HomeNalar PolitikDi Balik Ratna Sarumpaet

Di Balik Ratna Sarumpaet

Seiring dengan terungkapnya fakta kebohongan kasus Ratna Sarumpaet, statement lantang Prabowo di media untuk membela sang aktivis justru menjerumuskan dirinya menjadi pahlawan HAM kesiangan. Apakah dagelan politik ini sungguh menunjukkan realitas kualitas pemimpin politik kita hari ini?


PinterPolitik.com

[dropcap]R[/dropcap]atna Sarumpaet, aktivis dan Juru Kampanye tim Prabowo Subianto-Sandiaga Uno kembali menuai sensasi. Pasalnya, ia menggegerkan publik dengan pengakuan bahwa ia telah menjadi korban penganiayaan.

Menurut laporan beberapa media, Ratna dianiaya oleh tiga orang pada 21 September 2018 lalu di sekitar Bandara Husein Sastranegara, Bandung, Jawa Barat.

Peristiwa ini langsung direspon oleh tim Prabowo-Sandi sebagai tindakan kekerasan yang terkutuk. Bahkan, Prabowo pun menggelar konferensi pers dan menyebut kasus ini sebagai bentuk pelanggaran HAM berat dan harus ditindak tegas.

Lalu bagaimana makna dari drama penganiayaan ini dalam kacamata politik ?

Playing Victim, Sebuah Sandiwara?

Memang tak jelas soal motif di balik berita penganiayaan yang dilakukan kepada aktivis paruh baya itu. Namun, banyak kejanggalan menyelimuti kasus yang sedang dihadapi Ratna Sarumpaet ini.

Salah satunya adalah rentetan kronologis kejadian yang tidak konsisten dan terkesan mengada-ada. Bahkan ia tidak melaporkan kejadian penganiayaanya terhadap pihak berwajib, dengan alasan menjaga keselamatan keluarganya.

Setelah ditelusuri oleh pihak berwajib, kejadian yang digambarkan Ratna terkesan parsial. Hal ini terkait hasil penelusuran Polda Jabar yang melakukan penyelidikan dengan mendatangi 23 rumah sakit dan puskesmas di Bandung dan Cimahi. Hasilnya, tidak ada pasien atas nama Ratna Sarumpaet.

Polda Jabar juga melakukan investigasi hingga ke Bandara Husein Sastranegara, Bandung. Hasilnya pun sama, nihil dan tak ada kasus kekerasan yang melibatkan Ratna.

Pengakuan Ratna ini pun menyebabkan Polda Metro Jaya turun tangan dan bergerak untuk melakukan penyelidikan. Hasilnya pun mengejutkan. Klaim bahwa Ratna dipukuli pada tanggal 21 September lalu itu tidak sesuai dengan data telepon yang dilakukan Ratna sejak tanggal 20 hingga 24 September.

Dari hasil penelusuran tersebut menyatakan bahwa Ratna berada di Jakarta. Fakta lainnya yang tak kalah bikin heboh adalah hasil pengecekan CCTV di RS Bina Estetika di daerah Menteng yang merupakan klinik bedah plastik, menunjukkan bahwa Ratna berada di sana pada tanggal kejadian.

Tentu saja hal ini menimbulkan tanda tanya besar bagi publik. Permainan apa yang sedang dilakukan Ratna hingga memantik kehebohan nasional ini? Dalam konferensi persnya Ratna telah mengakui bahwa ia melakukan operasi plastik dan menyanggah adanya penganiayaan.

Dalam konteks kekerasan, menurut Gabrielle Bardall, ilmuwan sekaligus aktivis gender dari International Foundation for Electoral Systems (IFES) penggunaan diskursus kekerasan terhadap kandidat dan aktivis politik dalam konteks elektoral merupakan bentuk strategi dalam menyerang lawan politiknya.

Menariknya, menurut Bardall, jika penyerangan tersebut dilakukan berdasarkan status gender, maka akan menimbulkan efek politik yang lebih besar.

Hal ini berkaitan dengan citra bahwa perempuan adalah sosok yang lemah dan terbelenggu dengan struktur kekuasaan dunia – yang sering disebut men’s world – yang mengatur mereka. Sehingga, kekerasan terhadap perempuan dapat dianggap sebagai pencideraan serius terhadap HAM.

Baca juga :  Puan x Prabowo: Operasi Rahasia Singkirkan Pengaruh Jokowi?

