HomeHeadlineDiam-Diam Anies Disokong Intelijen?

Diam-Diam Anies Disokong Intelijen?

Kecil Besar

Kemunculan nama Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG) untuk menjadi calon wakil presiden (cawapres) Anies Baswedan agaknya memang cukup menarik. Akan tetapi, “pencatutan” nama BG kiranya hanya bagian dari marketing politik belaka. Benarkah demikian?


PinterPolitik.com

Wacana perkawinan politik untuk pemilihan presiden (Pilpres) 2024 antara mantan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dengan Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan (BG) sebagai calon wakil presiden (cawapres) belakangan muncul ke permukaan. 

Respons positif lantas muncul karena kemungkinan pasangan Anies-BG dapat meredam polarisasi dan memperbaiki perpecahan selama ini. 

Salah satunya disampaikan oleh Direktur Political and Public Policy Studies (P3S) Jerry Massie menilai latar belakang yang dimiliki keduanya berbeda namun bisa komplementer secara politik dan pemerintahan. 

Bahkan, menurut Jerry, pasangan Anies-BG sangat menarik dan menjual di hadapan konstituen. Itu disebabkan, Anies merupakan birokrat sekaligus akademisi. Sementara BG datang dari bidang kepolisian dan intelijen. 

Akan tetapi, terdapat tantangan berat yang juga bisa menjadi ganjalan bagi probabilitas pasangan Anies-BG. Satu yang paling menonjol adalah mengenai restu dari tokoh politik kawakan nasional. 

Secara politik, Jerry menilai BG harus meminta izin Megawati Soekarnoputri. Di sisi Anies, harus meminta restu politik dari Surya Paloh dan Partai NasDem yang menjadi pihak pertama pengusungnya sebagai calon presiden (capres).

image 118

Tak hanya Jerry, wartawan senior Kisman Latumakulita membeberkan sudut pandang serupa tapi tak sama atas munculnya nama BG. Menurut Kisman, sejumlah keuntungan yang akan didapatkan para aktor maupun partai politik yang mengusung pasangan Anies-BG. 

Sebagai orang berlatar belakang intelijen, BG dianggap memiliki pengaruh kuat dengan kaki dan tangan di berbagai wilayah, baik pusat maupun daerah. BG juga dinilai BG memiliki pengaruh kuat di kalangan Kepolisian dan TNI. 

Jika diamati, kemunculan wacana duet Anies-BG seolah cukup ganjil mengingat keduanya datang dari latar belakang sokongan politik yang sedang sering berbenturan saat ini. Lantas, mengapa isu duet ini bisa muncul? Mungkinkah ada campur tangan intelijen? 

Berkaca dari George Bush? 

Munculnya wacana duet Anies-BG agaknya tidak berangkat dari ruang kosong. Jika membandingkannya dengan Amerika Serikat (AS), misalnya, terdapat satu wakil presiden (wapres) yang berlatar belakang intelijen sekaligus mantan Direktur CIA. 

Baca juga :  Puan–Anies, Masa Depan PDIP?

Ya, dia adalah George Herbert Walker Bush alias George Bush senior. Berlatar belakang militer, Bush senior kemudian melibatkan diri dalam politik dan bergabung dengan Partai Republik. 

Mengawali karier di DPR atau House of Representatives AS, Bush kemudian malang melintang mengembangkan kiprahnya, seperti dipercaya menjadi Duta Besar AS untuk Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) hingga Kepala Dinas Penghubung AS untuk Republik Rakyat Tiongkok (RRT). 

Kemampuannya lantas membuatnya kembali dipercaya mengemban amanat penting dari Presiden Richard Nixon sebagai kepala telik sandi negara, yakni Direktur CIA pada 30 Januari 1976. Tugasnya kala itu cukup berat karena harus memulihkan citra CIA pasca Skandal Watergate.

