Cross BorderGegara Putin, OPEC Tinggalkan Biden?

Gegara Putin, OPEC Tinggalkan Biden?

- Advertisement -

Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC) memutuskan akan mengurangi produksi minyak buminya ke dua juta barel per hari. Keputusan ini tuai amarah Amerika Serikat (AS) karena mereka justru meminta OPEC produksi lebih banyak minyak. Bagaimana frame politik di belakangnya?


PinterPolitik.com

Buntut Perang Rusia-Ukraina semakin berkembang ke mana-mana. Selain hampir menyebabkan krisis pangan akibat pemblokiran ekspor gandum, perang yang meletus pada 24 Februari silam ini juga digadang-gadang akan menyebabkan krisis ekonomi global, yang salah satunya diakibatkan terhambatnya alur perdagangan energi (gas dan minyak bumi).

Dan terkait persoalan minyak bumi, belakangan ini Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak Bumi (OPEC), membuat keputusan yang cukup menggemparkan dunia. Bersama dengan 11 anggota tambahan yang tergabung dalam OPEC+, perkumpulan negara penghasil minyak bumi terbesar ini mengumumkan bahwa mereka akan mengurangi produksi minyak hingga dua juta barel per hari mulai Bulan November ini, hingga 2023 nanti.

Sontak, keputusan ini mengundang amarah Presiden Joe Biden dan Amerika Serikat (AS), karena sejak beberapa bulan setelah Rusia menyerang Ukraina, Negeri Paman Sam justru meminta negara-negara OPEC meningkatkan produksi harga minyak dunia agar dampak embargo energi terhadap Rusia bisa benar-benar efektif.

Karena itu, AS melihat bahwa keputusan yang dilakukan OPEC+ malah dapat meniadakan dampak embargo terhadap minyak Rusia yang telah disepakati oleh Uni Eropa pada awal Juni lalu. Embargo ini tadinya bertujuan menyakiti keuangan Rusia dengan harapan dapat berdampak pada dana perang Presiden Vladimir Putin.

Namun, apa yang dilakukan OPEC+ justru akan membuat harga minyak naik, yang berarti Rusia akan tetap mendapatkan permintaan minyak sehingga tidak akan terlalu terdampak embargo AS dan Eropa. Akibatnya, pihak Gedung Putih bahkan sampai melemparkan ancaman pada negara-negara OPEC+ bahwa akan ada konsekuensi atas apa yang mereka lakukan.

Yang menariknya, Sekretaris Gedung Putih, Karine Jean-Pierre sampai melempar dugaan bahwa apa yang dilakukan OPEC+ adalah bukti nyata bahwa mereka telah berpihak pada Rusia. Tuduhan ini tentu cukup serius mengingat tensi geopolitik dunia kini begitu tegang, ketika ada suatu negara dicap sebagai “musuh” oleh AS, maka akibatnya bisa benar-benar tak terduga.

Lantas, kenapa kira-kira OPEC+ berani melakukan manuver yang cukup membangkang permintaan AS?

infografis opec tinggalkan biden demi putin

Perang Ekonomi AS-OPEC?

Di dunia yang semakin modern dan terglobalisasi ini, hampir segala hal dalam kehidupan akan berkaitan antara satu sama lainnya. Sebagai dampaknya, persaingan antar negara di dunia kini menjadi lebih beragam dan kompetitif. Dan karena itu pula, perang yang tadinya hanya dipahami akan terjadi di medan pertempuran, kini juga bisa terjadi dalam beberapa aspek non-konvensional, seperti perang siber dan bahkan perang budaya.

Hal ini tidak terkecuali dalam persoalan ekonomi. Karena kekuatan ekonomi dalam politik internasional begitu kuat, muncullah juga sebuah istilah yang disebut economic warfare atau peperangan ekonomi. George Shambaugh dalam tulisannya Economic Warfare menyebutkan bahwa ketika ada sebuah negara atau kelompok negara yang menggunakan kemampuan ekonominya untuk mengubah perilaku atau mendisrupsi kebijakan luar negeri negara lain, maka secara efektif ia telah terlibat dalam peperangan ekonomi.

Baca juga :  Dragon Ball Z Park di Arab Saudi

Terkhusus kasus OPEC dan minyak bumi, kita tidak bisa pungkiri bahwa minyak bumi adalah salah satu sumber daya di dunia yang mempunyai pengaruh politik begitu besar karena faktanya hingga saat ini zat berbentuk lendir hitam tersebut masih diandalkan oleh banyak negara untuk beberapa keperluan hidup. Karena itu, Robert Mabro dalam tulisannya The Oil Weapon menyebutkan bahwa minyak bumi merupakan senjata politik internasional modern yang kekuatannya begitu luar biasa ketika digunakan oleh negara-negara pengekspor minyak.

Kita bisa lihat sendiri pada tahun 1970-an ketika Arab Saudi dan negara-negara Organisasi Negara Arab Pengekspor Minyak Bumi (OAPEC) melakukan embargo minyak terhadap negara-negara yang mendukung Israel dalam Perang Yom Kippur, dampaknya telah menyebabkan krisis minyak di beberapa negara maju. Bahkan, bagi AS dampak ekonominya begitu hebat sehingga para ekonom menyebut krisis minyak 1973 hampir menyerupai Depresi Besar yang terjadi pada tahun 1930-an.

