HomeNalar PolitikDi Balik Serangan Teroris ke Jokowi

Di Balik Serangan Teroris ke Jokowi

Penerobosan Istana Negara oleh seorang perempuan bernama Siti Elina jadi sorotan. Tidak lama, Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko pun menyuarakan bahwa radikalisme akan meningkat jelang Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024). Mungkinkah ada motif politik di balik narasi tentang radikalisme?


PinterPolitik.com

Aksi seorang perempuan bernama Siti Elina yang beberapa waktu lalu hampir menerobos keamanan Istana Negara jadi sorotan publik. Bagaimana tidak? Wanita berusia 24 tahun itu juga menodongkan senjata api pada salah satu Pasukan Pengamanan Presiden (Paspampres) tetapi untungnya bisa dihentikan sebelum ada korban terjatuh.

Hasil penyelidikan menemukan bahwa Siti ternyata membawa dua motif. Pertama, menurut Polda Metro Jaya, ia ingin bertemu dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menyampaikan bahwa dasar negara Indonesia salah karena tidak mengadopsi Islam. Kedua, berdasarkan penelusuran Densus 88, Siti mengaku dapat wasiat gaib yang menyuruhnya menyebarkan ajaran agama, kalau tidak bisa masuk neraka.

Terlepas dari alasan sebenarnya, aksi Siti membuatnya dipandang sebagai teroris. Beberapa saat kemudian pihak berwajib mengumumkan bahwa Siti ternyata berhubungan dengan gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) dan Negara Islam Indonesia (NII).

Well, pada akhirnya, apa yang dilakukan Siti dinilai hanya jadi salah satu indikasi bahwa terorisme dan radikalisme di Indonesia masih ada. Terkait itu, Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko sempat menyebutkan bahwa radikalisme memang akan meningkat terutama mendekati Pemilihan Umum 2024 (Pemilu 2024). Berdasarkan data yang ia dapat dari Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), pada tahun 2020 potensi radikalisme sebesar 14 persen dan, pada 2023-2024, katanya, ada potensi meningkat.

Menariknya, Moeldoko membantah jika ada yang melihat bahwa pemerintah sengaja melabeli sejumlah kelompok dengan cap radikalisme. Dia menyebut pemerintah tentunya punya standar yang jelas untuk menyatakan sebuah kelompok radikal dan tidak.

Jikalau apa yang diklaim Moeldoko benar, perkataannya tentang bahaya radikalisme yang semakin tinggi tetap memancing pertanyaan. Sebelum persoalan Siti Elina, muncul aksi radikalisme yang berubah menjadi terorisme jarang sekali masuk dalam pemberitaan. Ini kemudian memunculkan sejumlah warganet bertanya-tanya: apakah benar radikalisme seberbahaya itu?

Dan, mungkinkah ada unsur politik di balik narasi meningkatnya radikalisme?

image 14

Jebakan Bias Radikalisme?

Dalam artikel PinterPolitik.com berjudul Politisasi Agama Lahirkan Radikalisme?, dijelaskan bahwa sebagian besar masyarakat Indonesia masih keliru dalam membedakan antara radikalisme, ekstremisme, dan terorisme. Singkatnya, radikalisme tidak bisa kita samakan dengan kekerasan seperti terorisme karena sesuatu yang dianggap “radikal” tidak bisa diartikan sebagai kejahatan.

Seseorang memang bisa saja memiliki pandangan yang sangat konservatif, seperti mendambakan kejayaan peradaban Islam misalnya. Namun, apakah orang tersebut sudah dipastikan akan melakukan kekerasan?

Tentu tidak, karena ke-radikal-an seseorang tidak akan pernah bisa dijadikan indikator aksi kejahatan. Layaknya aksi kriminal pada umumnya, sesuatu bisa dianggap jahat ketika orang yang melakukannya berniat berlaku ekstrem.

Baca juga :  Prabowo Perlu Belajar dari Qatar? 

Dari persoalan penggunaan kosakata saja narasi tentang radikalisme yang dilontarkan pemerintah, khususnya Moeldoko, sudah pantas kita kritik. Apakah ini artinya orang yang punya pandangan mendalam tentang agamanya sudah pasti akan dianggap sebagai ancaman? Well, kita tidak akan tahu pasti karena pemerintah memiliki “standar”-nya sendiri dalam penilaiannya.

Yang jelas, bagaimanapun juga radikalisme telah jadi perhatian pertama upaya penanggulangan kekerasan dari pemerintah, dan tidak ada yang bisa menjamin kelompok-kelompok keagamaan terdekat kita tidak termasuk yang dianggap “radikal” oleh pemerintah. Hal ini sebenarnya jadi salah satu hal yang dikhawatirkan pengamat teroris Anneli Botha dalam tulisannya Radicalisation to Terrorism: a Political Socialisation Perspective.

Di dalamnya, Botha menilai bahwa dalam melakukan aksi counter-terrorism, pemerintah berpotensi terjebak dalam suatu kekeliruan besar yakni terlalu fokus pada pelabelan siapa-siapa saja yang “teradikalisasi”. Sementara, akar-akar penyebab terorisme tidak tersentuh sama sekali. Selain itu, Botha juga menyoroti hal seperti ini merupakan indikasi bahwa kampanye anti-terorisme hanya digunakan untuk kepentingan politik belaka.

Di sisi lain, hingga saat ini juga banyak yang melihat bahwa terorisme muncul karena pandangan agama. Padahal, seperti yang disimpulkan Tore Bjørgo dalam bukunya Root Cause of Terrorism, aksi teror seringnya muncul akibat terhalangnya aspirasi politik kelompok tertentu, ketidakpuasan terhadap sistem pemerintahan, dan hal-hal pendorong kekerasan yang tak terduga seperti niatan sederhana untuk berbuat jahat.

