Dengarkan artikel ini:
Bagi Didit Hediprasetyo, kecakapannya di dunia estetika bukanlah batasan. Kemampuannya justru menembus batas-batas, termasuk batas politik.
Dalam sepekan terakhir, satu nama terus mencuri perhatian dalam pemberitaan kenegaraan: Didit Hediprasetyo. Ia bukan hanya dikenal sebagai desainer kelas dunia dan putra Presiden Prabowo Subianto, tetapi kini juga tampak rutin hadir di berbagai agenda penting negara.
Pada 25 Mei 2025, Didit terlihat mendampingi Presiden Prabowo dalam pertemuan resmi dengan Perdana Menteri Tiongkok, Li Qiang, di Istana Merdeka. Didit berdiri tak jauh dari sang ayah, dengan gestur tenang dan penuh percaya diri saat menyaksikan jalannya perbincangan di acara jamuan makan siang.
Beberapa hari setelahnya, pada 27–29 Mei 2025, Didit kembali tampil dalam sorotan saat Presiden Prancis Emmanuel Macron melakukan kunjungan ke Indonesia. Ia tidak hanya hadir dalam jamuan makan malam kenegaraan, tapi juga terlihat akrab berbincang dengan Brigitte Macron, menciptakan kesan hubungan yang lebih dari sekadar protokol diplomatik.
Bagi banyak orang, kehadiran Didit bisa dianggap sebagai bagian dari strategi komunikasi atau citra politik. Namun, bagi Kenny, seorang pengamat muda yang mencermati dinamika ini, ada daya tarik tersendiri dari cara Didit menyatu dalam lanskap kenegaraan dengan elegansi dan kepercayaan diri yang tidak biasa.
Kenny pun mulai bertanya-tanya dalam hati. Mengapa selalu ada Didit di banyak kegiatan penting kenegaraan? Apa sebenarnya rahasia yang dimiliki oleh seorang Didit Hediprasetyo?
Why Didit Matters?
Didit Hediprasetyo tidak hanya tampil dalam forum-forum internasional bersama Presiden Prabowo Subianto, tetapi juga memainkan peran penting dalam dinamika politik domestik. Ia disebut-sebut sebagai jembatan yang menghubungkan Prabowo dengan berbagai kutub kekuatan politik di Indonesia.
Kenny mencermati bahwa Didit memiliki jejaring sosial yang tak biasa untuk seseorang yang selama ini dikenal lebih banyak berkarya di dunia mode. Salah satu relasinya yang paling menarik adalah kedekatannya dengan Pinka Haprani, cucu dari Megawati Soekarnoputri.
Di waktu yang lain, Kenny melihat nama Didit juga sering dikaitkan dengan Mutiara Baswedan, putri dari mantan capres dan tokoh oposisi, Anies Baswedan. Meskipun mereka berasal dari latar belakang politik yang berseberangan, hubungan pribadi Didit tampak melampaui batas-batas ideologis.
Tak hanya itu, Didit juga dikenal dekat dengan anak-anak Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono. Kedekatannya dengan keluarga Cikeas ini semakin mempertegas posisinya sebagai sosok yang bisa diterima di berbagai lingkar kekuasaan.
Bagi Kenny, kehadiran Didit di berbagai ruang politik bukanlah kebetulan. Ia melihat Didit bukan sekadar anak presiden, melainkan aktor yang perlahan menjalin simpul-simpul penting dalam struktur sosial-politik negeri ini.
Maka Kenny pun bertanya dalam hati. Mengapa Didit begitu bisa bermanuver secara politik? Apa yang sebenarnya dimiliki oleh Didit hingga ia bisa menjangkau begitu banyak poros kekuatan tanpa menimbulkan riak?
Call It the Didit Way?
Kenny semakin yakin bahwa apa yang disebut banyak orang sebagai “the Didit Way” bukan sekadar gaya hidup mewah atau penampilan elegan di karpet merah. Bagi Didit Hediprasetyo, dunia seni dan mode adalah arena utama yang membentuk caranya membaca dan menjembatani berbagai dunia, termasuk dunia politik.
Sebagai seorang socialite sekaligus desainer, Didit terbiasa bergaul lintas kelas sosial, budaya, dan ideologi. Ia tidak hanya memahami estetika, tetapi juga peka terhadap bahasa tubuh, simbol, dan nuansa, yang membuatnya mudah membangun koneksi dengan siapa pun—dari elite politik hingga tokoh budaya.
Kenny teringat pada pemikiran Gordon Allport dalam The Nature of Prejudice, terutama mengenai hipotesis kontak. Dalam kerangka itu, Allport menjelaskan bahwa prasangka bisa dikurangi apabila ada pertemuan antara kelompok yang berbeda dalam situasi yang memungkinkan adanya common ground.
Dan di situlah kekuatan Didit berada: ia membawa seni dan mode sebagai titik temu yang netral dan terbuka bagi siapa saja. Dalam dunia yang penuh fragmentasi dan polarisasi, Didit muncul dengan pendekatan lembut namun efektif untuk membuka ruang dialog yang biasanya tertutup.
Kenny melihat bagaimana Didit bisa berbincang santai dengan Brigitte Macron satu hari, lalu menghadiri pameran seni bersama tokoh oposisi di hari lain. Semua dilakukan dengan bahasa yang universal: keindahan, rasa, dan kesetaraan sosial yang dibalut dalam karya dan interaksi.
Maka bagi Kenny, the Didit Way adalah lebih dari sekadar gaya hidup—ia adalah metode sosial. Sebuah cara membangun jembatan di tengah dunia yang terpecah, dengan kehalusan insting dan kepekaan yang tak semua politisi miliki. (A43)