Intrik politik memaksanya lengser dari jabatan pada 20 Januari 1977. Namun, hal itu justru memantik ambisinya untuk maju lebih jauh sebagai sosok yang mengendalikan eksekutif.

image 119

Digandeng oleh capres Ronald Reagan serta dikombinasikan dengan pengalaman intelijennya, plus, mendapat sentimen positif publik, Bush berhasil menjadi AS-2 selama dua periode, yakni sejak 20 Januari 1981 hingga 20 Januari 1989. 

Bahkan, Bush berhasil maju di Pilpres AS berikutnya dan sukses naik pangkat di Gedung Putih sebagai Presiden ke-41 AS. 

Serupa Bush, BG pun kiranya dianggap punya jejaring intelijen luas dan pengaruh di kementerian/lembaga hingga TNI/Polri, bahkan masyarakat sipil. “Kemampuan intelijen” itu barangkali akan sangat bermanfaat bagi Anies untuk menambah modal sosial dan politiknya dalam kontestasi elektoral. 

Secara keseluruhan, BG memang tampaknya dipandang cukup mumpuni untuk menopang kinerja seorang RI-1. 

Namun, relevansi Bush dengan BG sebagai cawapres Anies sepertinya mengemuka di atas sebuah bias konfirmasi, khususnya illusory correlation atau ilusi korelasi. 

Korelasi ilusi sendiri merupakan kekeliruan yang menganggap hubungan antara dua peristiwa atau situasi ke dalam bingkai yang sama. 

Itu dikarenakan, sampai saat ini BG tampak tidak memiliki ambisi politik. Kecenderungan itu berbeda dengan Bush yang dikabarkan punya semacam “dendam politik” terhadap Presiden AS sebelum Reagan, yakni Jimmy Carter (Partai Demokrat) yang disebut melengserkannya dari posisi Direktur CIA. 

Selain itu, BG pasti membutuhkan restu PDIP yang mana hingga kini masih punya nama lain sebagai capres maupun cawapres dalam diri Puan Maharani maupun Ganjar Pranowo. 

Lalu, apa yang menyebabkan isu duet Anies-BG bisa mengemuka? Siapa pihak yang diuntungkan dari munculnya wacana itu?

Baca juga :  Megawati Chill, Politik Stabil?
image 120

Marketing Nebeng Tenar? 

Pasca kemunculan duet Anies-BG, wacana pemasangan capres-cawapres lain turut muncul. Setelah bertemu dan sarapan bareng, nama Wali Kota Solo Gibran Rakabuming Raka juga menyeruak sebagai cawapres yang diperhitungkan untuk mendampingi Anies. Dan pada akhirnya, sosok Anies lagi-lagi menjadi sentral. 

Atas variabel tersebut, bisa saja pemasangan cawapres dengan nama tenar dan bernuansa “rival politik” itu merupakan sebuah taktik politik tersendiri dengan anonimitas yang mengarah pada positivitas Anies. 

Sejak tak memiliki jabatan politik dan diusung sebagai capres 2024, relevansi Anies memang mutlak dipertahankan oleh pihak-pihak yang mendukungnya. 

Dengan menumpang nama sekaliber BG dan Gibran yang memiliki loyalis dan ceruk suara tersendiri, agaknya itu bisa menjadi cara untuk Anies tetap diperbincangkan dalam narasi yang positif, terutama di hadapan rival politik. 

Dalam terminologi pemasaran, taktik semacam itu dikenal dengan ambush marketing atau coattail marketing, yang mana secara definisi memiliki arti menumpang atau mengkombinasikan nama di brand yang sudah eksis dengan keunggulan mereka. 

Tujuan dari marketing itu tak lain adalah brand awareness, atau jika diadopsi dalam politik, menjadi political awareness yang dapat menguntungkan sosok pengguna taktik tersebut. 

Tim di belakang Anies kiranya menyadari hal tersebut dan sudah semestinya mencoba strategi tersebut untuk membuat mantan Gubernur DKI Jakarta itu tetap diperbincangkan. 

