Dengarkan artikel berikut. Audio ini dibuat dengan teknologi AI.
Sejumlah ahli mulai menilai bahwa konflik di Ukraina dan Timur Tengah mungkin bukan sekadar ketegangan regional biasa—bisa jadi itu tanda bahwa Perang Dunia III sudah dimulai diam-diam. Jika melihat sejarah, akumulasi konflik kecil bisa jadi pemicu bencana global besar.
Beberapa waktu terakhir, kekhawatiran global terhadap ancaman perang besar semakin terasa nyata. Dunia seperti tidak pernah kehabisan titik api konflik.
Setelah dunia dibuat deg-degan oleh ketegangan antara dua negara bersenjata nuklir—India dan Pakistan—yang sempat meningkat beberapa waktu lalu, kini sorotan beralih ke Timur Tengah. Eskalasi konflik antara Israel dan Iran, yang masing-masing memiliki kekuatan militer besar dan jaringan aliansi regional, menyulut kecemasan tersendiri.
Namun, bukan hanya itu. Konflik bersenjata antara Rusia dan Ukraina yang telah berlangsung lebih dari dua tahun belum menunjukkan tanda-tanda akan berakhir. Alih-alih mereda, konflik ini justru menimbulkan efek domino geopolitik, termasuk peningkatan pengeluaran militer di berbagai negara dan rusaknya tatanan global pasca-Perang Dingin.
Konflik-konflik yang seakan tak terlihat mereda ini memunculkan rasa takut di benak sejumlah orang, utamanya, terkait potensi meletusnya sebuah peperangan besar.
Dalam situasi seperti ini, pertanyaan besar muncul: mungkinkah kita sedang memasuki fase awal dari Perang Dunia III? Atau justru, realitas yang kita hadapi lebih genting dari sekadar awal—yakni kita sudah berada di dalamnya, tanpa sadar menyebutnya sebagai “perang dunia”?

Perang Tak Butuh Pengumuman?
Sejumlah pengamat dan ilmuwan politik belakangan ini mulai menyuarakan kekhawatiran serius. Bagi mereka, perang dunia tidak selalu harus dimulai dengan deklarasi resmi atau invasi besar-besaran. Dalam beberapa pandangan, Perang Dunia III mungkin telah dimulai—dalam bentuk konflik berskala regional yang saling berkelindan, ditambah dengan keterlibatan kekuatan besar global sebagai pendukung langsung atau tak langsung.
Untuk memahami kekhawatiran ini, kita bisa menengok ke masa lalu. Sebelum Perang Dunia I resmi dimulai pada 1914, Eropa dan koloninya telah mengalami berbagai ketegangan dan konflik bersenjata: Perang Balkan, krisis Maroko, dan perlombaan senjata antara kekuatan besar seperti Jerman dan Inggris.
Lalu, ketika Archduke Franz Ferdinand dibunuh di Sarajevo, peristiwa itu bukan awal dari ketegangan, melainkan pemicu akhir dari gunungan konflik yang telah lama terpendam. Christopher Clark dalam bukunya The Sleepwalkers menggambarkan bagaimana para pemimpin dunia saat itu seperti “berjalan dalam tidur” menuju bencana global.
Begitu pula dengan Perang Dunia II. Meskipun sering ditandai dengan invasi Jerman ke Polandia pada 1939, faktanya perang ini diawali oleh berbagai agresi militer sebelumnya: Jepang menyerbu Manchuria (1931), Italia menginvasi Ethiopia (1935), dan Perang Saudara Spanyol (1936-1939) yang menjadi tempat “uji coba” kekuatan baru seperti Jerman dan Uni Soviet. Artinya, perang dunia bukanlah peristiwa mendadak, melainkan akumulasi.
Pemikiran ini juga ditegaskan oleh Carl von Clausewitz yang menyatakan bahwa perang adalah kelanjutan dari politik dengan cara lain. Perang, dalam banyak kasus, tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan sebagai hasil dari eskalasi kebijakan luar negeri yang gagal. Francis Fukuyama menambahkan bahwa dunia pasca-Perang Dingin justru rentan dengan ketidakpastian karena absennya tatanan ideologis yang stabil.
Di masa kini, kita menyaksikan konflik yang melibatkan kekuatan besar di berbagai lini, di lintas benua, kelompok-kelompok proksi mereka yang saling mengancam. Tidak hanya itu, kita juga hidup di era ketika cyber warfare, disinformasi, dan sanksi ekonomi menjadi bentuk perang baru—yang meski tidak meledakkan bom, namun berpotensi menghancurkan kestabilan nasional dan global. Hal-hal ini pun juga dianggap jadi variabel yang dapat memicu konflik lebih serius.
Anthony Giddens, dalam The Consequences of Modernity, menekankan bahwa masyarakat modern berada dalam risiko “buatan” (manufactured risks), seperti teknologi militer atau AI, yang memperbesar potensi konflik tak terduga. Sementara itu, Joseph Nye memperingatkan soal “salah tafsir niat” antarnegara, yang bisa menjadi bumerang dan mendorong perang yang tidak diinginkan.
Melalui kacamata ini, kita bisa bertanya: jika ketegangan global sudah terjadi di berbagai titik, kekuatan besar sudah terlibat, dan teknologi telah memperluas bentuk-bentuk konflik—maka mungkinkah kita sedang hidup dalam Perang Dunia III yang belum diberi nama?

Waspadai “Black Swan”?
Dalam konteks memahami potensi Perang Dunia III, penting untuk mengingat teori “black swan” yang dikemukakan oleh Nassim Nicholas Taleb. Teori ini menjelaskan bahwa peristiwa besar dan disruptif sering terjadi bukan karena hal-hal yang sudah bisa diprediksi, tetapi justru karena satu variabel mengejutkan yang dianggap tidak mungkin terjadi, namun berdampak luar biasa.
Pembunuhan Archduke Franz Ferdinand oleh seorang nasionalis Serbia pada 1914 adalah contoh klasik. Peristiwa tersebut, secara kasat mata, hanyalah insiden lokal. Namun karena jaringan aliansi antarnegara yang sudah terlalu tegang, pembunuhan itu menjadi pemantik yang membuat Eropa dan dunia jatuh ke dalam Perang Dunia I. Di atas ketegangan yang sudah menggunung, hanya butuh satu percikan untuk menyalakan kobaran.
Dalam konteks hari ini, kita menyaksikan kondisi yang hampir serupa. Ketegangan sudah tersebar luas: dari Ukraina, Timur Tengah, Kashmir, hingga Taiwan. Satu kejadian yang tampaknya “kecil”—seperti penembakan drone, insiden salah sasaran, atau pembunuhan tokoh penting—dapat menjadi pemantik yang bisa membawa dunia pada bencana besar.
Kesimpulan utamanya sederhana, namun mengerikan: perang besar tidak selalu datang sebagai badai, kadang ia merayap dalam kabut. Dunia hari ini mungkin sudah berada dalam medan Perang Dunia III—bukan dalam bentuk invasi total, tapi dalam perang multi-dimensi: cyber, ekonomi, politik, dan informasi.
Oleh karena itu, penting bagi para pemimpin dunia, dan kita sebagai warga global, untuk tidak hanya mencegah konflik besar, tetapi juga waspada terhadap konflik-konflik kecil yang berpotensi jadi percikan api dalam ruangan yang penuh “gas”. (D74)