HomeHeadlineHikayat Adi Hidayat, Tanpa Siasat?

Hikayat Adi Hidayat, Tanpa Siasat?

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Gerakan Indonesia Menanam (GERINA) menjadi instrumen yang kian membentuk impresi kedekatan Ustaz Adi Hidayat dengan elite politik-pemerintahan saat ini. Hubungan di antara para aktor tersebut kiranya cukup krusial dalam menjadi salah satu variabel pemerintahan Presiden Prabowo Subianto. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Dalam iklim politik transisi menuju pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, muncul satu dinamika menarik yang menyentuh ranah keagamaan, ketahanan pangan, dan simbolisasi kekuasaan dalam konteks konstruktif.

Salah satu episentrum dari dinamika ini adalah sosok Ustaz Adi Hidayat atau UAH, seorang ulama populer yang dikenal luas karena dakwahnya yang lugas, bernas, dan tak jarang membawa telaah kritis terhadap kebijakan pemerintah.

Namun dalam beberapa waktu terakhir, publik menyaksikan transformasi pendekatan UAH dari seorang dai independen menjadi figur keagamaan yang terlihat akrab dengan elite-elite institusional negara.

UAH tampak dekat dengan elite politik-pemerintahan dan kelembagaan dalam beberapa kesempatan. Seperti tampak hangat dengan sejumlah pejabat, Panglima TNI, hingga Kapolri.

Lalu, salah satu katalisnya adalah peluncuran Gerakan Indonesia Menanam (GERINA), sebuah gerakan yang dalam deklarasinya mendukung program makan bergizi gratis (MBG) — salah satu program andalan Prabowo Subianto.

Bahkan sebelumnya, UAH sempat diisukan menjadi pengganti Miftah Maulana Habiburrahman sebagai Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.

Walaupun tak terealisasi, wacana tersebut menandai bahwa UAH telah memasuki orbit perbincangan kekuasaan tingkat tinggi.

Pertanyaannya, apakah kedekatan ini bersifat pragmatis, ideologis, atau simbolik? Dan sejauh mana keterlibatan tokoh agama seperti UAH dalam skema besar politik negara menggambarkan relasi historis antara agama dan kekuasaan di Indonesia?

kabar gembira prabowo untuk petani & nelayan 1

Selalu Punya Relevansi?

Sebagaimana yang diketahui, keterlibatan tokoh agama dalam politik atau kebijakan negara bukan hal baru dalam lanskap Indonesia.

Dalam sejarah politik Tanah Air, para pemimpin bangsa selalu merangkul atau dikelilingi oleh tokoh agama sebagai mitra strategis, penopang legitimasi, atau peredam konflik sosial.

Dalam banyak kasus di Indonesia, legitimasi karismatik dari tokoh agama menjadi pelengkap dari kekuasaan legal-rasional. Tak lain, mereka adalah ‘penyuplai otoritas moral”.

Baca juga :  Prabowo’s Power School

Pada era Presiden pertama RI, Soekarno, tokoh seperti K.H. Wahid Hasyim dan tokoh-tokoh Masyumi dijadikan jembatan antara negara dan umat Islam.

Presiden ke-2 RI Soeharto, meskipun memulai rezimnya dengan jarak terhadap kelompok Islam, pada akhir 1980-an mulai merangkul ulama dan ormas Islam — termasuk mendirikan Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI).

Penafsiran atas pembentukan ICMI saat itu pun dinilai sebagai bentuk mengamankan basis dukungan menjelang pemilu-pemilu krusial setelahnya.

Reformasi 1998 menciptakan arus keterbukaan yang memperluas ruang politik bagi aktor agama, terlihat dari kuatnya posisi ormas keagamaan dalam wacana publik. Termasuk di era B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Megawati Soekarnoputri.

Di era Presiden ke-6 RI Susilo Bambang Yudhoyono, pendekatan terhadap NU dan Muhammadiyah dilakukan secara sistematis, bahkan SBY sempat menganugerahi gelar kehormatan kepada tokoh-tokoh agama sebagai bagian dari legitimasi kultural.

