HomeNalar PolitikBela Anies, Pembelotan Tersirat Nasdem?

Bela Anies, Pembelotan Tersirat Nasdem?

Kecil Besar

Partai Nasdem tampak membela Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan setelah DKI-1 diterpa polemik kerumunan massa hingga berbuntut panggilan oleh Polda Metro Jaya. Sikap itu tampak berkebalikan dengan “sindiran” Presiden Jokowi sehari sebelumnya. Lantas, apakah makna manuver Nasdem tersebut?


PinterPolitik.com

Setelah dimintai keterangan oleh pihak Kepolisian, Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan tampaknya bisa sedikit bernapas lega. Hal ini dikarenakan dirinya mendapat semacam dukungan moral dari salah satu partai politik (parpol) di Kebon Sirih.

Adalah Partai Nasdem, yang seolah kembali menunjukkan adanya koneksi istimewa dengan sang mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu. Melalui Ketua Fraksinya di DPRD DKI Jakarta, Wibi Andrino, Nasdem bersikap bahwa langkah Anies dan Pemerintah Provinsi (Pemprov) terkait kerumunan massa Habib Rizieq di Petamburan telah tepat.

Imbauan plus menjatuhkan denda disebut telah cukup menjadi bukti bahwa Gubernur telah melaksanakan regulasi yang berlaku. Atas dasar itu pula Fraksi Nasdem DKI memandang tak perlu untuk memperpanjang persoalan seperti mengajukan interpelasi yang Partai Solidaritas Indonesia (PSI) inisiasi.

Yang menarik, sikap Nasdem itu terlihat kontras dengan apa yang pemerintah pusat kehendaki. Presiden Joko Widodo (Jokowi) sehari sebelumnya seolah memberikan “sentilan” secara tidak langsung pada Anies, saat memerintahkan Menteri Dalam Negeri (Mendagri), Tito Karnavian untuk bertindak tegas kepada kepala daerah – baik gubernur, bupati, maupun wali kota – yang mengabaikan penegakan protokol kesehatan di tengah pandemi.

Jika ditelusuri pada berbagai kesempatan sebelumnya, Nasdem memang cenderung menampilkan kedekatan dan dukungan spesial dengan Anies, termasuk yang datang langsung dari sang Ketua Umum, Surya Paloh. Tak lain dan tak bukan, banyak pengamat yang menilai bahwa konteksnya terkait dengan Pilpres 2024.

Tentu yang paling jelas dan menjadi awal sinyal kuatnya ialah saat pertemuan Anies dan Surya Paloh di kantor DPP Partai Nasdem Gondangdia, Jakarta, pada penghujung Juli 2019 lalu. Ketika itu, Surya Paloh menilai Anies sebagai salah satu tokoh yang memenuhi kapasitas dan kapabel untuk Pilpres 2024, plus sejalan dengan arah partai.

Meskipun Anies saat itu menyebut akan terlebih dahulu fokus mengurus Jakarta, berbagai dinamika setelahnya tak dapat dipungkiri menunjukkan bahwa sinyal awal tersebut tak sekadar basa-basi politik belaka. Termasuk yang tercermin pada support moral Nasdem bagi Anies pada polemik kerumunan HRS.

Namun pertanyaannya, mengapa Nasdem harus mendekati Anies Baswedan?

Ada Faktor JK?

Sebagai partai yang tergolong baru menapaki dua pemilu legislatif, Nasdem tampaknya memang memiliki persoalan dalam hal kaderisasi internal, termasuk dalam hal pengusungan calon presiden (capres).

Ulla Fionna dan Dirk Tomsa dalam Parties and Factions in Indonesia, menyebut bahwa partai yang tergolong baru seperti Nasdem, hanya diisi line-up yang terdiri dari mantan anggota partai lain yang terlebih dahulu eksis namun kehilangan “panggung”, dibandingkan merekrut “darah baru”.

Baca juga :  Premanisme, Indonesia's Economic Cerberus?

Ini misalnya terlihat dari manuver Nasdem yang disebut-sebut membajak kader parpol lain pada Pilkada 2018 lalu. Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto bahkan disebut sampai melayangkan sindiran ke partai biru karena manuver tersebut.

Pun ketika menatap perhelatan Pilpres 2024 mendatang. Nama-nama yang ada dalam bursa dan paling memiliki prospek, kebanyakan telah memiliki afiliasi parpol tersendiri, seperti Prabowo Subianto, Sandiaga Uno, maupun Ganjar Pranowo.

Dengan proyeksi tersebut, kemungkinan besar partai seperti PDIP maupun Gerindra, telah terlebih dahulu memiliki capresnya sendiri. Yang mana pada sisi berbeda berpotensi memaksa Nasdem untuk sebatas menjadi “tim hore” seperti saat mendukung Jokowi, jika tak bergerak cepat mengamankan calon potensial lain.

Terbukti saat perhelatan HUT ke-9 partai Nasdem, di mana Surya Paloh memastikan akan terselenggaranya konvensi capres 2024 dalam dua tahun mendatang.