Oleh karena itu, kalau memang pemerintah benar-benar ingin memberantas aksi teror, maka narasi tentang bahayanya radikalisme sepertinya tidak akan menjadi solusi yang cukup efektif. Malahan, sikap yang seperti ini justru malah berpotensi memunculkan aksi ekstremisme.

Martha Crenshaw dalam tulisannya The Causes of Terrorism menjelaskan bahwa dalam memberantas terorisme persoalannya adalah bukan tentang siapa atau seberapa banyak orang yang terpapar pandangan radikal, tetapi apakah pandangan tersebut bisa diterjemahkan sebagai aksi kekerasan atau tidak.

Dengan demikian, jika pelabelan radikalisme tidak benar-benar dijalankan berdasarkan indikator kekerasan, maka itu sesungguhnya juga berpotensi merusak nilai demokrasi karena hak kelompok tersebut untuk terlibat dalam politik telah dihalang bahkan sebelum mereka melakukan apa-apa. Bagi yang merasa tertindas, hal ini bisa saja dijadikan sebagai katalis aksi kekerasan yang bertujuan memprotes perlakuan pemerintah terhadap mereka.

Akan tetapi, dari seluruh pembahasan ini, masih ada satu pertanyaan penting yang belum terjawab. Kenapa belakangan pembahasan tentang radikalisme seakan begitu gencar dilemparkan padahal persoalan tersebut kini tidak begitu menjadi perhatian? Mungkinkah ada unsur politik?

image 15

Semakin Dekat 2024, Semakin Panas?

Seperti yang sudah diketahui, kurang dari waktu dua tahun negara kita akan menggelar salah satu acara terbesarnya, yakni Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. Dan pernyataan pemerintah tentang bahaya radikalisme ataupun terorisme menjelang pemilu tidak hanya dilakukan baru-baru ini.

Baca juga :  Anies-Ganjar Harus Cegah Tragedi 2019 Terulang

Pada tahun 2013, misalnya, Kepala BNPT juga pernah mewanti-wanti publik jaringan-jaringan teroris semakin gencar melakukan aksinya menjelang Pemilu 2014. Lalu, pada tahun 2018-2019, pemerintah juga cukup gencar menindak sejumlah aksi teroris –seperti penangkapan Husain alias Abu Hamzah di Lampung dan serangan teroris di Mako Brimob.

Kemudian, menjelang Pemilu 2024 muncullah kasus Siti Elina tadi yang sebenarnya masih dipenuhi misteri karena banyak yang mempertanyakan dari mana Siti mendapatkan senjatanya dan mengapa ia bisa dengan mudah menerobos pengamanan Istana.

Tentu, akan terlalu jauh bila kita menduga ada yang memainkan isu terorisme setiap kali mendekati pemilu. Namun, tampaknya, hal ini mulai menjadi sebuah pola.

Agar kita dapat menjawab misteri ini, untuk sekarang sepertinya kita bisa berpegang pada apa yang dikatakan Leopoldo Fergusson dalam tulisannya The Need for Enemies yang menjelaskan bahwa dunia politik kental dengan penciptaan musuh artifisial atau buatan.

Fergusson bahkan melihat ada pihak-pihak yang dengan sengaja mengelola suatu permasalahan agar bisa digunakan untuk kepentingan pragmatisme politik. Sebagai contohnya, di Amerika Serikat (AS), isu tentang kesetaraan ras dan pemerataan rumah penduduk jadi permasalahan-permasalahan yang selalu dibicarakan tapi belum pernah selesai. Dengan pandangan Fergusson, dinilai bahwa para penguasa di negara tersebut memang sengaja membuat isu-isu tadi tidak terselesaikan karena dapat menjadi komoditas politik setiap kali menyambut pemilu.

Kalau dugaan seperti ini memang benar, maka untuk menduga bahwa isu-isu besar seperti radikalisme keagamaan di Indonesia dijadikan sebagai permasalahan musiman sebenarnya tidak terlalu mengada-ngada, apalagi dalam kehidupan bernegara ada sesuatu yang disebut sebagai konstruksi sosial. Jon Gunnar Bernburg, seorang akademisi dari Islandia, menyebutkan bahwa sebuah konstruksi sosial diciptakan agar kondisi masyarakat bisa mendukung narasi besar yang sedang dimainkan.

Terlebih lagi bila dalam konstruksi sosial tersebut fungsi labelling atau pengecapan turut dimainkan. Dengan membuat kelompok tertentu identik dengan ancaman negara, maka masyarakat mau tidak mau pasti akan menjauhinya. Mereka juga lebih terpantau oleh semua pihak karena orang-orang sudah dibuat waspada terlebih dahulu. Kembali ke konteks radikalisme di Indonesia, narasi tentang bahaya radikalisme juga sebenarnya berpotensi digunakan untuk menghambat manuverabilitas politik kelompok tertentu.

Akhir kata, tentu ini semua hanyalah interpretasi belaka. Kita harap saja klaim Moeldoko tentang penentuan kelompok mana yang bahaya dan mana yang tidak bisa dibuktikan secara objektif.

Bagaimanapun juga, ekstremisme dan terorisme adalah hal mengerikan yang harus sebisa mungkin kita cegah. Namun, penting untuk diingat bahwa proses pencegahannya pun harus ekstra hati-hati karena kalau salah tindak bisa jadi malah akan menimbulkan potensi kekerasan baru. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Mustahil Megawati-Paloh Gunakan Hak Angket? 

Usai pengumuman KPU, isu pengguliran hak angket DPR kembali berbunyi. Kira-kira akankah Surya Paloh dan Megawati Soekarnoputri mendorongnya?