Presiden ke-7 RI, Joko Widodo, dengan gayanya yang teknokratik, juga tidak bisa melepaskan diri dari pentingnya endorsement keagamaan, meskipun pendekatannya lebih pragmatis dan melalui kanal-kanal nonformal seperti relasi personal atau program sosial keumatan.

Puncaknya, langkah cukup besar diambil dengan merangkul K.H. Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden dan memenangkan Pilpres 2019.

Kini di bawah komando Prabowo, tampaknya model interaksi ini dilanjutkan bahkan diperluas. Interaksi dengan gerakan seperti GERINA kiranya bukan hanya gerakan sosial-ekologis, tetapi juga menjadi media simbolik untuk menunjukkan aliansi antara negara dan agama.

Di sinilah UAH muncul, bukan sebagai oposisi keagamaan, tetapi sebagai “agen moral” yang bersinergi dengan negara demi kepentingan nasional.

Namun, telaah kritis tetap eksis di balik relasi di antara para aktor tersebut. Pertanyaan menarik berikutnya, apakah ada faktor bertendensi politis di baliknya?

infografis zulhas bawa kemesraan pan nu

Ada “Benang Biru”?

Terdapat probabilitas “benang biru” yang eksis secara politik, saat melacak relasi di antara UAH dengan aktor politik tertentu.

Terminologi “benang biru” pun tak lepas dari salah satu sampel yang cukup prominen, yakni Zulkifli Hasan yang juga menjabat sebagai Ketua Umum PAN dan Menteri Koordinator Bidang Pangan.

Baca juga :  Prabowo’s Men: Penyambung Lidah Presiden

Sebagai catatan, UAH saat ini menjabat sebagai Wakil Ketua Majelis Tabligh Pimpinan Pusat Muhammadiyah, ormas keagamaan yang secara historis memiliki pertalian dengan PAN.

Korelasi di antara keduanya sendiri dapat dilacak, misalnya, pada tahun 2021 saat Zulhas mendukung gagasan UAH mengenai donasi Palestina.

Relasi sepertinya tetap terkelola dengan baik saat pada akhir tahun 2024 lalu, UAH menjadi sosok yang menikahkan Putri Zulhas dengan Zumi Zola.

Terlebih, atensi UAH dan pemerintahan Presiden Prabowo terjadi melalui GERANI, gerakan di bidang kedaulatan pangan keumatan

Selain itu, korelasi di antara para aktor tersebut bukan tidak mungkin mengindikasikan bahwa PAN tak sepenuhnya mengalami pergeseran ideologis menjadi “Partai Artis Nasional”, tetapi Zulhas juga tetap menjaga relasi dengan sejumlah elite dan tokoh berpengaruh Muhammadiyah

Dengan demikian, proksimitas UAH ke kekuasaan dapat dibaca sebagai koalisi simbolik dan substantif antara aktor moral dan aktor politik, yang bertemu pada satu titik, yaitu narasi pembangunan dan ketahanan nasional berbasis nilai keagamaan.

Dalam hal ini, UAH kiranya menjadi penghubung antara aspirasi umat dan agenda negara yang cukup krusial.

Bagaimanapun, berkaca pada interpretasi di atas, keterlibatan UAH dalam proyek kebangsaan seperti GERANI menunjukkan bahwa di antara keduanya saat ini tengah terbangun basis moralitas baru yang tidak hanya teknokratik, tetapi juga spiritual.

Jika kedekatan itu bersifat substantif, dalam makna pembangunan kolektif, maka tokoh seperti UAH bisa menjadi jembatan harapan antara negara dan umat.

Dengan segala kedekatannya ke aktor seperti Zulhas, UAH tampaknya tidak sedang berubah arah, tetapi justru memainkan peran baru, bukan sekadar pemberi ceramah, tapi juga penanam benih simbolik untuk masa depan relasi negara dan masyarakat beriman.

