi politik yang lebih besar, kemenangan Jokowi dan koalisi Duterte di masing-masing negara dapat membawa dampak besar bagi Tiongkok. Bisa jadi, hal ini merupakan kemenangan yang berturut-turut (winning streak) bagi Tiongkok dalam upaya penguatan pengaruhnya yang dicegat oleh negara-negara Barat, seperti AS dan Australia.

Hal ini menjadi pertanda baik bagi Tiongkok di tengah-tengah tumbuhnya gelombang anti-Tiongkok di beberapa negara Asia, termasuk kawasan Asia Tenggara. Pemilu Malaysia 2018 misalnya, menjadikan narasi-narasi anti-Tiongkok sebagai salah satu isu dan faktor yang memenangkan Mahathir Mohammad sebagai Perdana Menteri – sekalipun pada akhirnya pria 93 tahun itu belakangan juga terlihat kembali mengarah pada negara panda tersebut.

Pada akhirnya, lirik rapper DeJ Loaf di awal tulisan pun menjadi relevan. Tiongkok tampaknya tetap memperoleh winning streak tanpa perlu berat-berat memikirkan gelombang anti-Tiongkok di beberapa negara. Mungkin, pesta demokrasi tahun ini di Indonesia adalah perayaannya. Semoga masyarakat tetap diundang untuk menikmati hasilnya secara terstruktur, sistematis, dan masif. (A43)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

More Stories

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?