Dengarkan artikel ini:
Di tengah dinamika global seperti konflik Iran-Israel, haruskah Presiden Prabowo Subianto mulai mempersiapkan Indonesia untuk skenario terburuk?
“Mada kono sekai wa” – RADWIMPS, “Sparkle” (2016)
Kenny, seorang mahasiswa Hubungan Internasional semester enam, baru saja membuka aplikasi X di pagi hari saat ia menyeduh kopinya. Ia tertegun melihat deretan video yang diunggah oleh akun-akun resmi militer Israel dan Iran—menampilkan ledakan, peluncuran rudal, dan klaim keberhasilan masing-masing pihak dalam menggempur wilayah musuh.
“Ini bukan lagi sekadar perang narasi,” gumam Kenny, yang telah mempelajari bagaimana media sosial menjadi medan baru dalam konflik modern. Di satu sisi, IDF memamerkan rudal-rudalnya yang menghantam wilayah dekat Teheran, sementara IRGC membalas dengan klip serangan udara ke Tel Aviv yang diklaim sebagai “pembalasan ilahi.”
Sebagai mahasiswa HI, Kenny sadar bahwa konflik ini tidak berdiri sendiri. Ia tahu sejarah panjang ketegangan Iran-Israel: isu nuklir, proksi di Lebanon dan Suriah, serta tarik-menarik pengaruh di kawasan Timur Tengah yang terus membara sejak dekade 1980-an.
Namun, yang membuat Kenny semakin waspada adalah bagaimana konflik ini bisa menyentuh kawasan lain, bahkan Asia Tenggara. Ia membaca analisis bahwa ketegangan global seperti ini bisa berdampak pada stabilitas energi, keamanan maritim, hingga tekanan diplomatik terhadap negara-negara yang menjalin relasi dagang dengan kedua pihak.
Kenny menatap layar ponselnya yang terus memperbarui kabar—serangan baru, pernyataan pejabat tinggi, dan semakin banyak retorika yang memanas. Ia bertanya-tanya dalam hati: Mengapa konflik ini bisa terjadi dan terus terulang? Dan mengapa pemerintahan Indonesia di bawah Presiden Prabowo Subianto juga harus berhati-hati dalam menyikapi situasi yang penuh bara ini?
Dunia Semakin Terbakar?
Kenny duduk di sudut perpustakaan kampus, membuka kembali buku The Tragedy of Great Power Politics karya John J. Mearsheimer. Dalam bukunya, Mearsheimer menekankan bahwa sistem internasional bersifat anarkis—tidak ada otoritas tertinggi yang bisa menjamin keamanan setiap negara secara mutlak.
Di bawah anarki ini, tulis Mearsheimer, negara-negara tidak punya pilihan selain mencurigai satu sama lain dan memperkuat diri mereka sendiri. Kenny mencatat satu kutipan penting: “States fear each other, and that fear drives them to compete for power.”
Kenny pun mulai memahami mengapa kawasan seperti Timur Tengah terus dilanda ketegangan dan konflik. Ketidakpastian membuat setiap negara, termasuk Iran dan Israel, merasa harus mempersenjatai diri untuk bertahan hidup, bahkan dengan senjata nuklir.
Menurut Mearsheimer, logika kekuasaan dan rasa tidak aman menciptakan apa yang ia sebut security dilemma. Upaya satu negara untuk merasa aman justru membuat negara lain merasa terancam, menciptakan siklus perlombaan senjata dan konflik berkepanjangan.
Kenny menghubungkan teori ini dengan kenyataan yang ia lihat di media sosial: Iran yang terus menegaskan hak atas program nuklirnya, dan Israel yang merasa eksistensinya terancam. Dua negara yang terjebak dalam dilema keamanan, dengan dunia mengamati dalam ketegangan.
Dalam benaknya, Kenny mulai bertanya: Lantas, apa yang harus diwaspadai oleh Presiden Prabowo Subianto di tengah dinamika ini? Dan sebagai negara nonblok yang menjunjung perdamaian, langkah apa yang harus diambil Indonesia ke depannya agar tidak terseret dalam badai ketegangan global ini?
Saatnya Prabowo Bikin Nuklir?
Kenny menutup bukunya sesaat dan menghela napas, lalu menatap peta Asia Tenggara yang tergantung di dinding ruang baca fakultas. Ia membayangkan bagaimana konsep anarki internasional yang dijelaskan Mearsheimer tidak hanya berlaku di Timur Tengah, tapi juga di kawasan tempat Indonesia berada.
Dalam The Tragedy of Great Power Politics, Mearsheimer menjelaskan bahwa “anarchy leaves great powers little choice but to compete for power if they hope to survive.” Bagi Kenny, ini menjelaskan mengapa negara-negara Asia Tenggara kini mulai memperkuat kekuatan militernya secara perlahan tapi pasti.
Indonesia, meski saat ini menekankan program nuklirnya untuk energi, juga tak bisa mengelak dari dorongan memperkuat pertahanan. Kenny membaca berita tentang rencana modernisasi alutsista, pembelian jet tempur, kapal selam, dan peningkatan anggaran pertahanan nasional.
Hal serupa juga terjadi di negara-negara tetangga seperti Vietnam, Filipina, dan Singapura. Semua bergerak cepat, terutama di tengah ketegangan Laut China Selatan dan rivalitas antara Republik Rakyat Tiongkok (RRT) dan Amerika Serikat (AS) yang terus membesar di kawasan Asia-Pasifik.
Mearsheimer menyebut kondisi ini sebagai balance of power politics—negara-negara kecil cenderung memperkuat diri atau mencari pelindung dari kekuatan besar untuk mengimbangi ancaman. Kenny menyadari bahwa dalam dunia tanpa wasit ini, tidak ada jaminan aman kecuali jika negara siap menghadapi skenario terburuk.
Karena itu, Kenny menyimpulkan bahwa Presiden Prabowo Subianto tidak hanya harus berbicara soal perdamaian, tapi juga bersiap menghadapi realitas keras politik internasional. Jika anarki adalah kodrat sistem global, maka pertanyaannya: apakah Indonesia sudah cukup siap dengan kekuatan militernya bila badai benar-benar datang? (A43)