HomeNalar PolitikIndonesia Mau Otoriter Model Apa?

Indonesia Mau Otoriter Model Apa?

Indonesia berada di ambang otoritarianisme, begitulah pendapat banyak pihak. Bukan tanpa sebab, akhir-akhir ini banyak tindakan pemerintah yang dinilai mengarah ke bentuk pemerintahan otoriter seperti penangkapan aktivis, pembatasan demonstrasi, serta pengesahan Undang-Undang yang tidak melibatkan publik. Lalu, kalau pandangan ini benar adanya, seperti apa otoritarianisme yang akan terjadi di Indonesia?


PinterPolitik.com 

Menurut Freedom House, skor kebebasan sipil di Indonesia mengalami penurunandari yang tadinya “bebas” (free) pada 2013 menjadi “sebagian bebas” (partly free) sejak 2014. Puntahun ini skor kebebasan terus mengalami penurunan.

Penelitian yang dilakukan oleh Badan Pusat Statistik (BPS) juga mengatakan hal yang sama. Menurut BPS, meskipun indeks demokrasi Indonesia meningkat, terjadi penurunan dalam hal aspek kebebasan sipil.

Kepala BPS Surhariyanto juga menjelaskan bahwa kebebasan sipil yang menurun adalah hak politik masyarakat untuk mengkritik dan memberikan masukan kepada penyelenggara negara maupun pemerintahan.

Kondisi ini juga dilihat oleh Haris Azhar, aktivis HAM sekaligus Direktur Eksekutif Lokataru, yang menyebutkan bahwa pemerintah makin otoriter karena berusaha menekan gerakan mahasiswa melalui ancaman sanksi dari Menristekdikti.

Memang, prediksi akan berubahnya pemerintahan Jokowi menjadi otoritarian sendiri sudah diprediksi setidaknya sejak 2018 oleh Thomas P. Power, akademisi asal Australian National University.

Mau Otoriter Seperti Apa?

Terdapat beberapa jenis pemerintahan otoriter. Ada total authoritarian, competitive authoritarian, electoral authoritarian,dan bentuk otoritarian lainnya.

Lalu bentuk pemerintahan otoriter seperti apa yang dapat terjadi di Indonesia? 

Menurut Steven Levitsky adan Lucan A. Way, competitive authoritarian alias otoriter kompetitif adalah bentuk pemerintahan yang tidak sepenuhnya demokratis, namun tidak juga sepenuhnya otoriter. Pemerintahan model inilah yang sangat mungkin terjadi di Indonesia.

Di satu sisi pemerintahan jenis ini tetap memiliki atau mempertahankan kriteria-kriteria minimum demokrasi.

Pemerintah tetap mempertahankan pembagian kekuasaan antara legislatif, eksekutif, dan yudikatif, pemilihan umum (pemilu), hak memilih, kebebasan pers, dan pemerintahan yang dijalankan oleh mereka yang memenangkan pilkada atau pemilu.

Namun ,di sisi lain pemerintahan yang sama juga sering melakukan pelanggaran serius terhadap kriteria-kriteria demokrasi di atas, khususnya terhadap oposisi ataupun pihak-pihak yang mengkritik.

Levitsky dan Way juga menjelaskan bahwa dalam bentuk otoritarianisme ini pemerintah masih mempertimbangkan dampak negatif jika dirinya dilihat sebagai pemerintah otoriter.

Baca juga :  Bukan Retno, Prabowo Pilih Fadli Zon?

Oleh sebab itu, pelanggaran demokrasi tidak dilakukan secara terbuka melainkan melalui cara-cara yang lebih halus atau tertutup seperti pemberian suap, persekusi, dan penggunaan institusi negara untuk membuat pelanggaran demokrasi yang dilakukan seolah-olah merupakan sesuatu yang legal.

Kondisi ini pada titik tertentu menjadikan kriteria-kriteria demokrasi di negara dengan pemerintahan otoriter kompetitif hanya sebagai formalitas atau prosedural saja karena pemerintah dapat seenaknya, secara terbuka ataupun tertutup, melanggar kriteria demokrasi.

Bentuk otoritarianisme inilah yang bisa jadi sedang dituju oleh Indonesia.

Di satu sisi pemerintah tetap mempertahankan nilai-nilai demokrasi seperti pemilu, keberadaan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang mengkritisi pemerintah, dan kebebasan pers.

Namun, di beberapa kesempatan pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga bertanggung jawab atas banyak insiden yang dinilai tidak demokratis, seperti meningkatnya penangkapan terkait UU ITEUU dan Pasal Penodaan Agama dalam RKUHP.