Apalagi dengan menyandingkan cawapres bertendensi politik yang selama ini dianggap tak sejalan. Itu kiranya akan menambah kesan “bersahabat” Anies terhadap sosok manapun yang akan menjadi cawapres. 

Tak hanya itu, kemungkinan lain dengan mengemukanya nama seperti BG dan Gibran, membuat tarik-menarik perebutan cawapres yang pantas di internal potensi Koalisi Perubahan (Partai NasDem, Partai Demokrat, dan PKS) dapat sedikit diredam. 

Tentu diredam dalam artian mengurangi kemungkinan pecahnya koalisi sejak awal karena tidak menemui titik temu mengingat ambisi Partai Demokrat dan PKS untuk mengusung cawapres masing-masing masih cukup tinggi. 

Akan tetapi, analisis di atas masih merupakan interpretasi semata. Namun yang jelas, sosok cawapres pendamping Anies kelak memang akan sangat dinantikan karena seolah menggambarkan poros dan situasi politik apa yang akan terjadi di 2024. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

The X Saga: Khamenei dan Elon?

Di tengah konflik Iran dan Israel, figur Ayatollah Ali Khamenei justru semakin “bangkit” di platform media sosial seperti X. Mengapa bisa?

Menguak “Benteng” Perang Indonesia

Dunia tengah bergolak, dan bayang-bayang Perang Dunia 3 kembali menghantui percakapan global. Tapi di tengah kecemasan itu, mungkinkah Indonesia justru jadi salah satu tempat paling aman di bumi? 

Puan–Anies, Masa Depan PDIP?

Babak baru hubungan PDIP dan Anies Baswedan terus terjalin dan yang terbaru terlihat di momen HUT Jakarta. Dari rival menjadi sekutu potensial, kerja sama ini bisa membuka jalan koalisi besar 2029 dan bisa saja menjadi alternatif yang signifikan dampaknya.

Chaos Pemblokiran Hormuz, Siapa “Rungkad”?

Dengarkan artikel ini. Audio ini dibuat dengan teknologi AI. Selat Hormuz mungkin jauh dari Asia Timur dan Selatan, tapi jika ditutup, justru Tiongkok, India, dan...

Jalan Manis Anies

Anies Baswedan harus tetap menjaga relavansinya dalam narasi pembentukan opini masyarakat, jika ingin maju lagi di 2029.

Reset Senyap di Jantung Kekuasaan?

Gosip soal pergantian Kapolri – dan Panglima TNI – memang terus berhembus di media sosial.

Kontemplasi Stealth Bomber Sjafrie?

Di tengah ketidakpastian global dan konflik Iran-Israel, plus Amerika Serikat, Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin dihadapkan pada dilema klasik pertahanan Indonesia: alutsista mencolok vs. sistem pertahanan menyeluruh.

Ulil and the “Wahabi” Blame Game

Viral cuplikan video Ketua PBNU Ulil Abshar Abdalla labeli aktivis lingkungan sebagai “Wahabi”. Mengapa label ini tiba-tiba dimunculkan?

More Stories

Puan–Anies, Masa Depan PDIP?

Babak baru hubungan PDIP dan Anies Baswedan terus terjalin dan yang terbaru terlihat di momen HUT Jakarta. Dari rival menjadi sekutu potensial, kerja sama ini bisa membuka jalan koalisi besar 2029 dan bisa saja menjadi alternatif yang signifikan dampaknya.

Kontemplasi Stealth Bomber Sjafrie?

Di tengah ketidakpastian global dan konflik Iran-Israel, plus Amerika Serikat, Menteri Pertahanan RI Sjafrie Sjamsoeddin dihadapkan pada dilema klasik pertahanan Indonesia: alutsista mencolok vs. sistem pertahanan menyeluruh.

Rian d’Masiv-Anies “di Antara Kalian”?

Di tengah derasnya hijrah musisi terjun ke politik, duet Rian d’Masiv dan Anies Baswedan di atas panggung jadi simbol sunyi, tentang pilihan dan "takdir", tentang jeda, hingga perlawanan simbolik. Mengapa demikian?