HomeNalar PolitikBPJS, Populer dan Gagal

BPJS, Populer dan Gagal

Kebijakan Pemerintah mengalokasikan dana kesehatan dengan nilai fantastis, tidak meningkatkan perbaikan kesehatan masyarakatnya.


PinterPolitik.com

[dropcap]S[/dropcap]ejak 2014 lalu, fakta bahwa BPJS menuai defisit sudah mulai ramai terdengar. Kini di tahun 2018, nilai defisitnya makin bertambah tinggi, yakni berada di angka Rp. 9 triliun. Bukan rahasia pula bila Pemerintah sempat terengah-engah menutupi defisit yang ada.

Pengeluaran Pemerintah di bidang kesehatan memang bukan termasuk yang tertinggi, karena hanya menempat porsi sebesar 5 persen dari keseluruhan APBN. Untuk menjaga keberlanjutan program BPJS dan JKN pun, Pemerintah telah menaikan anggaran kesehatan menjadi sebesar Rp. 111 triliun di tahun 2018, dari jumlah Rp. 104 triliun di tahun 2017.

Bila dibandingkan dengan program ObamaCare di Amerika Serikat, kebijakan kesehatan Pemerintah yang menghabiskan dana sebesar Rp. 9 triliun, sangatlah besar. Seorang jurnalis dari South China Morning Post (SCMP) bahkan menyebut ObamaCare terlihat ‘kerdil’ bila dibandingkan dengan program kesehatan Pemerintah.

Bagaimana tidak mau disebut demikian, program BPJS dianggap ‘berani’ memfasilitasi akses pengobatan dan kesehatan yang biasa dilakukan oleh negara dunia pertama, berupa pemeriksaan gigi gratis, obat-obatan, fisioterapi, sampai transplantasi organ. Dengan ini, Indonesia pun masuk sebagai salah satu negara berkembang dengan pengeluaran social expenditure atau subsidi sosial yang jumlahnya tinggi. Negara-negara tersebut antara lain adalah Brazil, Tiongkok, India, Indonesia, dan Afrika Selatan.

Namun, program yang telah membantu banyak warga ini, ternyata harus berhadapan dengan kenyataan pahit di lapangan. Selain ancaman defisit yang nyata, ternyata kebijakan ini juga tidak membuat taraf kesehatan masyarakat meningkat. Akses kepada pengobatan memang menjadi lebih mudah, tetapi pencegahan terhadap penyakit tak meningkat sama sekali. Selain itu, BPJS juga menciptakan ketimpangan karena selama ini pemakainya didominasi dari Pulau Jawa, terutama yang tinggal di daerah urban (kota). Sementara daerah Indonesia Timur dan kalangan yang tinggal di daerah rural atau pedesaan masih belum banyak tersentuh oleh BPJS.

Dengan demikian, apakah BPJS masih layak dipertahankan?

Kebijakan Sosial Membuat ‘Terlena’

Program BPJS sudah berjalan di detik akhir masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY), yaitu di tahun 2014. Pihak yang berusaha mendorong pembahasan dan pemberlakuan UU BPJS pun tak main-main, yakni PDIP. Ribka Tjiptaning berkata bahwa pemberlakuan UU BPJS bisa dikatakan sebagai kemenangan seluruh rakyat.

Baca juga :  Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Membahas program BPJS yang banyak membantu masyarakat tersebut, mau tak mau mengingatkan pula pada teori yang dikeluarkan oleh Anthony Giddens mengenai Third Way. Dalam teori yang berbicara soal kerangka pemikiran dan pembuatan kebijakan, Third Way atau jalan ketiga merupakan model pembangunan yang dipakai untuk melihat kebijakan yang dicanangkan Pemerintah berhaluan sosialis maupun neoliberalis, dan menyeleksi aspek-aspek yang tepat baik dari konsep “kiri” (intervensi negara) maupun “kanan” (pasar bebas).

Bila menarik kacamata seleksi yang dilakukan oleh Giddens, kebijakan BPJS merupakan kebijakan bersifat ‘sosialis’. Tetapi di sisi lain, kebijakan ini tidak bisa membangun kesejahteraan yang positif, karena Pemerintah hanya memberikan bantuan kesehatan dan tidak melindungi masyarakat dari penyakit. Indeks kesehatan masyarakat Indonesia masih rendah, terbukti dengan merebaknya difteri beberapa waktu lalu.

Hal ini sama seperti kebijakan Arab Saudi yang hendak ‘menggaji’ penganggurannya, seiring keterbukaan yang ingin dicapai oleh Arab. Faktanya, Arab Saudi tidak memiliki kemampuan tersebut karena rendahnya dinamisme investasi sektor privat yang disebabkan oleh ketidapastian kebijakan publik, sementara sektor publik sendiri sudah dipenuhi kejenuhan.