Tentu menggunakan diskursus perempuan adalah korban akan  berdampak pada penggiringan opini publik dan mampu menimbulkan atensi yang lebih luas. Dalam kasus tertentu, hal ini akan menguntungkan pihak yang berkepentingan.

Dalam kasus Ratna, disinyalir adanya upaya penggiringan opini publik di mana isu kekerasan terhadap perempuan menjadi narasi yang cukup ampuh untuk mengkonstruksi kesimpulan bahwa ada motif politik dalam upaya penganiayaan yang dialami Ratna.

Asumsi itu kemudian didukung oleh statement capres nomer urut 02 Prabowo Subianto, yang menyatakan ada motif politik di balik dugaan penganiayaan yang dialami anggota Badan Pemenangan Nasional-nya itu.

Karena tidak ada barang berharga maupun uang Ratna yang hilang pasca-penganiayaan, maka spekulasi tersebut muncul. Selain itu, kata Prabowo, Ratna mengaku diancam oleh pelaku terkait sikap politiknya.

Mengingat latar belakang Ratna sebagai aktivis kontroversial, serta sebagai bagian dari oposisi, bisa jadi drama penyerangan ini adalah bagian dari manuver politiknya menarik simpati pemilih untuk kepentingan Pilpres 2019 mendatang.

Politik Dramaturgi ala Ratna Sarumpaet

Pasca terjadi penganiayaan – jika mengacu keterangan tim Prabowo-Sandi – Ratna Sarumpaet justru tidak melaporkan kejadian ini kepada polisi, tapi malah menemui Prabowo Subianto. Lalu tiba-tiba kabar bahwa ia dipukuli menjadi viral di media sosial.

Prabowo pun menanggapinya secara responsif. Ia mengecam bahwa tindakan tersebut merupakan tindakan pengecut dan sebagai bentuk pelanggaran HAM. Ia juga menyampaikan bahwa tragedi penganiayaan tersebut merupakan ironi dimana pada tanggal 2 Oktober merupakan peringatan hari anti kekerasan internasional.

Faktanya, NET TV melansir bahwa Ratna menyatakan tidak mengalami kekerasan fisik ketika dihubungi via telepon pada Selasa kemarin. Dalam konferensi pers, Ratna juga menyebut bahwa dirinya hanya mencari alasan untuk menjelaskan wajahnya yang bengkak kepada anaknya.

Kemunculan Ratna Sarumpaet dan kasus penganiayaan ini bisa jadi sebagai politik dramaturgi menjelang Pilpres 2019 Click To Tweet

Apakah pembohongan publik ini hanya sebagai bentuk dagelan politik semata atau memiliki makna lebih?

Kemunculan Ratna Sarumpaet dan kasus penganiayaan ini bisa jadi sebagai politik dramaturgi menjelang Pilpres 2019.

Erving Goffman dalam bukunya The Presentation of Self in Everyday Life memperkenalkan teori yang disebut sebagai dramaturgi. Dalam pandanganya, politik adalah panggung sandiwara yang berjarak terhadap realitas yang selama ini dipahami.

Apa yang diperankan atau ditampilkan seseorang di atas panggung oleh seorang aktor identik dengan motif tertentu. Teori ini menekankan adanya modal simbolik yang terepresentasi dalam berbagai bentuk, misalnya kemampuan orasi atau meyakinkan pemilih atas gagasan-gagasannya. Teori ini mensyaratkan politisi untuk sadar kamera sehingga dapat membentuk persepsi publik tentang dirinya

Ibarat sebuah panggung pementasan, penonton hanya akan menyimpulkan kualitas politisi dari apa yang terpampang di depan layar. Teori ini juga lebih dikenal sebagai “fatamorgana politik”, di mana kondisi politik merupakan arena pertarungan citra dan tanda.

Baca juga :  Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Apakah Ratna sendirian dalam memerankan dramaturgi peristiwa penganiayaan ini? Dalam konteks kebohongan kepada orang-orang di sekitarnya, jawabannya ya. Namun, dalam konteks dampak elektoralnya tentu saja tidak.

Kemunculan aktor lain seperti Prabowo, Fadli Zon, dan Amien Rais yang terkesan hiperbolis tentu semakin memeriahkan pertarungan wacana di media masa. Tujuannya tentu saja adalah semakin memperkuat branding yang terlanjur beredar bahwa ada upaya pelanggaran HAM yang dilakukan oleh pihak tertentu.

