HomeNalar PolitikCandiru dan Ancaman dari Israel

Candiru dan Ancaman dari Israel

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyebutkan akan mengawasi spyware bernama Candiru yang berasal dari Israel. Pasalnya, spyware untuk memata-matai ini disebut bisa menyasar sejumlah aktivis, jurnalis, hingga politisi.


PinterPolitik.com

Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) tengah memberikan perhatian khusus bagi fenomena kejahatan siber. Terlebih baru-baru ini ada temuan dari peneliti pengawas keamanan siber, Citizen Lab dengan Microsoft yaitu adanya ancaman spyware Candiru.

Adapun, spyware atau software ‘mata-mata’ ini dikembangkan oleh perusahaan siber asal Israel dan dijual secara eksklusif. Bahkan, menurut laporan dari Citizen Lab, ada indikasi pengoperasian spyware ini di beberapa negara seperti Arab Saudi, Israel, Uni Emirat Arab (UEA), Hongaria, dan Indonesia.

Software pengintai ini juga dinilai mampu mengeksploitasi kelemahan yang terdapat pada sistem operasi Windows dan Google sehingga kata sandi hingga isi pesan yang ada di perangkat elektronik bisa didapatkan oleh oknum yang menggunakan spyware tersebut.

Wujud bahaya dari spyware bernama ‘Candiru’ ini menurut Citizen Lab yaitu menargetkan masyarakat sipil yang terdiri dari politisi, aktivis hak asasi manusia (HAM), jurnalis,dan  akademisi di beberapa negara seperti Inggris, Spanyol, Singapura, Israel, hingga Palestina.

Bahkan, di Indonesia terdapat indikasi bahwa ada salah satu domain yang sudah terinfeksi spyware ini. Sebenarnya, keberadaan spyware seperti ini bukan merupakan hal yang pertama kali terjadi di beberapa negara. Sebelumnya terdapat spyware bernama Pegasus yang terindikasi menyerang politisi, jurnalis, dan aktivis.

Adapun spyware buatan NSO Group ini hanya perlu melakukan panggilan telepon WhatsApp, dan selanjutnya mampu mengaktifkan kamera, mikrofon, serta mengambil data-data pribadi target yang memiliki perangkat elektronik. Menurut The Verge, Pegasus juga dirancang agar tidak terdeteksi rekam jejaknya sehingga dikategorikan sangat berbahaya.

Beberapa kasus yang melibatkan spyware ini bahkan sudah pernah terjadi misalnya, pada tahun 2016, seorang aktivis HAM yang berasal dari Uni Emirat Arab bernama Ahmed Mansoor mengalami peretasan melalui ponsel yang digunakan. Para peneliti Citizen Lab melakukan penelusuran dan hasilnya terdeteksi adanya spyware Pegasus yang terkandung di dalam link yang terkirim ke ponsel Ahmed Mansoor.

Selain itu, baru-baru ini pun penyebaran spyware Pegasus tidak hanya menyasar aktivis dan jurnalis melainkan pemimpin negara-negara di dunia. Salah satunya adalah Presiden Prancis Emmanuel Macron yang telah mengganti ponselnya karena ada indikasi tindakan pengintaian yang didukung oleh spyware Pegasus. Pemerintah Prancis menuding Maroko sebagai negara yang mengoperasikan spyware tersebut, tetapi tidak ada bukti kuat untuk membuktikan tudingan tersebut.

Fenomena ini sama halnya dengan insiden yang terjadi di India, yaitu serangan spyware Pegasus yang menyasar beberapa objek yang didominasi oleh pihak oposisi dari pemerintah India. Alhasil, muncul tudingan adanya dugaan keterlibatan pemerintahan Perdana Menteri (PM) Narendra Modi di balik peretasan tersebut. Namun, hal tersebut dibantah karena tidak ada bukti yang cukup kuat.

Melihat beberapa fenomena serangan spyware Pegasus yang menyasar banyak pihak, hal ini seolah memperlihatkan bahwa seiring berkembangnya teknologi, kerahasiaan informasi pribadi sulit dijaga. Setiap individu atau kelompok terlihat seperti selalu dalam pengawasan dan pemantauan – sama halnya seperti tahanan yang selalu dalam pengawasan penjaganya.