Pangeran Arab Saudi, Mohammad bin Salman (sumber: okezone)

Sama pula dengan Yunani, karena menggunakan konsep negara kesejahteraan atau Welfare State sehingga ambruk karena tingginya pajak rakyat, hanya untuk membiayai tunjangan pensiun. Jerman Timur pun demikian, karena tingginya pengeluaran Pemerintah di sektor social expenditure, seperti pelayanan kesehatan dan pendidikan gratis, akhirnya negara sosialis tersebut jatuh dan bergabung dengan Jerman Barat.

Kebijakan yang telah disebutkan di atas, adalah contoh di mana kebijakan yang berpihak pada rakyat ‘sosialis’ masih harus dilihat melalui ‘jalan ketiga’ guna menyeleksi aspek yang merugikan, dalam hal ini adalah kerugian negara. Dalam kasus program BPJS, aspek yang perlu diperhatikan adalah defisit yang tinggi, mencapai Rp. 9 triliun dan saat ini berhasil ditambal dengan nilai yang sama, serta adanya ketimpangan akses yang masih mengitarinya.

Walau begitu, kebijakan ini populer dan mampu mengerek nama Jokowi karena berpihak pada rakyat. Tetapi, apakah lantas kebijakan populer yang ‘mengancam’ pantas dipertahankan?

Baca juga :  AS-Tiongkok Berebut Prabowo? 

Masih Bisa Bertahan?

Tak bisa dipungkiri, walau masih menemui kendala dan masalah, BPJS terbukti sudah banyak membantu rakyat kebanyakan. Namun begitu tak hanya BPJS, program ObamaCare pun juga menemui kendala yang hampir sama dengan BPJS. Program ObamaCare juga harus menerima kemungkinan pembiayaan pengobatan masyarakat yang berat, karena keberadaan penyakit yang belum pernah terdeteksi sebelumnya. Deteksi untuk penyakit yang tak terduga ini, menurut Dr. Taruna Ikrar, Wakil Ketua Ikatan Ilmuwan Internasional, mendongkrak nilai pengeluaran Pemerintah untuk ObamaCare.

Sementara itu, di Yunani, saat ini negara yang awalnya dikenal sebagai negara yang ‘ramah’ kepada warganya tersebut, mengalami defisit besar-besaran karena tunjangan yang tak bisa ditambal dan berubah seakan mengajak rakyat perang. Ajakan perang dari negara sendiri, terlihat dari pemberlakuan kebijakan pajak yang tinggi pada sektor properti. Salah satu warga Yunani, Stella Firigou, bahkan mengancam supaya negara menangkapnya karena tak akan pernah bisa membayar pajak setinggi langit guna menutupi defisit tunjangan pensiun.

Lantas apa yang harus dilakukan oleh BPJS?

Untuk mengantisipasi goncangan, ada baiknya Pemerintah melakukan antisipasi dengan mengurangi manfaat pelayanan, menaikkan iuran premi, menambah suntikan dana dari Pemerintah, dan menjajal pajak ‘dosa’ dari tembakau. Dari beberapa opsi, memang yang paling memungkinkan adalah menaikkan iuran premi, sebab kenaikan iuran premi baru dilakukan sebanyak satu kali, yakni pada tahun 2016. Kenaikan iuran premi yang terjadi di tahun 2016 lalu, ternyata mampu menumbuhkan pendapatan sebesar 21% untuk program BPJS.

Selain itu, pemberlakuan pajak dosa dari rokok merupakan pilihan yang bisa diambil pula, mengingat Filipina ternyata mendapat pemasukan besar dari kenaikan harga rokok yang signifikan. Dari kenaikan harga rokok tersebut, Pemerintah setempat dapat menambal, bahkan membiayai jaminan kesehatan gratis pada rakyatnya.

Tapi tentu saja, memberlakukan pilihan di atas rentan bersinggungan dengan rakyat karena dianggap tidak populer, yakni menaikkan iuran BPJS dan harga rokok. Hal tersebut tak menutup kemungkinan mengancam nama Jokowi karena dianggap tidak pro terhadap rakyat kebanyakan.

Namun sekali lagi, buat apa terus mempertahankan kebijakan populer yang ‘berpotensi’ gagal? (A27)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Jangan Remehkan Golput

Golput menjadi momok, padahal mampu melahirkan harapan politik baru. PinterPolitik.com Gelaran Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2018 tunai sudah. Kini giliran analisis hingga euforia yang tersisa dan...

Laki-Laki Takut Kuota Gender?

Berbeda dengan anggota DPR perempuan, anggota DPR laki-laki ternyata lebih skeptis terhadap kebijakan kuota gender 30% untuk perempuan. PinterPolitik.com Ella S. Prihatini menemukan sebuah fakta menarik...

Menjadi Pragmatis Bersama Prabowo

Mendorong rakyat menerima sogokan politik di masa Pilkada? Prabowo ajak rakyat menyeleweng? PinterPolitik.com Dalam pidato berdurasi 12 menit lebih beberapa menit, Prabowo sukses memancing berbagai respon....