Pejabat pemerintah dan tokoh politik seperti Jokowi, Bambang Soesatyo, dan Fahri Hamzah juga mengeluarkan pernyataan-pernyataan yang mengklaim dirinya atau institusinya memiliki komitmen demokrasi.

Namun banyak pihak, seperti yang sudah disebutkan di awal, menilai justru kebebasan sipil Indonesia menurun dan Indonesia sedang mengarah pada otoritarianisme.

Legislatif Sumber Otoriter?

Selama ini tuduhan bahwa pemerintah otoriter lebih banyak diarahkan kepada lembaga eksekutif khususnya Presiden Jokowi dan menteri-menterinya.

Namun, tidak menutup kemungkinan jika otoritarianisme juga berasal dari lembaga legislatif, dalam hal ini partai politik (parpol) dan DPR.

Salah satu bentuk otoritarianisme yang akhir-akhir ini dinilai dipraktekkan oleh DPR adalah pembahasan berbagai Rancangan Undang-Undang (RUU) yang tidak melibatkan masyarakat.

Menurut Direktur Eksekutif Lingkar Madani Ray Rangkuti, pada kasus RUU KPK, DPR melakukan politik otoriter.

Hal ini dikarenakan revisi dan pengesahan RUU tetap dilakukan di tengah-tengah kritik dan penolakan keras masyarakat.

Hal senada juga diungkapkan Feri Amsari, pakar hukum tata negara.

Menurut Feri, dibahasnya RKUHP menunjukkan bahwa proses legislasi di Indonesia akhirnya menjadi otoritarian karena pembahasan tidak mempedulikan penolakan masyarakat.

Ia juga menjelaskan bahwa kasus ini membuat publik terpaksa tunduk kepada kekuatan eksekutif dan legislatif.

Lalu, apa sumber otoritarian DPR?

Menurut Lisa Blayed yang mengkaji rezim otoriter di Mesir, otoritarianisme bisa muncul karena adanya pemilihan legislatif (pileg) yang kompetitif dan perilaku elite politik khususnya parpol.

Baca juga :  Rahasia di Balik Polemik Israel-PBNU?

Kursi yang terbatas dan besarnya manfaat yang diterima jika seseorang berhasil menjadi anggota parlemen membuat pileg di Mesir dijadikan sebagai ajang pelelangan parpol terhadap mereka yang ingin masuk ke parlemen.

Kondisi ini, menurut Blayed, menjadikan pileg di Mesir sebagai salah satu sumber otoritarianisme karena partai-partai bisa mengendalikan siapa yang masuk ke parlemen dan pada akhirnya hanya elite tertentu yang duduk di kursi legislatif.

Pun setelah duduk di parleman, para anggota dewan harus menunjukkan loyalitasnya pada partai jika tidak ingin dikeluarkan. Hal ini menyebabkan anggota parlemen lebih mementingkan kepentingan parpol dibanding rakyat

Blayed juga menjelaskan bahwa rezim otoriter mempertahankan adanya badan legislatif, parpol, dan pileg untuk memberikan kesan seolah-olah rezim tersebut memiliki legitimasi.

Di Indonesia beberapa pihak juga menilai bahwa anggota DPR lebih loyal ke partainya dibanding ke masyarakat.

Ray Rangkuti misalnya, menilai bahwa loyalitas anggota DPR ada untuk partainya, bukan masyarakat yang memilihnya.

Loyalitas ini juga disebabkan oleh adanya kemampuan parpol untuk mengganti kadernya di DPR dengan kader yang lain jika ia merasa kader tersebut tak menguntungkannya.

Oleh sebab itu, anggota DPR cenderung harus mengikuti keinginan parpol, meskipun keinginan tersebut bersifat otoriter

Tidak berhenti di situ, dalam perpolitikan Indonesia ada fenomena yang dinamakan sebagai kartelisasi parpol.

Kartelisasi parpol merupakan fenomena di mana parpol-parpol yang secara ideologi atau dalam pemilu berbeda pandangan, bergabung dengan koalisi pemerintahan demi mendapatkan akses sumber daya finansial dan politik negara.

Kartelisasi ini menunjukkan bahwa Parpol lebih mengutamakan pembagian kursi kekuasan dan kepentingkannya sendiri dibanding menjaga suara pemilihnya.

Pola hubungan partai seperti ini juga dinilai beberapa pengamat sebagai hal yang merusak demokrasi.

