HomeNalar PolitikHilangkah Madrasah Dari UU Sisdiknas?

Hilangkah Madrasah Dari UU Sisdiknas?

Frasa madrasah yang hilang dari draf Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas) menimbulkan perdebatan, hingga membuat Mendikbudristek Nadiem Makarim dan Menag Yaqut Cholil Qoumas melakukan klarifikasi. Lantas, mungkinkah madrasah hilang dari UU Sisdiknas?


PinterPolitik.com

Beberapa hari belakangan muncul polemik di masyarakat tentang penyusunan draf Revisi Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (RUU Sisdiknas). Muncul temuan bahwa frasa madrasah mendadak lenyap dalam draf RUU tersebut yang membuat hal ini menjadi kontroversi.

Berbeda dengan undang-undang yang lama, yakni UU Sisdiknas tahun 2003, frasa madrasah tertuang dalam aturan tentang satuan pendidikan dasar, secara gamblang berada di Pasal 17 Ayat 2. Disebutkan juga bahwa istilah madrasah dan satuan pendidikan lainnya seperti madrasah ibtidaiyah (MI), madrasah tsanawiyah (MTs), hingga madrasah aliyah (MA).

Penghilangan frasa kemudian mendatangkan protes dari berbagai kalangan dengan berbagai argumentasi. Mulai dari politisi, agamawan, hingga berbagai cendikiawan Islam.

Anggota DPR RI fraksi PAN Zainuddin Maliki, memberi kritik dengan mengatakan, bahwa dalam membuat sebuah pasal undang-undang harus memenuhi asas lex stricta dan juga lex certa.

Sederhananya, asas lex stricta dimaknai sebagai upaya menyusun undang-undang dengan mengharuskan pasal ditulis secara jelas dan dapat dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas sehingga menimbulkan analogi dan/atau multi pemaknaan.

Sedangkan asas lex certa, bermakna bahwa penyusunan tiap aturan dalam pasal harus mengedepankan pentingnya kepastian. Dua hal tersebut, sama pentingnya dengan nilai-nilai keadilan atau kemanfaatan agar pasal undang-undang tidak menimbulkan multitafsir.

Anindito Aditomo, Kepala (Badan Standar, Kurikulum & Asesmen Pendidikan (BSKAP) Kemendikbudristek, mengatakan kata madrasah dan satuan pendidikan dasar lainnya dicantumkan di bagian bawah atau bagian penjelasan. Penamaan secara spesifik seperti SD dan MI, SMP dan MTS, atau SMA, SMK, dan MA akan dipaparkan di bagian penjelasan.

Klarifikasi ini juga diperkuat oleh Mendikbudristek Nadiem Makarim dan Menag Yaqut Cholil Qoumas yang juga turun tangan langsung untuk memberi penjelasan. Nadiem dalam penjelasannya mengatakan, madrasah yang merupakan satuan pendidikan di bawah Kementerian Agama, akan tetap berada di dalam RUU Sisdiknas.

Hisminu Arifin Junaidi, Ketua Himpunan Sekolah dan Madrasah Islam Nusantara (Hisminu), menilai frasa madrasah atau sekolah yang hanya disebutkan di dalam penjelasan, maka tidak dapat digunakan sebagai dasar hukum untuk membuat peraturan lebih lanjut.  Selain itu, undang-undang juga tidak boleh mencantumkan rumusan yang berisi norma.

Sengitnya perdebatan frasa madrasah ini menimbulkan pertanyaan lebih jauh. Lantas seberapa bermakna madrasah dalam sistem pendidikan nasional kita di Indonesia?

infografis polemik hilangnya madrasah 1

Madrasah Bukan Hanya Sekolah

Manpan Drajat dalam tulisannya Sejarah Madrasah Di Indonesia, mengatakan istilah madrasah berasal dari kata darasa yang berarti tempat duduk untuk belajar. Dalam konteks Indonesia, istilah madrasah telah menyatu dengan istilah sekolah formal atau perguruan.