Dan sebagai partai yang duduk di lima besar pemilihan legislatif (Pileg) 2019, Nasdem juga dinilai telah memiliki gengsi, ambisi, maupun kapasitas tersendiri untuk setidaknya memiliki calon pemimpin bangsa yang akan diusung tiga tahun mendatang.

Anies Baswedan yang juga selalu diperhitungkan dalam setiap survei, dan kebetulan tak memiliki afiliasi politik dengan parpol manapun, tampaknya menjadi sosok yang tidak ingin disia-siakan begitu saja oleh Nasdem.

Agenda konvensi capres 2024 mendatang juga dinilai oleh pengamat politik dari Universitas Al-Azhar Indonesia, Ujang Komarudin, akan menjadi ajang bagi Anies untuk menasbihkan diri.

Selain faktor tersebut, terdapat kemungkinan pula mengapa Anies yang tampak dipilih Nasdem ialah karena faktor Jusuf Kalla (JK). Mark Vernon dalam The Politics of Friendship menekankan sebuah konsep persahabatan yang memainkan peran dengan signifikansi tertentu dalam politik demokrasi.

Seperti yang diketahui, Surya Paloh dan Jusuf Kalla sama-sama merupakan eks tokoh prominen di Golkar yang memiliki hubungan cukup baik. Saat Nasdem berdiri, hubungan keduanya pun tetap terlihat sangat dekat dan pada sebuah kesempatan pada 2018 lalu, Surya Paloh bahkan mengatakan bahwa Nasdem dan Jusuf Kalla punya keterkaitan batin yang kuat.

Korelasinya dengan Anies Baswedan ialah, JK selama ini dikenal kerap kali menunjukkan dukungan serta ketertarikannya pada sosok eks Mendikbud dalam berbagai macam kesempatan, walau kurang terekspos. Seperti saat Pilgub DKI 2017 silam, hingga dalam mendukung sejumlah kebijakan Anies selama pandemi Covid-19.

Selain itu, JK dan Anies juga terkoneksi melalui Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) yang mana sang mantan Wakil Presiden (Wapres) merupakan senior paling disegani dan para alumninya memiliki ikatan kuat.

Dan bukan tidak mungkin pula konsep persahabatan yang dikemukakan Vernon antara Surya Paloh dan JK menjadi landasan sokongan Nasdem terhadap Anies secara politik, meski masih terkesan sporadis.

Karenanya, pertalian segitiga antara Surya Paloh, JK, dan Anies agaknya memiliki signifikansi yang cukup relevan.

Baca juga :  Prabowo’s Power School

Tak hanya itu, faktor JK juga tampak akan cukup signifikan karena mantan Wapres itu dinilai masih memiliki pengaruh yang cukup besar dalam blantika politik tanah air. Oleh sebab itu, serangkaian presumsi demikianlah yang kiranya mengafirmasi komentar Surya Paloh bahwa Anies ialah sosok yang sejalan dengan arah partai, dalam konteks Pilpres 2024.

Kendati demikian, Anies sendiri secara kasat mata dekat dan didukung oleh kalangan konservatif Islam seperti Habib Rizieq. Hal ini kemudian memunculkan pertanyaan tersendiri apakah Nasdem secara ideologi kepartaian akan klop untuk berfusi dengan segmen konservatif berbasis agama jika mendukung Anies kelak?

Kombinasi Koalisi Sempurna?

Sebuah temuan menarik baru saja dirilis oleh Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat Universitas Islam Negeri (PPIM UIN) Jakarta. Hasil kajian itu menyatakan bahwa semua parpol menggunakan narasi agama dalam menggaet suara pemilih, khususnya di media sosial.

Politisasi narasi dengan lampiran agama tidak hanya dilakukan oleh partai berhaluan Islam, namun juga oleh hampir semua parpol termasuk partai berhaluan nasionalis, dan Nasdem pun turut masuk di dalamnya.

Sarwono Kusumaatmadja, salah satu tokoh penting pada Era Orde Baru (Orba) menyebut bahwa pragmatisme tak dapat dipungkiri merupakan karakteristik utama semua parpol di Indonesia saat ini.

Di era Orba, pragmatisme memang eksis, tapi terkendali. Namun di era kekininan dengan sistem politik dan desentralisasi yang begitu terbuka, mantan Menteri Eksplorasi Kelautan Indonesia itu mengatakan bahwa pragmatisme menyebar ke berbagai penjuru.

Pragmatisme inilah yang kiranya menjadi landasan faktual hasil temuan PPIM UIN seperti yang disebutkan di atas. Dan tak menutup kemungkinan, pragmatisme semacam itu dianut pula oleh Nasdem ketika mendukung Anies pada Pilpres 2024. Juga dengan berada dalam satu gerbong dengan kelompok Islam, bahkan meski yang konservatif sekalipun seperti Front Pembela Islam (FPI) maupun Persaudaraan Alumni (PA) 212.

