HomeNalar PolitikJokowi dan Ancaman Perang Teknologi

Jokowi dan Ancaman Perang Teknologi

Pada tahun 2021 ini, Perang Dingin baru di bidang teknologi antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Amerika Serikat (AS) bisa saja semakin memanas dengan transisi pemerintahan dari Donald Trump ke Joe Biden. Lantas, mungkinkah ada ancaman dari perang ini terhadap pemerintahan Joko Widodo (Jokowi)?


PinterPolitik.com

“Technology bought my soul” – Kendrick Lamar, penyanyi rap asal Amerika Serikat (AS)

Setelah terjadi insiden penyerangan Gedung Capitol di Amerika Serikat (AS), transisi pemerintahan dari Presiden AS Donald Trump ke Joe Biden diprediksi akan membawa perubahan.

Banyak prediksi ahli mengatakan bahwa pemerintahan Biden ke depannya akan tetap mengupayakan persaingan guna menghalau Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Bahkan, mantan Wakil Presiden (Wapres) AS tersebut diperkirakan akan berusaha untuk menggandeng negara-negara Asia lainnya, termasuk Indonesia.

Seperti yang pernah disebutkan oleh John J. Mearsheimer – profesor politik di University of Chicago, AS, persaingan antara Tiongkok dan AS ini bisa saja berakhir layaknya Perang Dingin. Bahkan, tidak tanggung-tanggung, persaingan juga bisa berujung pada perang terbuka bila tensi terus meningkat.

Baca Juga: Huawei, Rintangan Jokowi dan Biden?

Jokowi Pilih Telegram atau WhatsApp

Menariknya, Jing Lee dalam tulisannya yang berjudul In a fragile world, what does the US have to gain from a new cold-war conflict with China? di South China Morning Post (SCMP) menyebutkan bahwa Perang Dingin kali ini tidak akan sama seperti Perang Dingin antara AS dan Uni Soviet yang berlandaskan pada ideologi. Justru, persaingan lebih terletak pada penguasaan teknologi.

Bagaimana tidak? Penguasaan teknologi ini disebut-sebut menjadi salah satu fitur utama kebangkitan Tiongkok. Bahkan, negara yang dipimpin Presiden Xi Jinping tersebut dinilai bisa bangkit dan menyaingi tatanan dunia (order) liberal ala AS.

Persaingan ini terlihat dari bagaimana pemerintahan Trump sempat mendorong kampanye agar produk-produk teknologi asal Tiongkok diwaspadai karena alasan keamanan. Meski begitu, sejumlah instansi pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) tetap menggunakan teknologi asal Tiongkok – seperti Huawei dan ZTE.

Lantas, apakah mungkin ancaman teknologi milik Tiongkok dapat menghantui pemerintahan Jokowi? Mengapa teknologi menjadi fitur penting dalam Perang Dingin baru antara Tiongkok dan AS?

Teknologi Baru: Kunci Kuasai Dunia?

Bukan tidak mungkin, perang teknologi antara Tiongkok dan AS ini akan mengisi dinamika geopolitik, termasuk di Asia. Pasalnya, teknologi disebut dapat menjadi kunci bagi dominasi dan hegemoni.

Asumsi seperti ini datang dari Max Boot dalam bukunya yang berjudul War Made New. Setidaknya, bila dipelajari dari perkembangan zaman dan perubahan hegemon di dalamnya, penguasaan teknologi yang terbaru menjadi penentu pergeseran dominasi dunia dan keseimbangan kekuatan (balance of power atau BoP).

Baca juga :  MK Bisa Hanya Diskualifikasi Gibran, Tapi Sahkan Prabowo?

Baca Juga: Big Data, Solusi Corona Jokowi?

Hal ini terlihat kala era sebelum bubuk mesiu ditemukan – sekitar tahun 600-700-an. Pada zaman itu, Tiongkok dan Kekaisaran Mongol mampu menjadi aktor dominan di dunia – hingga menguasai sekitar 14 persen wilayah dunia.

Namun, setelah bubuk mesiu ditemukan di Tiongkok, perubahan BoP mulai terjadi. Meski peradaban Tiongkok menjadi penemu teknologi tersebut, bangsa Eropa disebut dianggap lebih baik dalam menguasai teknologi tersebut sehingga mampu mendominasi sekitar 84 persen wilayah dunia.

Pergeseran kekuatan dunia seperti ini terus terjadi seiring perkembangan zaman. Kala mesin uap ditemukan pada era Revolusi Industri, Jepang dan Jerman dinilai mampu menguasai teknologi dengan baik.

Setelah Perang Dunia I berakhir, BoP juga kembali bergeser dan didominasi oleh AS dan Uni Soviet. Pergeseran BoP turut terjadi pasca-Perang Dingin setelah AS dianggap mampu menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi lebih baik.

Kini, penguasaan teknologi lebih berpusat pada bidang informasi dan komunikasi – seperti teknologi internet. Selama ini, bisa dibilang AS mampu menguasai teknologi-teknologi terbaru terlebih dahulu – misalnya teknologi 4G yang mulanya merupakan gagasan dari proyek-proyek pertahanan AS.

Dengan adanya hubungan saling mengartikan antara penguasaan teknologi dan dominasi kekuatan, bukan tidak mungkin teknologi terbaru – sebut saja 5G yang dikembangkan oleh Tiongkok – dapat menjadi ancaman bagi supremasi (primacy) dari AS.

Bisa jadi, inilah alasan mengapa Perang Dingin baru terjadi antara AS dan Tiongkok. Bila benar perang teknologi dapat berlanjut di era pemerintahan Biden di AS, lantas bagaimana dengan nasib Indonesia? Apa langkah yang dapat dilakukan oleh pemerintahan Jokowi?