Baca juga :  Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Secara historis, madrasah di Indonesia sebagai lembaga pendidikan muncul sejak awal abad 20. Hal itu berbarengan dengan munculnya  ormas islam, seperti Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), dan lain-lain. Perkembangan madrasah pada  masa awal kemerdekaan sangat terkait dengan peran Kementerian Agama yang mulai resmi berdiri sejak 3 Januari 1946.

Anton Timur Djaelani dalam tulisannya Kebijaksanaan Pembinaan Kelembagaan Agama Islam, mengatakan madrasah muncul pada masa kolonial Belanda sekitar awal abad ke-20, bukan sebelumnya.

Dikarenakan beberapa kali usulan Volksraad (Dewan Rakyat) agar pelajaran agama Islam dimasukkan sebagai  mata pelajaran di perguruan umum selalu ditolak oleh Belanda, pengajaran agama di sekolah umum atau openbaar onderwijs tidak pernah menjadi kenyataan.

Peristiwa ini menumbuhkan inisiatif untuk mendirikan model sekolah di luar kebijakan Belanda yang memberi muatan pelajaran agama Islam lebih, namun berbeda dengan komposisi materi di pesantren dan sejenisnya yang telah ada sebelumnya.

Kemudian, dengan munculnya gerakan pembaharuan Islam di wilayah Timur Tengah dan Mesir, di mana banyak pelajar Indonesia yang belajar di sana, ini membawa semangat pembaharuan ke Tanah Air, yang juga menjadi faktor mulai dilakukan pendirian madrasah yang lebih serius di Indonesia.

Dalam konteks perjuangan, madrasah secara sosio-historis telah hadir sebagai alat perjuangan sebelum kemerdekaan. Selain sebagai sebuah sistem pendidikan Islam, di mana madrasah juga sering dikaitkan sebagai alat perjuangan kemerdekaan.

M.C. Ricklefs dalam bukunya Sejarah Indonesia Modern 1200-2008, menceritakan bahwa dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia, kaum santri yang berasal dari madrasah cukup jadi penghalang bagi Belanda. Pemerintah Belanda sangat memperhitungkan kekuatan madrasah-madrasah yang ada di pesantren sebagai basis perjuangan rakyat.

Sebagai contoh, KH Hasyim Asy’ari mendirikan Madrasah Salafiyah Syafi’iyah di pesantren Tebuireng tahun 1919, yang kemudian diperbarui oleh KH Wahid Hasyim dengan mendirikan Madrasah Nizamiyah yang memasukkan pendidikan umum (1935), menjadi model pengembangan madrasah di pesantren-pesantren.

Lembaga inilah yang secara intensif memperjuangkan politik pendidikan Islam di Indonesia. Dapat dikatakan sebagai representasi  umat Islam dalam memperjuangkan penyelenggaraan pendidikan Islam secara lebih meluas di Indonesia.

Hal ini yang juga menjelaskan bahwa harusnya RUU Sisdiknas memayungi, mengakui, dan mengembangkan seluruh bentuk satuan pendidikan yang sudah berkembang, diterima, dan diakui oleh masyarakat, termasuk di dalamnya madrasah.

Hidayat Nur Wahid, Wakil Ketua MPR,  mengatakan, bahwa dengan menghapus istilah madrasah di RUU Sisdiknas, sebuah kenyataan bahwa kita mundur ke tahun 1989, yakni masa Orde Baru. RUU Sisdiknas di masa itu, yakni UU No.2 Tahun 1989, madrasah bukan bagian dari satuan pendidikan nasional.

Baca juga :  Rahasia Triumvirat Teddy, AHY, dan Hegseth?

Pasca Reformasi, kemudian muncul UU Sisdiknas Nomor 20 Tahun 2003 yang menyebut madrasah sebagai bagian pendidikan formal. Tapi tidak berhenti di situ, meski telah terakomodir, secara de facto madrasah sering kali masih minim kualitas.

