HomeNalar PolitikDi Balik La Nyalla Mattalitti

Di Balik La Nyalla Mattalitti

Pengakuan La Nyalla Mattalitti terkait keterlibatan dirinya dalam kampanye hitam terhadap Jokowi lewat isu PKI, memang menjadi pemandangan teranyar dari suasana politik jelang Pilpres 2019. Pengakuan mantan pendukung Prabowo itu seolah membenarkan tudingan konstruksi isu kampanye yang membuat gerah Jokowi. Faktanya, apa yang terjadi pada La Nyalla adalah pembenaran pemikiran ahli hukum asal Jerman, Carl Schmitt ketika membedah konsep politik dalam bukunya yang terbit pada tahun 1932.


PinterPolitik.com

“If you know the enemy and know yourself you need not fear the results of a hundred battles.”

:: Sun Tzu ::

[dropcap]K[/dropcap]onsepsi tentang penebusan atau redemption memang punya akar historis yang kuat dalam teologi di hampir semua agama.

Namun, tentu saja tulisan ini tidak akan membahas konsepsi penebusan itu, katakanlah dalam kerangka pemikiran teolog macam Jonathan Edwards, melainkan konteks pemaknaan istilah itu dalam politik Indonesia hari-hari ini – mungkin bisa juga disebut sebagai political redemption atau penebusan politik.

Hal inilah yang setidaknya sedang ditampilkan oleh La Nyalla Mattalitti beberapa hari lalu lewat pengakuannya, yang membuat situasi politik jelang Pilpres 2019 makin hangat dan menarik untuk dibahas.

Konteks ekonomi-politik pun juga menjadi faktor menarik lain yang sangat mungkin hadir dalam hubungan Jokowi dan La Nyalla. Click To Tweet

Pasalnya, pria yang pernah menjabat sebagai Ketua Umum Persatuan Sepak Bola Seluruh Indonesia (PSSI) itu mengakui bahwa dirinya menjadi salah satu orang yang menyebarkan kampanye berisi tuduhan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) adalah simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI).

Ia bahkan mengaku ikut menyebarkan majalah Obor Rakyat – yang jadi propaganda politik anti Jokowi pada Pilpres 2014 lalu – di wilayah Jawa Timur dan Madura, serta ikut mengampanyekan bahwa Jokowi adalah seorang Kristen dan keturunan China.

Konteks kampanye itu memang marak menjadi serangan politik bagi Jokowi di Pilpres 2014 lalu hingga saat ini, bahkan membuat sang presiden gerah dan ingin “menabok” pelakunya. La Nyalla memang sempat menjadi bagian dari tim pendukung Prabowo Subianto yang merupakan lawan politik Jokowi, sehingga bisa dipastikan saat itu semua yang ia lakukan adalah bagian dari upaya pemenangan sang jenderal.

Kini, La Nyalla memang telah berbalik dari Prabowo pasca dirinya tidak mendapatkan dukungan untuk maju pada Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jawa Timur beberapa waktu lalu. Bahkan, kini terlihat bahwa pria yang juga menjabat sebagai Ketua Majelis Pimpinan Wilayah (MPW) ormas Pemuda Pancasila (PP) Jawa Timur ini menjadi pendukung Jokowi dan Ma’ruf Amin.

Menurut La Nyalla, ia merasa bersalah telah melakukan kampanye yang berisi fitnah dan tuduhan negatif terhadap Jokowi itu. Ia pun mengaku telah bertemu dengan Jokowi dan meminta maaf terkait hal tersebut. Sebagai penebusan, La Nyalla kini mengampanyekan bahwa Jokowi bukan PKI dan berupaya memenangkan calon petahana itu di Jawa Timur dan Madura.

Baca juga :  Lebaran Terakhir Jokowi…

Pengakuan La Nyalla ini memang membuka fakta – jika benar – tentang strategi kampanye kubu Prabowo yang tentu saja akan merugikan citra sang jenderal di hadapan publik.

Sementara, kubu Prabowo dan beberapa pengamat hukum menyebutkan bahwa La Nyalla seharusnya terjerat hukum dan bisa diancam hukuman penjara hingga 10 tahun karena sudah mengakui bahwa ia terlibat dalam aktivitas kampanye pencemaran nama baik Jokowi.

Di satu sisi, tentu saja pengakuan ini menguntungkan Jokowi secara politik. Namun, apakah konteks penebusan La Nyalla yang dari musuh berubah menjadi teman – sesuai dengan pemikiran Carl Schmitt – bisa berdampak besar di 2019 nanti?

Memahami Political Redemption La Nyalla

“Nyanyian” La Nyalla Mattalitti tentang mahar politik sebesar Rp 40 miliar yang diminta Prabowo untuk pencalonan dirinya, mungkin menjadi salah satu kisah paling menarik di awal tahun 2018. Kata-kata La Nyalla saat itu memang menjadi salah satu alasan “putusnya” hubungan dirinya dengan Prabowo.