Saatnya Jokowi Ambil Momentum?

Dengan adanya perang teknologi antara AS dan Tiongkok, bisa saja pemerintahan Jokowi menghadapi sejumlah tantangan di masa mendatang. Boleh jadi, Indonesia perlu menjembatani pengaruh dari penguasaan teknologi masing-masing negara tersebut.

Kala pemerintahan Jokowi menyepakati sejumlah pengembangan teknologi bersama Huawei, misalnya, AS bukan tidak mungkin akan meradang. Apalagi, di tengah pemerintahan Biden nanti, supremasi dan hegemoni AS disebut-sebut akan kembali digaungkan – tidak seperti Trump yang lebih mengumandangkan doktrin “America First”.

Baca juga :  Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Baca Juga: Jokowi dan Bayang Kontrol WhatsApp

Kapal Tiongkok Masuk Indonesia Lagi

Di sisi lain, pemerintahan Jokowi kerap dianggap lebih menekankan prinsip yang pragmatis dalam menjalankan politik luar negerinya. Seperti yang dijelaskan oleh Ben Bland dalam bukunya yang berjudul Man of Contradictions, Tiongkok lah yang dianggap mampu memberikan banyak keuntungan bagi pemerintahan Jokowi – seperti pinjaman yang murah dan investasi di bidang infrastruktur.

Bukan tidak mungkin, pemerintahan Biden di AS nanti akan berupaya keras untuk menggeser pengaruh Tiongkok dari Indonesia. Dalam hal lain, selain perang teknologi terjadi antara dua raksasa tersebut, persaingan juga bisa saja terjadi di Indonesia guna mendapatkan pengaruh lebih.

Meski terdengar dapat menjadi persoalan di masa mendatang, bukan tidak mungkin ini menjadi kesempatan bagi pemerintahan Jokowi. Bila belajar dari pengalaman Tiongkok, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang mereka lakukan sebenarnya terjadi dalam kerangka tatanan dunia liberal yang digagas AS.

Tiongkok menjadi salah satu negara yang disebut mampu menerapkan sebuah strategi yang disebut sebagai from imitation to innovation (dari imitasi ke inovasi). Kesuksesan Tiongkok ini disebut berhasil karena terjadi proses alih teknologi (technology transfer) sehingga pengetahuan akan teknologi tersebut mampu dikuasai oleh negara penerima investasi – atau investasi langsung (foreign direct investment/FDI).

Hal inilah yang mungkin akan ditiru oleh pemerintahan Jokowi. Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) atau omnibus law, misalnya, bisa saja menjadi back-up bagi pemerintahan Jokowi guna mewujudkan alih teknologi yang selama ini dinilai sulit terjadi di Indonesia.

UU Ciptaker dikabarkan akan mewajibkan investor-investor asing agar memastikan alih teknologi dapat terjadi. Dalam prosesnya, alih teknologi ini bisa saja menciptakan brain gain (peningkatan pengetahuan dan kemampuan) bagi Indonesia sendiri.

Pasalnya, selama ini, Indonesia disebut kerap mengalami brain drain (penurunan kemampuan dan pengetahuan). Bagaimana tidak? Banyak warga negara Indonesia (WNI) yang berpengetahuan tinggi tidak ingin bekerja di negaranya sendiri.

Faktor-faktor inilah yang mungkin dapat menghambat penguasaan teknologi Indonesia. Maka dari itu, Perang Dingin baru ini dapat menjadi kesempatan baru bagi Jokowi untuk mengambil momen yang tepat.

Meski begitu, Indonesia bisa saja masih sulit dalam mewujudkan penguasaan teknologi baru untuk menjadi negara yang berpengaruh di dunia. Semoga masa depan Indonesia dengan teknologi baru tersebut bisa terwujud. (A43)

Baca Juga: Mata-mata Asing ‘Bayangi’ Jokowi?

spot_imgspot_img

#Trending Article

Rahasia Besar Presidential Club Prabowo?

Presiden ke-8 RI Prabowo Subianto disebut menggagas wadah komunikasi presiden terdahulu dengan tajuk “Presidential Club”. Kendati menuai kontra karena dianggap elitis dan hanya gimik semata, wadah itu disebut sebagai aktualisasi simbol persatuan dan keberlanjutan. Saat ditelaah, kiranya memang terdapat skenario tertentu yang eksis di balik kemunculan wacana tersebut.

Apa Siasat Luhut di Kewarganegaran Ganda?

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan agar kewarganegaraan ganda untuk diaspora Indonesia diperbolehkan. Apa rugi dan untungnya?

Budi Gunawan Menuju Menteri Prabowo?

Dengarkan artikel ini: Nama Kepala BIN Budi Gunawan disebut-sebut sebagai salah satu kandidat calon menteri yang “dititipkan” Presiden Jokowi kepada Presiden Terpilih Prabowo Subianto. Hal...

Bukan Teruskan Jokowi, Prabowo Perlu Beda?

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto selalu sebut akan lanjutkan program-program Presiden Jokowi, Namun, haruskah demikian? Perlukah beda?

Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Peluang tak adanya oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran sangat terbuka.Ini karena beberapa partai yang awalnya menjadi lawan Prabowo-Gibran, kini sudah mulai terang-terangan menyatakan siap menjadi bagian dari pemerintahan.

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

More Stories

Apa Siasat Luhut di Kewarganegaran Ganda?

Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan mengusulkan agar kewarganegaraan ganda untuk diaspora Indonesia diperbolehkan. Apa rugi dan untungnya?

Bukan Teruskan Jokowi, Prabowo Perlu Beda?

Presiden terpilih RI, Prabowo Subianto selalu sebut akan lanjutkan program-program Presiden Jokowi, Namun, haruskah demikian? Perlukah beda?

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?