Apakah mungkin peristiwa ini merupakan momentum bagi Prabowo untuk membangun citranya kembali setelah isu HAM yang menjeratnya?

Dalam laporan CNN Indonesia, isu pelanggaran hak asasi manusia (HAM) dalam reformasi 1998 menjadi serangan politik musiman bagi Prabowo jelang Pilpres 2019.

Dengan pengungkapan sejumlah dokumen milik pemerintah Amerika Serikat soal kondisi Indonesia saat 1998, Prabowo dan sejumlah petinggi militer, dianggap bertanggung jawab atas peristiwa penculikan aktivis tertanggal 7 Mei 1998 yang dibeberkan oleh National Security Archive (NSA), Universitas George Washington.

Di dalam dokumen itu tertulis jika Prabowo Subianto mengetahui penculikan dan penyiksaan aktivis pro demokrasi yang saat itu memimpin sebagai Divisi Empat Kopassus.

Laporan NSA tersebut berdampak signifikan bagi elektabilitas Prabowo dalam pilpres 2014. Dalam survei yang dilakukan Lingkar Survei Indonesia (LSI) pada tahun 2014 menyatakan bahwa serangan isu HAM sangat mempengaruhi penurunan popularitas Prabowo.

Dari 2.400 responden yang disurvei pada 1-9 Juni 2014, LSI mencatat 32,8 persen pemilih telah mendengar isu Prabowo terlibat dalam penculikan aktivis. LSI menyimpulkan 51,5 persen publik percaya kalau Prabowo terlibat dalam kasus HAM 1998. Serta sebanyak 56,8 persen publik yang mendengar keterlibatan Prabowo dalam kasus itu mempertimbangkan niatnya dalam mendukung Prabowo.

Tentu angka tersebut bukan angka yang kecil dalam konteks politik elektoral. Menurut pengamat politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, Adi Prayitno, isu pelanggaran HAM berpotensi menjadi sandungan berat bagi prabowo menjelang Pilpres 2019. Terlebih, Prabowo dan tim sukses tak pernah benar-benar serius menjawab isu tersebut, bahkan tak punya jawaban yang valid.

Seiring dengan terungkapnya fakta kebohongan Ratna, statemen lantang Prabowo di media untuk membela Ratna Sarumpaet justru menjerumuskan dirinya menjadi pahlawan HAM yang muncul di siang bolong. Dagelan politik ini pada akhirnya menjadi jebakan politik yang merugikan Prabowo-Sandi.

Sementara dalam konteks isu kampanye, hal ini tidak mengherankan karena isu HAM dalam politik Indonesia, bahkan telah lama menjadi komoditas politik yang menjadi jualan paling laku untuk menarik simpati pemilih.

Dan kali ini, kita dihadapkan pada realitas politik bahwa isu HAM sekalipun dapat dipelintir sebagai drama politik di mana aktor-aktornya sedang berebut kepentingan menduduki kursi kepemimpinan.

Menarik untuk ditunggu bagaimana kelanjutannya. (M39)

spot_imgspot_img

#Trending Article

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Ini Rahasia Jokowi Kalahkan Megawati?

Kendati diprediksi melemah pasca kepresidenan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai memiliki kunci rahasia agar tetap bisa memiliki pengaruh dalam politik dan pemerintahan. Bahkan, Jokowi agaknya mampu untuk melampaui kekuatan dan pengaruh Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

Ahmad Dhani, Paradoks Politisi Selebritis?

Prediksi tentang lolosnya beberapa artis ke Senayan memunculkan kembali skeptisme tentang kualifikasi yang mereka tawarkan sebagai representasi rakyat. Layakkah mereka menjadi anggota dewan? PinterPolitik.com Popularitas mungkin...

Prahara Prabowo dan Ijtima Ulama

Kedatangan Prabowo di forum Ijtima Ulama III sehari yang lalu menyisakan sejuta tanya tentang masa depan hubungan antara mantan Danjen Kopassus ini dengan kelompok...

Vietnam, Ilusi Poros Maritim Jokowi

Insiden penabrakan kapal Vietnam ke kapal TNI AL di perairan Natuna Utara menghidupkan kembali perdebatan tentang doktrin poros maritim yang selama ini menjadi kebijakan...