Beberapa pihak juga menilai bahwa RKUHP dijadikan sebagai alat dagang atau tukar guling politik antara DPR dengan pemerintah (presiden).

Freedom House juga mengatakan bahwa turunnya skor kebebasan sipil di Indonesia, sebagai salah indikator rezim otoriter, juga bersumber dari badan legislatif dalam hal korupsi, keterbukaan dan transparansi, serta kebijakan yang dikeluarkan oleh DPR.

Jika benar terjadi, itu artinya anggota DPR, demi kepentingan politik dan loyalitas ke partainya, rela mengambil sikap otoriter dengan tidak mendengarkan penolakan masyarakat terhadap berbagai RUU bermasalah. (F51)

Mau tulisanmu terbit di rubrik Ruang Publik kami? Klik dibit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Tarung 3 Parpol Raksasa di Pilkada

Pilkada Serentak 2024 menjadi medan pertarungan sengit bagi tiga partai politik besar di Indonesia: PDIP, Golkar, dan Gerindra.

RK Effect Bikin Jabar ‘Skakmat’?�

Hingga kini belum ada yang tahu secara pasti apakah Ridwan Kamil (RK) akan dimajukan sebagai calon gubernur (cagub) Jakarta atau Jawa Barat (Jabar). Kira-kira...

Kamala Harris, Pion dari Biden?

Presiden ke-46 Amerika Serikat (AS) Joe Biden telah memutuskan mundur dari Pemilihan Presiden (Pilpres) AS 2024 dan memutuskan untuk mendukung Kamala Harris sebagai calon...

Siasat Demokrat Pepet Gerindra di Pilkada?

Partai Demokrat tampak memainkan manuver unik di Pilkada 2024, khususnya di wilayah-wilayah kunci dengan intrik tarik-menarik kepentingan parpol di kubu pemenang Pilpres, Koalisi Indonesia Maju (KIM). Lantas, mengapa Partai Demokrat melakukan itu dan bagaimana manuver mereka dapat mewarnai dinamika politik daerah yang berpotensi merambah hingga nasional serta Pilpres 2029 nantinya?

Puan-Kaesang, ‘Rekonsiliasi’ Jokowi-Megawati?

Ketua Umum (Ketum) PSI Kaesang Pangarep diwacanakan untuk segera bertemu dengan Ketua DPP PDIP Puan Maharani. Mungkinkah akan ada rekonsiliasi antara Presiden Joko Widodo...

Alasan Banyaknya Populasi Asia

Dengarkan artikel berikut Negara-negara Asia memiliki populasi manusia yang begitu banyak. Beberapa orang bahkan mengatakan proyeksi populasi negara Asia yang begitu besar di masa depan...

Rasuah, Mustahil PDIP Jadi “Medioker”?

Setelah Wali Kota Semarang yang juga politisi PDIP, Hevearita Gunaryanti Rahayu ditetapkan sebagai tersangka dugaan kasus korupsi oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), plus, Sekretaris Jenderal PDIP, Hasto Kristiyanto yang masih menjalani proses hukum sebagai saksi di KPK dan Polda Metro Jaya, PDIP agaknya akan mengulangi apa yang terjadi ke Partai Demokrat setelah tak lagi berkuasa. Benarkah demikian?

Trump dan Bayangan Kelam Kaisar Palpatine�

Percobaan penembakan yang melibatkan kandidat Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump (13/7/2024), masih menyisakan beberapa pertanyaan besar. Salah satunya analisis dampaknya ke pemerintahan Trump jika nantinya ia terpilih jadi presiden. Analogi Kaisar Palpatine dari seri film Star Wars masuk jadi salah satu hipotesisnya.�

More Stories

Amerika, Kiblat Prabowo Untuk Pertahanan?

Komponen Cadangan (Komcad) menjadi salah satu program yang akan dikerjakan oleh Menteri Pertahanan (Menhan) Prabowo Subianto. Hal yang menarik adalah dalam menjalankan program tersebut,...

Digdaya Ekonomi Islam Melalui Ma’ruf

Wakil Presiden (Wapres) Ma’ruf Amin mengatakan bahwa dirinya akan mendorong perkembangan ekonomi Islam di Indonesia, mulai dari sektor industri produk halal hingga perbankan syariah....

Transparansi Anggaran Pertahanan: Prabowo Vs DPR

Terjadi perdebatan dalam rapat kerja perdana Komisi I Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan Kementerian Pertahanan (Kemhan) ketika Prabowo menolak permintaan beberapa anggota dewan untuk...