HomeNalar PolitikAnies-Luhut Satu Hati?

Anies-Luhut Satu Hati?

Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan meyebut bakal melibatkan aparat penegak hukum dalam menindak pasien Covid-19 yang menolak dikarantina terpusat. Di saat yang sama, Menko Marves, Luhut Binsar Pandjaitan menyatakan pemerintah bakal memaksimalkan peran TNI-Polri dalam mendisiplinkan masyarakat. Apa yang dapat dimaknai dari kekompakan Anies dan Luhut ini?


PinterPolitik.com

Siapa yang tak tahu trilogi The Maze Runner, film yang diangkat dari novel karya James Dashner ini muncul hampir bersamaan dengan tetralogi The Hunger Games dan Trilogi Divergent Series saat film-film bergenre dystopian science fiction mendominasi layar lebar sepanjang 2012-2016 lalu.

Film ini menceritakan keadaan dunia di tengah wabah penyakit akibat anomali pada matahari yang menghanguskan bumi. Wabah penyakit yang disebut The Flare ini menyerang otak dan membuat penderitanya bertingkah seperti zombie pemakan manusia.

Di tengah kekacauan ini, sekelompok ilmuwan yang menamakan diri World In Catastrophe: Killzone Experiment Department atau W.I.C.K.E.D melakukan percobaan untuk menemukan obat terhadap wabah The Flare. Eksperimen ini dilakukan dengan mengisolasi orang-orang yang dianggap kebal terhadap wabah di tengah labirin yang penuh dengan bahaya dan tantangan. Para ilmuwan ini ingin mempelajari aktivitas otak mereka, berharap menemukan jawaban untuk menanggulangi wabah.

Strategi yang dilakukan W.I.C.K.E.D ini agakya menginsipirasi Gubernur DKI Jakarta, Anies Baswedan dalam penerapan Pembatasan Sosisal Berskala Besar (PSBB) Jilid II. Kebalikan dari W.I.C.K.E.D yang mengisolasi orang-orang sehat, Anies justru memutuskan untuk mengisolasi semua pasien positif Covid-19 secara terpusat.

Dengan kata lain, Anies tak mengizinkan pasien Covid-19 untuk melakukan isolasi mandiri di rumah. Hal ini dilakukan karena mantan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) itu menduga bahwa isolasi mandiri merupakan biang yang menyebabkan munculnya klaster penyebaran virus dari rumah tangga.

Keputusan Anies yang menghapus isolasi mandiri sebenarnya dapat dimaknai sebagai langkah mitigasi di tengah pandemi. Namun yang membuat langkah Anies ini menimbulkan polemik adalah karena adanya wacana pelibatan para ‘penegak hukum’ untuk menjemput paksa pasien-pasien yang menolak dikarantina.

Meski Anies tak secara spesifik menjabarkan penegak hukum yang dimaksud, namun Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) khawatir pelibatan aparat seperti TNI dalam penjemputan paksa Covid-19 dapat memunculkan tindakan yang intimidatif.

Tak lama setelah itu, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves), Luhut Binsar Pandjaitan menyebut pengetatan PSBB hingga sepuluh kali lipat sekalipun tak akan berguna tanpa adanya kedisiplinan warga. Untuk itu dia menegaskan pemerintah akan memaksimalkan peran TNI-Polri dalam penegakan disiplin protokol kesehatan.

Meski terlihat saling silang pendapat, namun sikap Anies dan pernyataan Luhut ini sebenarnya mengindikasikan adanya kekompakan di antara mereka, yaitu sama-sama ingin melakukan pendekatan yang lebih represif dalam menangani pandemi Covid-19.

Pendekatan represif di tengah krisis sebenarnya banyak diterapkan di sejumlah negara di dunia. Salah satunya Vietnam. Meski korelasinya masih bisa diperdebatkan, namun faktanya negeri Naga Biru itu relatif mampu mengendalikan penyebaran Covid-19 dengan memaksimalkan pelibatan aparat keamanan.

