HomeNalar PolitikAnies dan Ramalan Suram Parpol Islam?

Anies dan Ramalan Suram Parpol Islam?

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Wacana koalisi besar parpol Islam nonparlemen oleh elite PPP menguak realita kontemporer mengenai frasa “hidup segan mati tak mau”. Dengan pengecualian case PKS yang masih eksis, diskursus masa depan koalisi itu kian menarik dengan variabel sosok Anies Baswedan dalam skenario 2029 kelak. Mengapa demikian?


PinterPolitik.com

Dalam lanskap politik Indonesia pascareformasi, partai-partai Islam mengalami pasang surut yang dramatis. Terlebih, dengan realita degradasi PPP, partai legendaris dari Senayan di edisi 2024-2029.

Meskipun Indonesia adalah negara dengan penduduk Muslim terbesar di dunia, eksistensi partai Islam justru mengalami tantangan serius, baik dari segi elektabilitas, simbolisme, hingga konsistensi ideologis.

Pemilu 2024 menjadi penanda penting: hanya satu partai Islam, yakni Partai Keadilan Sejahtera (PKS), yang berhasil bertahan di parlemen. Sisanya, yakni PPP, PBB, Partai Ummat, Partai Gelora, hingga Masyumi Baru, tergulung di bawah ambang batas parlemen. Fakta ini memunculkan pertanyaan besar, apakah partai Islam di Indonesia tengah menuju senjakala?

Dalam konteks ini, usulan dari politisi senior PPP, Zainut Tauhid Sa’adi, mengenai pembentukan koalisi besar partai Islam nonparlemen menjadi menarik untuk dibedah lebih dalam.

Koalisi ini kiranya tidak hanya merupakan respons taktis atas kegagalan elektoral, tapi juga cerminan dari kegamangan identitas partai Islam kontemporer dalam arena politik pragmatis.

Terlebih lagi, gagasan tersebut menyeret satu nama yang magnetiknya sulit diabaikan, yaitu Anies Baswedan.

Lalu, mengapa masa depan parpol Islam dan korelasi tak langsungnya dengan Anies menjadi diskursus yang kiranya dapat mengubah peta politik menuju 2029?

Problem Struktural Partai Islam

Secara historis, partai Islam di Indonesia mengalami semacam ambivalensi institusional. Di satu sisi, mereka membawa misi moral dan ideologis yang ingin membumikan nilai-nilai Islam dalam kebijakan negara.

Tetapi di sisi lain, mereka terjebak dalam logika elektoral modern yang menuntut fleksibilitas, konsesi politik, bahkan kadang kontradiksi ideologis.

Dalam teori politik identitas sederhana, terdapat frasa identity crisis, yaitu ketika sebuah entitas politik tidak mampu lagi merepresentasikan basis kultural dan ideologisnya.

Inilah yang dialami oleh sebagian besar partai Islam di Indonesia. Pragmatisme, dalam bentuk koalisi oportunistik dan kompromi ideologis, menggerus kredibilitas moral mereka di mata konstituen.

Penurunan suara partai-partai Islam di Pemilu 2024 mencerminkan bahwa ceruk pemilih Muslim kiranya sudah tidak lagi memandang partai Islam sebagai satu-satunya saluran ekspresi politik religius.

Baca juga :  Misi Sakral 24.000 Tamtama?

Konstituen serta pemilih secara umum mungkin saja mulai beralih pada figur, bukan partai, yang dianggap lebih tulus merepresentasikan nilai-nilai Islam.

Dalam telaah personalization of politics, hal ini lumrah terjadi ketika preferensi pemilih lebih banyak ditentukan oleh tokoh ketimbang institusi yang dinilai “begitu-begitu saja”.

Kasus spesifik PKS dan PKB memang bisa menjadi pengecualian spesifik, di mana mereka  kini memilih bergabung dalam pemerintahan Prabowo-Gibran yang pada dasarnya sedikit banyak juga memperlihatkan perubahan orientasi.

PKS selama ini dianggap konsisten sebagai oposisi berbasis nilai. Namun langkahnya bergabung dengan pemerintahan dapat dibaca sebagai bentuk akomodasi atas kekuasaan. Hal yang sama kiranya terjadi pula dengan PKB yang mengedepanan pragmatisme.