Namun, jika ditarik ke atas, sangat mungkin perubahan arah dukungan itu juga dipengaruhi oleh posisinya di ormas PP. Sekalipun punya kedudukan juga di organisasi sayap Golkar, Kosgoro, namun jabatannya di PP mungkin menjadi modal politik terkuat yang dimiliki oleh pria kelahiran Jakarta itu.

Pasalnya, PP adalah ormas yang mendukung penuh dirinya untuk maju pada Pilkada Jatim 2018. Konteks PP ini penting untuk dipahami, mengingat ormas yang sudah berdiri sejak era Orde Baru ini awalnya mendukung Prabowo di Pilpres 2014. Namun, kini tampaknya PP secara struktural mulai berubah arah dukungan politik.

Pada awal November lalu, publik menyaksikan pertemuan antara petinggi PP dengan Jokowi di Istana Kepresidenan. Kala itu, hadir Ketua Umum PP Japto Soerjosoemarno dan Wakil Ketua Umum Yorrys Raweyai, serta Ketua DPR Bambang Soetatyo yang juga merupakan Wakil Koordinator Bidang Organisasi dan Kaderisasi PP.

Artinya, konteks dukungan politik La Nyalla pada kubu Jokowi menjadi muara dari perubahan dukungan PP secara umum. Hal ini juga sangat mungkin melibatkan tarik menarik kepentingan, mengingat PP masih menjadi ormas yang punya pengaruh besar.

Selain itu, konteks pengakuan La Nyalla memang bisa dipahami sebagai bentuk kekecewaan politik atas tidak tercapainya “konsensus politik bersama” dengan kubu Prabowo. Setelah berubah haluan, politik penebusan ini kemudian mendapatkan bentuknya ketika ia mengampanyekan dan mendukung pemenangan Jokowi sebagai presiden untuk periode berikutnya.

Apa yang terjadi pada La Nyalla ini bisa disebut sebagai fenomena enemy turned friend – musuh menjadi teman. Konteks ini memang masuk akal, mengingat tidak ada kawan dan lawan yang abadi dalam politik. Yang abadi adalah kepentingannya,  demikian kata Henry John Temple Palmerston.

Secara lebih spesifik, ini sekaligus juga menggambarkan intisari politik itu sendiri seperti yang diungkapkan oleh ahli hukum dan politik asal Jerman, Carl Schmitt (1888-1985) dalam konsepnya tentang enemy and friends – musuh dan teman. Dalam bukunya yang berjudul The Concept of The Political, Schmitt menyebutkan bahwa politik dapat disederhanakan sebagai konteks hubungan sebuah entitas dengan musuh dan teman.

Musuh dan teman itu sendiri lahir dari penyederhanaan konteks konflik politik, hubungan realistis antar entitas-entitas yang ada, termasuk hitung-hitungan materialisme ekonomi serta kepentingan-kepentingan yang saling bersinggungan di dalamnya. Dengan kata lain, politik adalah tentang melihat siapa musuh dan siapa teman kita.

Dalam konteks La Nyalla, jelas bahwa konsepsi musuh dan teman ini menjadi warnanya. Ia yang awalnya adalah “teman” Prabowo dan “musuh” Jokowi, kini telah bertukar posisi menjadi musuh Prabowo dan teman Jokowi. Persoalannya adalah seberapa besar perubahan posisi ini berdampak di Pilpres nanti.

Pilpres 2019, Tentang Teman vs Musuh

Memetakan siapa lawan dan siapa kawan memang menjadi salah satu kunci kesuksesan untuk memenangkan sebuah kontestasi politik. Jika diperhatikan secara seksama, Jokowi telah mengadopsi pemikiran Schmitt tersebut.

Terkait kampanye politik, Schmitt yang dekat dengan kepemimpinan Nazi sempat menyebutkan bahwa tanpa memahami entitas kawan dan lawan, secanggih apa pun usaha yang dilakukan hanya akan melahirkan krisis politik – fenomena yang terjadi ketika tidak ada kesejalanan antara teori dengan praktek politiknya.

Jokowi tampaknya sudah membuat pemetaan tokoh-tokoh yang dianggap sebagai bagian dari musuh. Lewat “strategi yang tepat”, musuh-musuh itu berhasil dibalikkan dan saat ini tidak sedikit yang menjadi sekutu atau temannya. Nama-nama macam Tuan Guru Bajang dan Erick Thohir adalah contoh-contohnya.

Sementara La Nyalla adalah contoh terbaru. Orang yang dahulu giat berkampanye dan menyebutkan bahwa Jokowi adalah simpatisan PKI, kini malah berbalik menyerang Prabowo. Ia bahkan menggunakan  serangan politik berbasis agama dengan menantang sang jenderal untuk memimpin shalat.

Konteks ekonomi-politik pun juga menjadi faktor menarik lain yang sangat mungkin hadir dalam hubungan Jokowi dan La Nyalla.

Pada akhirnya, Pilpres 2019 adalah tentang pertarungan antara teman melawan musuh. Pick the right friends, turn enemies to friends, and then winning is just a simple result. Sebab, seperti kata Sun Tzu di awal tulisan, jika kita tahu siapa musuh kita, tak akan ada rasa takut untuk menghadapi 100 pertempuran sekalipun. (S13)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

More Stories

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.