Namun terdapat probabilitas lain yang kiranya juga akan terlihat menarik ketika Nasdem memang pada akhirnya mengusung Anies Baswedan sebagai capres. Anies yang notabene selama ini terkesan tak disukai Istana, dinilai akan memberikan efek tersendiri bagi Nasdem dan situasi politik secara luas ketika dukungan tersebut kian konkret.

Dengan kata lain, proyeksi momentum saat Nasdem mengkampanyekan Anies secara terbuka sebelum 2024, tampaknya akan menjadi titik awal dari runtuhnya koalisi politik besutan Presiden Jokowi.

Impresi yang ditimbulkan pun agaknya akan cukup dramatis mengingat koalisi yang ada sangat besar dan mungkin saja akan meninggalkan gejolak internal tersendiri.

Namun demikian, hal tersebut masih sebatas satu dari sekian kemungkinan. Namun satu yang pasti adalah manuver politik apapun yang dilakukan tiap parpol akan menjadi kalkulasi politik tertentu yang bisa menentukan arah koalisi maupun sosok yang kelak akhirnya bertarung dalam kontestasi elektoral 2024. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (J61)


spot_imgspot_img

#Trending Article

“Original Sin”, Indonesia Harusnya Adidaya Antariksa? 

Di era Orde Lama dan awal Orde Baru, Indonesia pernah meluncurkan roket buatan sendiri dan dipandang sebagai kekuatan teknologi yang menjanjikan. Namun, menjelang Reformasi, semangat itu memudar.  

Utut, The Next Grandmaster PDIP?

Grandmaster catur yang bertransformasi menjadi elite PDIP, Utut Adianto menjadi nama menarik dalam bursa Sekretaris Jenderal PDIP andai benar-benar dilepaskan dari Hasto Kristiyanto. Lalu, mengapa nama Utut muncul dan diperhitungkan?

“A Desert Storm” Bayangi Kemenkeu?

Dinamika dan beberapa variabel substansial mengenai penerimaan negara di bawah Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terus berkembang. Terbaru, penunjukan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara menjadi salah satu variabel menarik yang memantik interpretasi mengenai keterkaitannya dengan kinerja Kementerian Keuangan serta masa depannya. Mengapa demikian?

Rahasia Banyaknya Anak Pemimpin dalam Sejarah Timur

Di dalam sejarah, banyak pemimpin bangsa dari kultur Timur menjadi pemimpin dengan jumlah anak terbanyak. Kira-kira apa alasannya? 

East Java Simmetry of Authority

Peta politik Jawa Timur saat ini seolah menggambarkan spektrum politik yang sangat beragam, unik, dan berbeda dengan wilayah lainnya. Khofifah Indar Parawansa yang mengampu kekuasaan periode pamungkasnya dinilai meninggalkan legacy dan ruang tersendiri bagi kekuatan politik lain dan dinilai bisa memengaruhi kontestasi 2029. Benarkah demikian?

Prananda The Unwanted Crown Prince

Seiring makin senjanya usia Megawati, nama Prananda Prabowo kerap dibahas dalam konteks kandidat yang dinilai cocok untuk meneruskan tampuk kepemimpinan di partai.

Menkes Budi dan Ironi Tarung Elite Kesehatan

Alih-alih menyelesaikan akar permasalahan aspek kesehatan masyarakat Indonesia secara konstruktif, elite pembuat keputusan serta para elite dokter dan tenaga kesehatan justru saling sindir. Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin seolah masih belum menemukan ritme selaras, utamanya dengan asosiasi profesi kesehatan Indonesia yang bisa saja berbahaya bagi kepentingan kesehatan rakyat. Lalu, ada apa sebenarnya di balik intrik tersebut?

Prabowo’s Power School

Presiden Prabowo berencana membangun sekolah khusus untuk anak-anak cerdas-pandai dari kelompok masyarakat miskin: Sekolah Rakyat.

More Stories

Utut, The Next Grandmaster PDIP?

Grandmaster catur yang bertransformasi menjadi elite PDIP, Utut Adianto menjadi nama menarik dalam bursa Sekretaris Jenderal PDIP andai benar-benar dilepaskan dari Hasto Kristiyanto. Lalu, mengapa nama Utut muncul dan diperhitungkan?

“A Desert Storm” Bayangi Kemenkeu?

Dinamika dan beberapa variabel substansial mengenai penerimaan negara di bawah Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terus berkembang. Terbaru, penunjukan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara menjadi salah satu variabel menarik yang memantik interpretasi mengenai keterkaitannya dengan kinerja Kementerian Keuangan serta masa depannya. Mengapa demikian?

East Java Simmetry of Authority

Peta politik Jawa Timur saat ini seolah menggambarkan spektrum politik yang sangat beragam, unik, dan berbeda dengan wilayah lainnya. Khofifah Indar Parawansa yang mengampu kekuasaan periode pamungkasnya dinilai meninggalkan legacy dan ruang tersendiri bagi kekuatan politik lain dan dinilai bisa memengaruhi kontestasi 2029. Benarkah demikian?