Ihwal tersebut kiranya dapat memperkuat persepsi bahwa tak satu pun partai Islam mampu menjaga jarak dari pragmatisme struktural, termasuk oleh apa yang dilakukan Partai Gelora.

Lalu, apa makna dari problem struktural itu?

anies vs sandi game of ppp thrones 1

Anies Baswedan adalah Koentji?

Dalam vakum simbolik yang ditinggalkan oleh partai Islam, eksistensi figur seperti Anies Baswedan dinilai telah mampu mengisi ruang tersebut. Setidaknya sejak Pemilihan Gubernur 2017 dan pencalonannya sebagai Capres 2024.

Meski bukan berasal dari partai Islam, Anies memiliki simbiosis mutualistik dengan kelompok-kelompok Islam politik. Kedekatannya dengan berbagai ormas, pesantren, dan komunitas Islam urban maupun konservatif menjadikannya figur yang dianggap kompatibel secara kultural dan ideologis.

Menurut kerangka symbolic interactionism, makna politik tidak inheren dalam institusi, melainkan dibentuk oleh interaksi simbolik antara aktor dan khalayak.

Anies agaknya cukup sukses mengembangkan narasi politik yang mampu diterima berbagai spektrum Islam, dari yang moderat hingga konservatif, tanpa terjebak pada label sektarian. Ia adalah simbol dari “Islam politik tanpa partai Islam.”

Lebih jauh, bila Anies masih memiliki ambisi politik di 2029, maka keterlibatannya dalam koalisi partai Islam nonparlemen bisa saja menjadi strategic alliance.

Dalam konsep resource mobilization, gerakan atau aktor politik membutuhkan organisasi dan sumber daya kolektif untuk bertahan dan berkembang. Koalisi partai Islam, meski kini tidak memiliki kekuatan di parlemen, mungkin masih memiliki jaringan sosial, akar massa, dan infrastruktur dakwah yang luas dalam derajat tertentu, hal yang bisa dimobilisasi untuk mendukung Anies andai dikelola dengan baik.

Koalisi tersebut juga kemungkinan akan memberikan ruang sebesar-besarnya bagi Anies untuk mengartikulasikan gagasan-gagasan Islam yang progresif, tetapi tetap populis. Ini penting untuk mempertahankan dukungan basis pemilih Islam sembari menghindari jebakan sektarianisme.

Baca juga :  Rian d'Masiv-Anies “di Antara Kalian”?

Kembali, usulan Zainut Tauhid untuk membentuk koalisi besar partai Islam nonparlemen membuka ruang eksperimentasi politik yang menarik. Bukan sekadar soal bertahan hidup pasca kekalahan elektoral, melainkan momentum untuk merumuskan ulang narasi politik Islam di Indonesia.

Narasi yang secara ideal tidak lagi berkutat pada formalisasi syariat, tetapi pada bagaimana Islam menjadi inspirasi etika politik dan kebijakan publik.

Namun, syarat keberhasilan koalisi ini, andai benar-benar terwujud, sangatlah kompleks. Pertama, dibutuhkan aktor pemersatu, dan di sinilah nama Anies bisa menjadi katalisator. Kedua, dibutuhkan visi ideologis kolektif yang tidak berhenti pada jargon moralitas, melainkan mampu menawarkan solusi konkret atas masalah publik, seperti keadilan sosial, kemiskinan struktural, dan krisis lainnya.

Ketiga, koalisi ini harus menghindari jebakan nostalgia ideologis yang selama ini menahan partai-partai Islam untuk melakukan pembaruan.

Dalam konteks ini, Anies kiranya dapat memainkan peran sebagai broker ideologis yang menjembatani wacana Islam progresif dan realitas politik kontemporer. Ia dapat membangun koalisi partai Islam tidak semata sebagai “kudeta elektoral” terhadap partai sekuler, tetapi sebagai think tank politik berbasis nilai dan keberpihakan sosial.

Jika hal ini terwujud, maka koalisi partai Islam nonparlemen bukan hanya akan relevan secara politik, tetapi juga mampu menjadi inkubator bagi regenerasi pemikiran Islam dalam politik Indonesia, sesuatu yang selama ini stagnan akibat keterjebakan pada polarisasi identitas.