Baca juga :  Anies "Alat" PKS Kuasai Jakarta?

Lantas pertayaannya, akankah pendekatan yang sama akan efektif jika diterapkan di Indonesia?

Bencana dan Represi

Bencana, seperti pandemi, seringkali menimbulkan kerugian yang besar dan tidak terduga bagi negara-negara yang rentan. Bencana juga dapat memperburuk hubungan antara negara dan masyarakat, dan memengaruhi proses politik dalam negeri.

Ketika hubungan dengan masyarakat memburuk, rasionalnya negara akan kesulitan melakukan pendekatan persuasif dalam penanganan bencana. Oleh karena itu, di tengah situasi seperti ini, sejumlah negara memutuskan menggunakan pendekatan yang lebih represif.

Reed M Wood dan Thorin M Wright dalam tulisan mereka yang berjudul Responding to Catastrophe: Repression Dynamics following Rapidonset Natural Disasters mengatakan bahwa penggunaan pendekatan represif oleh negara saat bencana alam dilatarbelakangi oleh sejumlah faktor yang saling berkaitan.

Pertama, bencana sering kali meningkatkan ketidakpuasan dan memperburuk ketegangan yang ada antara negara dan masyarakat. Kedua, bencana membebani kemampuan pemerintah untuk mengkalkulasi potensi ancaman dan melakukan kontrol yang efektif atas penduduk di daerah yang terkena dampak.

Meningkatnya ketidakpuasan masyarakat dan penurunan kontrol menimbulkan ketidakstabilan terhadap kekuasaan negara. Ketika ketidakstabilan ini terus meningkat, otoritas negara meresponsnya dengan cenderung menggunakan kekerasan koersif dalam upaya untuk melakukan kontrol.

Akan tetapi, pendekatan represif sekalipun dalam penanganan bencana tetap membutuhkan landasan hukum yang tepat. Tanpa adanya landasan hukum, setiap tindakan represif yang dilakukan negara berpotensi menimbulkan resistensi yang justru dapat memperburuk keadaan.

Terkait dengan hal ini, Philippe Nonet dan Philip Selznick dalam buku mereka yang berjudul Law and Society in Transition membagi hukum dalam tiga klasifikasi, yaitu hukum represif, hukum otonom, dan hukum responsif.

Terlihat jelas dari namanya, pendekatan represif tentu membutuhkan landasan hukum yang represif pula. Nonet dan Selznick menyebut klasifikasi hukum jenis ini menghendaki adanya tertib hukum dengan sejumlah ciri. Pertama, pengadilan dan aparat hukum adalah instrumen penguasa yang mudah diatur. Kedua, institusi hukum melayani negara.

Ketiga, tujuan utama hukum adalah ketertiban umum. Keempat, Institusi-institusi hukum mempunyai sedikit sumber daya lain selain kekuatan pemaksa negara. Kelima, aturan hukum memberikan corak otoritas pada kekuasaan, tapi penggunaan aturan tersebut disesuaikan dengan kriteria kelayakan politik.

Hadirnya ciri-ciri penegakan hukum yang represif dapat dengan mudah diterawang dalam penanganan pandemi di Vietnam. Christina Farr dalam laporannya untuk CNBC menjabarkan sejumlah kunci keberhasilan Vietnam dalam mengendalikan pandemi, salah satunya dengan menerapkan contact tracing yang agresif dan karantina wilayah yang ketat.

Namun begitu, sejumlah organisasi masyarakat seperti Human Rights Watch mengkritik penanganan pandemi Vietnam. Mereka menyebut upaya pemerintah dalam memberlakukan karantina wilayah dan pembatasan sosial sangat berlebihan. Mereka khawatir sisi buruk dari penanganan pandemi yang represif tak pernah tersorot oleh  media karena publik terlalu takut mengkritik pemerintah.