Baca juga :  Gemoy Effect: Prabowo Menang Karena TikTok Wave?

Mengapa spyware seperti ini bisa memunculkan ancaman baru bagi negara yang dimata-matai? Lantas, bagaimana dampak dari kemunculan spyware ini terhadap jalannya demokrasi, khususnya di Indonesia?

Candiru, Sebuah Panopticon?

Jeremy Bentham merupakan sosok filsuf asal Inggris yang merancang sebuah konsep bangunan yang bertujuan agar pengawas bisa memantau pergerakan penghuni bangunan tanpa mereka sadari bahwa mereka sedang dalam pengawasan. Dalam tulisan berjudul The Contradictions of Jeremy Bentham’s Panopticon karya Philip Steadman, Bentham merancang sebuah konsep penjara panopticon, yaitu sebuah penjara yang modelnya secara tidak langsung membuat para tahanan di dalamnya merasa ketakutan karena didominasi perasaan khawatir.

Hal ini tidak lepas dari upaya Bentham yang menggunakan sistem pengawasan satu arah atau one-way vision dalam pemantauan antara penjaga dan para tahanan. Maka, terciptalah sosok pengawas sebagai satu-satunya individu yang bisa melihat dan mengawasi para tahanan setiap waktu baik siang maupun malam. Dengan perasaan khawatir yang terus menerus terjadi, maka para tahanan bisa terus merasakan adanya ancaman. 

Sementara itu, dalam tulisan Marie-Laure Leroy yang dalam buku Beyond Foucault: New Perspectives on Bentham’s Panopticon,dijelaskan bahwa konsep panopticon menurut Michael Foucault mengacu pada relasi antara pendisiplinan dan penghukuman. Pada intinya, Foucault menekankan bahwa dalam proses pendisiplinan dan penghukuman tersebut, efeknya adalah untuk memastikan bahwa kekuasaan berjalan secara otomatis.

Setiap pengawasan yang dilakukan tujuannya agar objek yang sedang diawasi tidak pernah meyakini penuh bahwa mereka sedang diawasi atau tidak. Kondisi ini dinilai akan mendorong pendisiplinan secara alamiah.

Terlebih dengan semakin berkembangnya teknologi, konsep panopticon ini pun juga terus mengalami perkembangan. Konsep awal yang diterapkan di dalam penjara, kini bisa direalisasikan juga dalam ruang yang berbeda.

Pendisiplinan yang terjadi di penjara juga bisa diterapkan di lembaga lain seperti sekolah, rumah sakit, instansi militer, dan lainnya. Intinya, konstruksi pemikiran panopticon ini bisa beroperasi di berbagai sektor dan bisa semakin berkembang dengan kemajuan teknologi.

Apabila dahulu Bentham mengemukakan bahwa fungsi pengawasan bisa dilakukan oleh individu pengawas, maka, di era digital saat ini, fungsi pengawasan bisa dilakukan tanpa adanya kontak langsung terlebih dengan adanya kemajuan teknologi. Contoh sederhana yaitu dengan adanya panopticon modern seperti CCTV (Closed Circuit Television) untuk mengawasi gerak-gerik seseorang tanpa adanya kontak langsung.

Fenomena kemajuan teknologi yang berkelindan dengan konsep panopticon juga terlihat pada munculnya aplikasi spyware yang berfungsi melakukan pengawasan terhadap individu atau kelompok. Proses pengawasan yang menggunakan spyware ini tidak memerlukan kehadiran fisik seseorang untuk melakukan pemantauan layaknya sistem satu arah atau one-way vision yang dikemukakan oleh Bentham.

Baca juga :  Pemilu 2024, Netralitas Jokowi “Diusik” PBB? 

Maka, secara tidak langsung upaya pengawasan melalui spyware berpotensi memengaruhi pikiran manusia terutama yang sedang diawasi pergerakannya. Bukan tidak mungkin, kehadiran spyware Candiru ini juga memunculkan ancaman lain, yakni bagi demokrasi.