Ramalan maupun analisis suram terhadap masa depan partai Islam memang tidak bisa diabaikan. Tapi jika dibaca secara dialektik, fase ini bisa menjadi titik balik untuk membangun gerakan politik Islam yang lebih reflektif, adaptif, dan transformatif.

Figur seperti Anies Baswedan, dengan kredibilitas simbolik dan konektivitas sosialnya, bisa menjadi kunci untuk menyeberangkan politik Islam dari masa lalu yang stagnan menuju masa depan yang lebih inklusif dan produktif.

Diskursus koalisi partai Islam nonparlemen agaknya bukan semata ruang konsolidasi kekuasaan, tetapi arena artikulasi ulang peran Islam dalam demokrasi Indonesia.

Di tengah dinamika kekuasaan yang semakin cair, narasi Islam politik perlu melampaui sekadar angka elektoral, menuju panggung yang lebih ideologis dan substantif, dan mungkin, di sinilah Anies dan cetak biru koalisi politik menemukan momentum barunya. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Chaos Pemblokiran Hormuz, Siapa “Rungkad”?

Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI. Selat Hormuz mungkin jauh dari Asia Timur dan Selatan, tapi jika ditutup, justru Tiongkok, India, dan...

Jalan Manis Anies

Anies Baswedan harus tetap menjaga relavansinya dalam narasi pembentukan opini masyarakat, jika ingin maju lagi di 2029.

Reset Senyap di Jantung Kekuasaan?

Gosip soal pergantian Kapolri – dan Panglima TNI – memang terus berhembus di media sosial.

Kontemplasi Stealth Bomber Sjafrie?

Di tengah ketidakpastian global dan konflik Iran-Israel, plus Amerika Serikat, Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin dihadapkan pada dilema klasik pertahanan Indonesia: alutsista mencolok vs. sistem pertahanan menyeluruh.

Ulil and the “Wahabi” Blame Game

Viral cuplikan video Ketua PBNU Ulil Abshar Abdalla labeli aktivis lingkungan sebagai “Wahabi”. Mengapa label ini tiba-tiba dimunculkan?

Perang Dunia III atau “Hot Peace”?

Dunia terasa semakin panas, tapi benarkah kita sedang memasuki babak awal Perang Dunia Ketiga? Atau jangan-jangan, ini hanyalah fase baru dari kompetisi global yang intens namun tetap terkendali—sebuah era yang oleh para ahli disebut hot peace.

Jalan Buntu Rumah Subsidi

Dengarkan artikel ini: Dalam kunjungannya ke Singapura beberapa hari lalu, Presiden Prabowo menyebut akan “mengcopy with pride” program-program Singapura, salah satunya adalah terkait pembangunan...

Pesanan Pizza Prediksi Konflik Israel-Iran? 

Warganet belakangan ramai perbincangkan "Pizza Index", yang disebut bisa memprediksi meletusnya konflik di Timur Tengah. Benarkah aroma keju meleleh pizza mampu menjadi tanda bahwa sebuah tensi geopolitik akan pecah?

More Stories

Kontemplasi Stealth Bomber Sjafrie?

Di tengah ketidakpastian global dan konflik Iran-Israel, plus Amerika Serikat, Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin dihadapkan pada dilema klasik pertahanan Indonesia: alutsista mencolok vs. sistem pertahanan menyeluruh.

Rian d’Masiv-Anies “di Antara Kalian”?

Di tengah derasnya hijrah musisi terjun ke politik, duet Rian d’Masiv dan Anies Baswedan di atas panggung jadi simbol sunyi, tentang pilihan dan "takdir", tentang jeda, hingga perlawanan simbolik. Mengapa demikian?

Akur Bobby-Masinton, Akur Jokowi-PDIP?

Saat Bobby Nasution dan Masinton Pasaribu tampil mesra selama proses penyelesaian administratif empat pulau Aceh-Sumut, muncul pertanyaan, apakah ini sinyal rujuknya Jokowi dan PDIP? Atau hanya panggung keharmonisan semu demi kepentingan sesaat? Simbol dan gestur politik sendiri seringkali lebih dalam dari yang terlihat. Mengapa demikian?