Dengarkan artikel berikut. Audio ini dibuat dengan teknologi AI.
Suksesi kepemimpinan di PDIP masih jadi tanda tanya besar. Di balik penundaan kongres, tersimpan indikasi dinamika internal yang patut dicermati.
Hingga Juli 2025, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belum juga menggelar kongres nasional yang lazimnya menjadi momentum penting bagi konsolidasi dan suksesi kepemimpinan partai.
Padahal, publik dan pengamat politik telah lama menanti arah baru partai berlambang banteng tersebut, terutama pasca Pemilu 2024 dan di tengah menurunnya intensitas politik Megawati Soekarnoputri di ruang publik.
Bendahara Umum PDIP, Olly Dondokambey, menyatakan bahwa alasan belum digelarnya kongres adalah karena partai tengah melakukan pembenahan internal. Meski demikian, tidak sedikit yang menduga ada faktor-faktor lain di balik penundaan tersebut. Salah satunya adalah asumsi bahwa Megawati tengah berhati-hati memastikan tidak terjadi kegaduhan internal dalam proses regenerasi kepemimpinan partai—yang bisa berimbas pada soliditas PDIP ke depan.
Asumsi ini muncul karena posisi Megawati sebagai pemegang kendali penuh dalam penentuan arah partai masih sangat kuat. Dalam konteks partai yang sangat terpusat seperti PDIP, keputusan strategis semacam kongres tentu tidak hanya soal teknis waktu atau kesiapan logistik. Ia bisa menjadi indikator bagaimana elite partai membaca konstelasi kekuatan internalnya.
Pertanyaannya: mungkinkah penundaan ini memang menjadi bagian dari strategi jangka panjang untuk memastikan suksesi berlangsung mulus tanpa mengguncang struktur internal? Atau, justru penundaan ini memperlihatkan bahwa ketegangan internal memang belum benar-benar tuntas?

Regenerasi yang Hati-hati?
Isu faksionalisasi di tubuh PDIP bukan barang baru. Meski partai ini dikenal memiliki tingkat kedisiplinan tinggi, terutama di bawah kepemimpinan Megawati, benih-benih kontestasi internal telah lama terdengar.
Salah satu indikasi paling nyata muncul dari laporan Tempo pada 2 Maret 2025. Artikel tersebut mengungkap bahwa dua kutub utama dalam PDIP saat ini berada di bawah bayang-bayang dua anak Megawati: Puan Maharani dan Prananda Prabowo. Keduanya disebut memiliki perbedaan pandangan strategis, salah satunya dalam menyikapi posisi partai terhadap politik Joko Widodo (Jokowi).
Meski sejumlah elite partai telah mengatakan bahwa tidak ada faksionalisme, asumsi tentang adanya rivalitas internal tetap relevan. Dalam partai yang mengandalkan kepemimpinan karismatik dan trah seperti PDIP, setiap gerak suksesi sangat mungkin memunculkan tarik-menarik kepentingan.
Secara teoritis, hal ini dapat dijelaskan melalui konsep elite factionalism yang dijelaskan oleh ilmuwan politik seperti Scott Mainwaring dan Richard S. Katz. Mereka menjelaskan bahwa partai-partai yang terpusat secara ideologis dan organisatoris kerap menyembunyikan fragmentasi internal di balik wajah publik yang tampak solid. Faksionalisme tidak selalu bersifat negatif, tetapi jika tidak dikelola dengan baik, ia bisa melemahkan kohesi partai di saat-saat kritis, terutama dalam masa transisi kepemimpinan.
Di sisi lain, partai politik juga merupakan arena bagi distribusi sumber daya kekuasaan. Proses regenerasi bukan hanya soal siapa yang tampil di depan, tapi juga siapa yang akan mengontrol jaringan, basis dukungan, dan keputusan strategis. Dalam konteks PDIP, posisi Puan sebagai Ketua DPR dan figur publik paling terlihat jelas memberikan keuntungan simbolik. Sementara Prananda, meski lebih jarang tampil, disebut-sebut memiliki kontrol lebih luas terhadap dapur strategi partai.
Pertarungan simbol dan struktur inilah yang mungkin menjadi pertimbangan Megawati dalam menunda kongres. Ia tidak sekadar mencari pengganti, tetapi ingin memastikan bahwa proses peralihan kepemimpinan tidak meninggalkan retakan yang bisa dimanfaatkan pihak luar, apalagi di tengah konstelasi politik nasional yang mulai berubah pasca kemenangan Prabowo Subianto.
Dengan mempertimbangkan bahwa PDIP juga harus beradaptasi terhadap pemerintahan baru, maka kebutuhan untuk tampil solid menjadi semakin krusial. Dalam konteks ini, penundaan kongres bisa dibaca sebagai bagian dari calculated delay, sebuah strategi untuk memberi waktu meredam ketegangan, menyusun kekuatan, sekaligus membangun narasi regenerasi yang dapat diterima oleh semua pihak internal.

Menunggu Langkah Catur Selanjutnya
Proses suksesi dalam partai politik, khususnya partai dengan figur dominan seperti PDIP, memang tidak pernah sederhana. Ia bukan hanya persoalan administratif atau mekanisme formal, tetapi juga menyangkut kalkulasi kekuasaan, legitimasi, dan kesinambungan identitas politik partai.
Dalam kasus PDIP, penundaan kongres 2025 menyimpan banyak kemungkinan tafsir—baik sebagai strategi untuk menghindari benturan faksional maupun sebagai bentuk kehati-hatian Megawati dalam membaca arah masa depan partai.
Yang pasti, regenerasi dalam tubuh partai adalah keniscayaan. Tidak ada kepemimpinan yang abadi, dan tantangan terbesar partai adalah memastikan bahwa transisi berjalan tanpa mengorbankan stabilitas internal maupun kepercayaan publik. Di tengah isu faksionalisasi yang mulai ramai dibicarakan, PDIP menghadapi dilema klasik: menjaga harmoni sambil menyiapkan perubahan.
Tentu, penting untuk menekankan bahwa semua pembacaan ini masih berada dalam ranah asumsi dan spekulasi. Tanpa konfirmasi resmi dari elite partai, publik hanya bisa mengamati dari jarak luar dan merangkai tanda-tanda yang ada. Namun, dalam politik, tanda-tanda kecil sering kali menjadi penanda arah besar.
Apapun alasan di balik belum dilaksanakannya kongres, yang jelas dinamika ini layak untuk terus dicermati. PDIP bukan sekadar partai besar dengan sejarah panjang—ia juga salah satu penentu arah politik nasional ke depan. Jika regenerasi kepemimpinan berhasil dilakukan secara mulus dan solid, PDIP bisa tetap menjadi kekuatan politik utama di era pasca-Megawati.
Sebaliknya, jika transisi ini tidak dikelola dengan baik, potensi perpecahan bisa menjadi tantangan serius. Dan seperti yang sudah sering kita saksikan dalam sejarah politik Indonesia, faksionalisasi internal bisa menjadi awal dari merosotnya kekuatan partai dalam jangka panjang. (D74)