Di sisi lain, sebagian orang berpendapat bahwa masyarakat Vietnam telah terbiasa dengan penegakan hukum represif. Christina menduga sebagian masyarakat mungkin tak keberatan mengorbankan kebebasan individu demi keamanan bersama selama pandemi. Hal ini sangatlah mencerminkan sistem hukum represif yang mengutamakan ketertiban umum di atas segalanya sebagaimana diungkapkan Nonet dan Selznick sebelumnya.

Baca juga :  Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Melengkapi pendapat tersebut, Bill Hayton dan Tro Ly Ngheo dalam tulisan mereka untuk Foreign Policy menyebut pelibatan maksimal dari aparat penegak hukum termasuk tentara dalam penanganan pandemi di Vietnam memungkinkan dilakukan karena negara ini menganut sistem satu partai. Hal ini membuat sumber daya penegak hukum hanyalah kekuasaan negara, sehingga penguasa bisa dengan mudah mengatur aparat hukum.

Meski kesuksesan Vietnam dalam penanganan pandemi memang tak terbantahkan. Akan tetapi, Bill menyebut strategi tersebut akan sangat sulit diterapkan di negara lain. Lantas dengan mempertimbangkan adanya perbedaan sistem hukum, mungkinkah penanganan pandemi yang represif ala Vietnam bisa diterapkan di Indonesia?

Persoalan Sistem Hukum?

Sebagaimana telah disinggung Bill sebelumnya, pendekatan hukum represif bisa sukses diterapkan di Vietnam lantaran negara tersebut menggunakan sistem kekuasaan satu partai. Namun berbeda dengan Vietnam, Indonesia menganut ideologi kekuasaan multipartai.

Selain itu, sistem hukum yang dianut Indonesia adalah sistem hukum otonom. Nonet dan Selznick menyebut sistem hukum jenis ini menekankan pada kemandirian kekuasaan peradilan di mana pemisahan antara fungsi legislatif dan yudikatif tergambar dengan jelas.

Tertib hukum dalam klasifikasi otonom, lanjut Nonet dan Selznick, bertujuan untuk menciptakan kepatuhan yang sempurna terhadap peraturan-peraturan hukum konstitusif. Selain itu, kompetensi utama hukum otonom adalah kapasitasnya untuk mengendalikan otoritas penguasa dan membatasi kewajiban-kewajiban warga negara.

Meski memberikan pembatasan yang jelas terhadap otoritas penguasa, namun dalam konteks jangka panjang, sistem hukum otonom memerlukan adanya perubahan dalam tertib hukum untuk membangkitkan harapan-harapan bahwa hukum merespon secara fleksibel masalah dan berbagai tuntutan baru.

Sebaliknya, Nonet dan Selznick berargumen bahwa hanya hukum responsif yang menjanjikan tertib kelembagaan yang langgeng dan stabil. Tipe hukum responsif menolak otonomi hukum yang bersifat final dan tak dapat diganggu gugat.

Teori hukum responsif sendiri menekankan pada pandangan kritis. Teori ini berpandangan bahwa hukum merupakan cara mencapai tujuan. Sifat responsif dapat diartikan sebagai melayani kebutuhan dan kepentingan sosial yang dialami dan ditemukan, tidak oleh pejabat melainkan oleh rakyat.

Berangkat dari sini, dapat dikatakan sistem hukum otonom yang dianut di Indonesia memang memiliki kelemahan dalam menghadapi tuntutan baru yang mungkin saja muncul di tengah situasi krisis seperti pandemi. Oleh karena itu, para pemangku kebijakan bisa saja menggodok aturan yang berlandaskan pada asas hukum responsif karena klasifikasi tersebut merupakan respons terhadap kebutuhan dan aspirasi sosial.

Pada akhirnya, sikap Anies dan Luhut yang cenderung menginginkan penanganan pandemi dengan memaksimalkan peran aparat penegak hukum tetaplah membutuhkan landasan hukum yang tepat. Jika tidak, langkah yang diambil justru berpotensi memperburuk penanganan pandemi. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...