Selain itu, korelasinya dengan Zulhas dan PAN secara politik tak menutup kemungkinan akan sangat menarik, meski hipotesis sementara mengindikasikan cukup sulit kiranya UAH, Zulhas, dan PAN terikat secara formal. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

“Original Sin”, Indonesia Harusnya Adidaya Antariksa? 

Di era Orde Lama dan awal Orde Baru, Indonesia pernah meluncurkan roket buatan sendiri dan dipandang sebagai kekuatan teknologi yang menjanjikan. Namun, menjelang Reformasi, semangat itu memudar.  

Utut, The Next Grandmaster PDIP?

Grandmaster catur yang bertransformasi menjadi elite PDIP, Utut Adianto menjadi nama menarik dalam bursa Sekretaris Jenderal PDIP andai benar-benar dilepaskan dari Hasto Kristiyanto. Lalu, mengapa nama Utut muncul dan diperhitungkan?

“A Desert Storm” Bayangi Kemenkeu?

Dinamika dan beberapa variabel substansial mengenai penerimaan negara di bawah Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terus berkembang. Terbaru, penunjukan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara menjadi salah satu variabel menarik yang memantik interpretasi mengenai keterkaitannya dengan kinerja Kementerian Keuangan serta masa depannya. Mengapa demikian?

Rahasia Banyaknya Anak Pemimpin dalam Sejarah Timur

Di dalam sejarah, banyak pemimpin bangsa dari kultur Timur menjadi pemimpin dengan jumlah anak terbanyak. Kira-kira apa alasannya? 

East Java Simmetry of Authority

Peta politik Jawa Timur saat ini seolah menggambarkan spektrum politik yang sangat beragam, unik, dan berbeda dengan wilayah lainnya. Khofifah Indar Parawansa yang mengampu kekuasaan periode pamungkasnya dinilai meninggalkan legacy dan ruang tersendiri bagi kekuatan politik lain dan dinilai bisa memengaruhi kontestasi 2029. Benarkah demikian?

Prananda The Unwanted Crown Prince

Seiring makin senjanya usia Megawati, nama Prananda Prabowo kerap dibahas dalam konteks kandidat yang dinilai cocok untuk meneruskan tampuk kepemimpinan di partai.

Menkes Budi dan Ironi Tarung Elite Kesehatan

Alih-alih menyelesaikan akar permasalahan aspek kesehatan masyarakat Indonesia secara konstruktif, elite pembuat keputusan serta para elite dokter dan tenaga kesehatan justru saling sindir. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin seolah masih belum menemukan ritme selaras, utamanya dengan asosiasi profesi kesehatan Indonesia yang bisa saja berbahaya bagi kepentingan kesehatan rakyat. Lalu, ada apa sebenarnya di balik intrik tersebut?

Prabowo’s Power School

Presiden Prabowo berencana membangun sekolah khusus untuk anak-anak cerdas-pandai dari kelompok masyarakat miskin: Sekolah Rakyat.

More Stories

Utut, The Next Grandmaster PDIP?

Grandmaster catur yang bertransformasi menjadi elite PDIP, Utut Adianto menjadi nama menarik dalam bursa Sekretaris Jenderal PDIP andai benar-benar dilepaskan dari Hasto Kristiyanto. Lalu, mengapa nama Utut muncul dan diperhitungkan?

“A Desert Storm” Bayangi Kemenkeu?

Dinamika dan beberapa variabel substansial mengenai penerimaan negara di bawah Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terus berkembang. Terbaru, penunjukan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara menjadi salah satu variabel menarik yang memantik interpretasi mengenai keterkaitannya dengan kinerja Kementerian Keuangan serta masa depannya. Mengapa demikian?

East Java Simmetry of Authority

Peta politik Jawa Timur saat ini seolah menggambarkan spektrum politik yang sangat beragam, unik, dan berbeda dengan wilayah lainnya. Khofifah Indar Parawansa yang mengampu kekuasaan periode pamungkasnya dinilai meninggalkan legacy dan ruang tersendiri bagi kekuatan politik lain dan dinilai bisa memengaruhi kontestasi 2029. Benarkah demikian?