Lantas, mungkinkah polemik ini dapat juga dipahami sebagai bagian dari munculnya otokritik bagi madrasah itu sendiri untuk mengoreksi diri?

infografis polemik hilangnya madrasah 2

Otokritik Madrasah di Indonesia

Dimulai  sejak awal kemunculannya, yaitu pada masa awal kemerdekaan negara Republik Indonesia, madrasah pada umumnya masih banyak yang berstatus swasta. Keberadaannya ini, menjadikan madrasah mempunyai kebebasan untuk mengatur kurikulum, metode, maupun sistem pendidikannya.

Namun kemampuan para pengelola madrasah berbeda-beda, sehingga berakibat pada kualitas madrasah bervariasi, terutama karena tidak seragam dalam manajemennya. Dan hal ini yang perlu menjadi perhatian, jika memang menginginkan madrasah menjadi ruang pendidikan yang ideal  bagi masyarakat.

Khoirul Huda dalam tulisannya Problematika Madrasah Dalam Meningkatkan Mutu Pendidikan Islam, mengatakan rendahnya tingkat apresiasi masyarakat merupakan problem yang paling sering ditemui dalam upaya mengembangkan madrasah di Indonesia.

Kurangnya apresiasi masyarakat sejatinya beralasan, setidaknya oleh beberapa sebab. Pertama, madrasah telah kehilangan akar sejarahnya. Sebagian masyarakat menilai keberadaan madrasah bukan merupakan kelanjutan pesantren.

Kedua, terdapat dualisme pemaknaan terhadap madrasah. Di satu sisi, madrasah diidentikkan dengan sekolah, karena memiliki muatan kurikulum yang relatif sama dengan sekolah umum. Di sisi lain, madrasah dianggap sebagai pesantren dengan sistem klasikal yang kemudian dikenal dengan Madrasah Diniyah.

Dan juga koreksi bagi madrasah dapat dilacak dari sikap eksklusif untuk hanya mengajarkan pendidikan-pendidikan agama Islam klasik tanpa ada upaya untuk memodernisasi sistem pendidikan dalam madrasah tersebut.

Sebagai contoh, upaya yang berbeda telah dilakukan oleh Madrasah Aliyah Negeri Insan Cendekia (MAN IC).  MAN IC dibangun pada 1996 berdasarkan ide awal B.J. Habibie, Presiden ketiga RI.

Keunggulan MAN IC dibanding madrasah lainnya dapat ditemui dari beberapa aspek, yaitu kemampuan madrasah ini untuk memadukan sains, teknologi, dan ilmu agama Islam (tafaqquh fiddin).

Kemampuan ini bertumpu pada tiga peradaban (hadlarah), yaitu peradaban teks atau kitab (hadlaratun-nash), peradaban ilmu (hadlaratun-ilmi), dan peradaban filsafat (hadlaratun-falsafah). Dengan keterpaduan sebagai bentuk modernisasi, MAN IC menjadi pelopor upaya menghilangkan dikotomi ilmu pengetahuan dan teknologi dengan Islam yang selama ini kerap terjadi.

Sebagai penutup, sekiranya otokritik bagi madrasah-madrasah di Tanah Air adalah dapat memodernisasi sistem pendidikannya. Perubahan ini akan menjadi opsi yang perlu dipertimbangkan, dibandingkan hanya mempermasalahkan frasa madrasah yang ada atau tidak di RUU Sisdiknas. (I76)


spot_imgspot_img

#Trending Article

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

More Stories

Ganjar Punya Pasukan Spartan?

“Kenapa nama Spartan? Kita pakai karena kata Spartan lebih bertenaga daripada relawan, tak kenal henti pada loyalitas pada kesetiaan, yakin penuh percaya diri,” –...

Eks-Gerindra Pakai Siasat Mourinho?

“Nah, apa jadinya kalau Gerindra masuk sebagai penentu kebijakan. Sedang jiwa saya yang bagian dari masyarakat selalu bersuara apa yang jadi masalah di masyarakat,”...

PDIP Setengah Hati Maafkan PSI?

“Sudah pasti diterima karena kita sebagai sesama anak bangsa tentu latihan pertama, berterima kasih, latihan kedua, meminta maaf. Kalau itu dilaksanakan, ya pasti oke,”...