Kebangkitan Digital Dictatorship?

Spyware Pegasus dan Candiru misalnya yang baru-baru ini diduga digunakan untuk mengawasi pergerakan sejumlah kepala negara, jurnalis, serta aktivis HAM. Penggunaan spyware asal Israel ini juga diduga menyasar aktivis dan jurnalis yang ada di Indonesia.

Meski hingga saat ini belum bisa dibuktikan bahwa ada keterlibaran spyware Pegasus untuk mengawasi pergerakan aktivis, berbagai insiden peretasan memang kerap menimpa sejumlah aktivis di Indonesia – misalnya peretasan yang menarget sejumlah aktivis ICW (Indonesia Corruption Watch) dam ponsel milik aktivis Ravio Patra pada tahun 2020.

Maraknya peretasan yang dialami oleh aktivis Indonesia ini hanyalah sebagian kecil dari sejumlah kasus lain di berbagai belahan dunia yang mengalami hal serupa. Kondisi ini tidak lepas dari adanya potensi kebangkitan kediktatoran digital atau digital dictatorship.

Dalam buku karya Yuval Noah Harari yang berjudul 21 Lesson for the 21st Century, dijelaskan bahwa teknologi telah menciptakan gelombang rezim otoriter baru di dunia. Harari menilai bahwa kondisi ini lebih mengkhawatirkan dibandingkan rezim otoriter di era Mao Zedong (Tiongkok) dan Stalin (Uni Soviet).

Penilaian tersebut tidak lepas dari penggunaan teknologi yang bisa memengaruhi karakter masyarakat sehingga bisa mengubah kebiasaan masyarakat. Dalam tulisan lain milik Harari yang berjudul Why Technology Favors Tyranny, dijelaskan bahwa salah satu negara dengan kemampuan mengembangkan teknologi tinggi seperti Israel sudah mampu mengaplikasikan teknologi spyware miliknya untuk mengubah algoritma media sosial sesuai keinginan.

Hal ini sudah diterapkan pada Oktober 2017 terhadap salah seorang warga Palestina yang mengunggah gambar serta narasi pribadinya di media sosial Facebook. Unggahan kalimat yang awalnya bernarasi normal, seketika berubah menjadi narasi yang bernuansa provokatif. Alhasil, warga tersebut diamankan pihak keamanan lalu dilepaskan karena diduga ada kesalahan pada algoritma yang membaca unggahan warga tersebut di media sosial Facebook.

Israel hanyalah salah satu contoh dari adanya fenomena digital dictatorship karena penggunaan aplikasi spyware yang berfungsi sebagai panopticon terhadap warganya. Lalu, bagaimana dengan negara lain termasuk Indonesia – mengingat sudah beberapa kali aktivis HAM juga mengalami hal serupa?

Meski Kominfo sudah menanggapi maraknya spyware yang mengancam kebebasan masyarakat, sudah sepatutnya bagi lembaga tersebut untuk lebih serius menangani hal ini agar pengaruh digital dictatorship tidak terjadi di Indonesia serta mencegah pihak-pihak yang memanfaatkan kemajuan teknologi tersebut untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Lagipula, kepala negara dan pemerintahan serta para politisi juga bisa terancam dengan keberadaan spyware seperti Pegasus dan Candiru. (G69)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Surya Paloh Cemburu ke Prabowo?

NasDem persoalkan komentar Sekjen PDIP Hasto Kristiyanto karena dukung Anies di 2024. PDIP dianggap beda sikap bila terhadap Prabowo.

Airlangga Abaikan Giring?

PSI telah mendeklarasikan akan mengusung Ganjar Pranowo di Pilpres 2024. Mengapa Giring belum juga tawarkan Ganjar ke Airlangga?

Rocky Sebenarnya Fans Luhut?

Momen langka terjadi! Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan akhirnya bertemu langsung dengan pengkritik terpedasnya, yakni Rocky Gerung.