Oleh karena itu, walau tidak sampai melakukan embargo, tidak heran bila banyak pejabat tinggi melihat gelagat yang dilakukan OPEC ini menimbulkan trauma ekonomi lama dan dinilai berpotensi memicu krisis ekonomi yang begitu besar. Bahkan, Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani dan Menteri Koordinator Bidang Perekonomian (Menko Perekonomian), Airlangga Hartarto pun turut bersuara karena kondisi yang seperti ini mampu menciptakan ketidakpastian ekonomi sekaligus politik.

Tapi pertanyaannya adalah, jika apa yang dilakukannya merupakan hal yang begitu serius dan mampu memancing amarah AS, kenapa OPEC+ tetap melakukannya?

Well, Bernard Haykel dalam tulisannya Why the Saudis Won’t Pump More Oil, menyediakan salah satu jawabannya. Haykel melihat bahwa keengganan Saudi dan negara-negara OPEC menuruti permintaan AS tidak hanya sekadar persoalan supply dan demand, tetapi juga akibat sentimen politik yang begitu mendalam.

Haykel menilai, setidaknya semenjak tragedi 9 September 2001 (9/11), hubungan negara-negara teluk Arab, khususnya Saudi, dengan AS tampak merenggang. Pada tahun 2003 misalnya, kala Teluk Arab mengecam adanya invasi ke Irak, Negeri Paman Sam tetap melakukannya. Lalu, terkait Iran, ketika sejumlah fasilitas minyak Saudi diserang pada 2019, AS tidak membantu pertahanan Saudi, juga tidak memberikan hukuman pada Iran. Padahal kala itu produksi minyak Saudi disebut turun sampai 50 persen karena serangan Iran.

Itu semua, ditambah dengan misi “pivot to Asia” atau pemfokusan pada kawasan Asia, Teluk Arab semakin tampak menjadi sebuah wilayah yang perlahan-lahan mulai ditinggalkan oleh AS. Karena itu, Haykel menyebut wajar bila Saudi dan negara-negara OPEC merasa perlu merealisasi perselisihannya dengan AS.

Baca juga :  Arab Saudi, Korban Perang Selanjutnya?

Dan yang menariknya, perselisihan ini kini bermuara pada Rusia. Karena Rusia merupakan anggota OPEC+ yang secara kolektif mengatakan bahwa mereka perlu mengurangi produksi minyak, ini seakan menjadi simbol tersendiri bahwa OPEC telah menjadi persekutuan negara yang mulai berani berseberangan dengan AS, dan secara tersirat “memihak” pada Rusia.

Bagaimana kemudian kacamata politik internasional bisa memahami fenomena ini?

image 68

OPEC+, Blok Ekonomi Rusia?

Ada poin menarik lain yang ditulis Bernard Haykel dalam tulisannya Why the Saudis Won’t Pump More Oil. Di dalamnya, Haykel melihat bahwa memang sepertinya ada fenomena shifting atau peralihan sekutu dalam OPEC. Maksudnya adalah, semenjak Donald Trump jadi Presiden, Saudi tampak memiliki hubungan yang lebih dekat dengan Rusia.

Hubungan yang dijalin berlandaskan kepentingan bisnis minyak bumi internasional ini kemudian dinilai telah berkembang menjadi hubungan politik. Haykel menilai,  dalam pandangan Saudi, Rusia adalah satu-satunya negara besar yang dapat menekan Iran.

Dan, pada kenyataannya, Rusia telah secara efektif menghambat musuh besar Saudi tersebut kembali menjadi pemain besar dalam perdagangan minyak dunia dengan memveto masuknya Iran ke dalam perjanjian nuklir Iran yang dibangun pada tahun 2015. Padahal, saat ini AS dan Eropa tengah berusaha mengaktifkan kembali perjanjian tersebut agar bisa mendapat alternatif sumber energi Rusia. Hal ini bisa dilakukan Rusia karena Rusia merupakan salah satu negara pemilik hak veto dalam perjanjian tersebut.

Ini artinya, Rusia memiliki apa yang diinginkan Saudi, yaitu sebuah kekuatan yang dapat menghalau ancaman dari Iran. Namun, keuntungan yang didapat Saudi dan negara-negara produsen minyak Arab dari Rusia tidak hanya soal Iran, tapi juga tentang transfer senjata. Seperti yang diketahui, Rusia adalah salah satu negara produsen dan pengekspor senjata terbesar, jika Saudi tidak bisa dapatkan kepastian keamanan dari AS, maka Rusia adalah alternatif yang menggiurkan.

Dengan demikian, bisa disebutkan bahwa kalau dugaan-dugaan ini benar, maka Rusia sesungguhnya telah menjadi security guarantor atau penjamin keamanan yang baru bagi Saudi dan geng OPEC, setidaknya selama AS tidak terlihat ingin memperbaiki hubungan.

Fenomena ini sebenarnya berhubungan dengan teori neorealisme yang disampaikan Kenneth Waltz, di mana dalam dunia modern ini, negara-negara akan berkomplot dengan negara lain untuk membentuk sebuah kubu dengan harapan bahwa kubu ini bisa menjamin kehidupan masing-masing anggotanya dan aman dari ancaman kekuatan eksternal.

Pada akhirnya, sepertinya bisa kita argumentasikan bahwa dengan adanya fenomena kebijakan OPEC ini, tampaknya perkumpulan negara-negara produsen minyak bumi terbesar dunia ini telah menjadi sebuah blok yang cukup mampu menjadi antitesis terhadap narasi yang selama ini dimainkan negara-negara Barat dengan begitu lancar. (D74)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru...

More Stories

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.