Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Respons dan pengingat kritis Anies Baswedan terhadap konten “bonus demografi” Gibran Rakabuming Raka seolah menguak kembali bahwa terdapat gap di antara mereka dan bagaimana audiens serta pengikut mereka bereaksi satu sama lain. Lalu, akankah gap tersebut terpelihara dan turut membentuk dinamika sosial-politik tanah air ke depan?
Setelah kemunculan video Wakil Presiden RI Gibran Rakabuming Raka membicarakan bonus demografi Indonesia di tahun 2030-2045 dalam tone positif dan optimistis, kritik jamak berdatangan dari para influencer dan justru cenderung memantik perspektif skeptis dari audiens mereka.
Anies Baswedan, capres 2024 dan kini kerap tetap bersuara soal isu sosial-politik-pemerintahan di Indonesia turut membuat konten terkait topik bonus demografi.
Anies, yang memang dikenal cakap dalam bertutur kata, sebenarnya cukup elegan menyoroti isu bonus demografi yang harus dilihat secara cermat dan memerlukan pendekatan konkret.
Mantan Gubernur DKI Jakarta itu mempertanyakan pihak yang menganggap bonus demografi sebagai berkah otomatis. Menurutnya, usia produktif tidak selalu berarti produktivitas, terutama saat berkaca para sejumlah anak muda yang hidup saat in dengan tantangan yang lebih kompleks terutama dalam aspek ekonomi.
Lebih lanjut, Anies juga bicara fakta desa dan kota kecil yang mulai ditinggalkan anak muda. Kemudian, ia menyebut para anak muda itu pergi ke kota yang justru membuat mereka hidup dalam zona abu-abu ekonomi.
Intinya, kemasan penyampaian Anies tampak memberikan masukan konstruktif agar pemerintah tak lalai merespons bonus demografi
Namun, secara politik, respons Anies secara khusus yang terarah kepada Gibran Rakabuming Raka dan respons audiens terhadap perspektif keduanya seolah kian menambah gap bahwa Anies berada di kubu yang “berbeda” dalam dimensi tertentu dengan Gibran, plus sang ayah, mantan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Sebagai catatan, selain adalah rival Prabowo-Gibran di Pilpres 2024, Anies memiliki riwayat kurang oke dengan Jokowi saat terkena reshuffle di Kabinet Kerja pada tahun 2016 silam.
Pertanyaannya, mengapa dan dalam konteks apa Anies mengemukakan responsnya atas isu bonus demografi?
Serta apakah garis demarkasi di antara Anies dan Gibran (Jokowi) akan tetap lestari dalam dikotomi politik Indonesia ke depan?
Gibran-Anies Sama-Sama Benar?
Dalam menjelaskan perbedaan pendekatan antara Gibran dan Anies terhadap isu bonus demografi, kerangka teoretis dari Dani Rodrik dalam Straight Talk on Trade kiranya dapat digunakan.
Rodrik menekankan bahwa ekonomi global dan regional tidak bekerja hanya berdasarkan potensi demografi, tetapi sangat tergantung pada kapasitas institusi publik dan arah kebijakan yang konkret.
Optimisme makro seperti yang diusung Gibran bisa menjadi wacana yang menenangkan publik, tetapi berisiko menutupi masalah struktural jika tidak diikuti dengan solusi mikro yang implementatif.
Gibran menarasikan masa depan dengan model optimisme khas developmentalisme klasik, yang meyakini bahwa dengan bonus usia produktif, pertumbuhan ekonomi akan otomatis meningkat.
Hal tersebut adalah varian dari apa yang disebut James Ferguson sebagai anti-politics machine, yakni narasi pembangunan yang menyembunyikan politik dan struktur relasi kuasa di balik jargon teknokratis.
Sementara itu, Anies menawarkan pendekatan yang lebih reflektif. Ia tidak menolak potensi bonus demografi, tetapi menegaskan bahwa potensi tanpa investasi sosial hanyalah ilusi.
Ihwal itu sejalan dengan teori Amartya Sen dalam Development as Freedom, yang menekankan bahwa pembangunan bukan hanya soal angka, melainkan kemampuan individu untuk memiliki pilihan dan kendali atas hidupnya.
Kritik Anies pada Gibran juga dapat dilihat sebagai bentuk dari political framing sebagaimana dikaji oleh George Lakoff dalam Don’t Think of an Elephant!.
Dengan membingkai ulang narasi bonus demografi dari sekadar berkah menjadi tantangan kebijakan, Anies seakan mengalihkan diskusi dari ranah retorika ke ranah implementasi.
Sesuatu yang kiranya bukan semata upaya pembeda dalam perspektif politik dan kebijakan, tetapi pembentukan posisi moral dan intelektual yang menjadikannya tetap relevan meski kalah dalam Pilpres.
Dalam lanskap media sosial, perbedaan gaya komunikasi Gibran dan Anies juga menciptakan respons psikologis yang berbeda. Gibran, dengan gaya khas milenial yang ringkas dan terkesan “santai”, berusaha tampil serius.
Namun Anies, dengan kedalaman bahasa dan nuansa intelektual, justru lebih mampu menyentuh lapisan masyarakat yang menginginkan substansi. Hal ini juga berkorelasi dengan analisis Pierre Bourdieu soal distinction, bahwa selera politik adalah juga bentuk klasifikasi sosial. Anies berupaya menjadi representasi dari kalangan yang menginginkan politik dengan bobot.
Pertanyaan berikutnya kemudian mengemuka, yakni apakah dikotomi antara Anies dan Gibran (yang diasosiasikan dengan Jokowi) akan menjadi garis politik yang langgeng di Indonesia? Atau justru menjadi cikal bakal dialektika politik baru yang lebih substantif dan saling memperkaya?

Dialektika Politik Baru?
Untuk menjawab pertanyaan di atas, gagasan Carl Schmitt tentang the friend-enemy distinction dalam politik kiranya dapat menjadi rujukan. Dalam The Concept of the Political, Schmitt menegaskan bahwa politik selalu bergerak dalam logika pembedaan: siapa kawan dan siapa lawan.
Dalam konteks politik kontemporer Indonesia, “dikotomi” Anies vs Gibran (atau Jokowi) bisa jadi adalah reinkarnasi dari garis faksional antara teknokrat-sentrik vs masyarakat-sentrik, atau populisme moral vs populisme pragmatis.
Namun, perlu juga dipertimbangkan perspektif yang mengacu teori deliberatif dari Jurgen Habermas yang menekankan pentingnya public sphere sebagai arena diskusi rasional antar warga negara.
Dalam kerangka ini, perbedaan Anies dan Gibran dapat dilihat bukan sebagai fragmentasi, tetapi sebagai bentuk wacana deliberatif yang sehat jika kanal politik dan medianya tetap terbuka.
Sayangnya, realitas politik Indonesia kerap tidak ideal. Polarisasi sering kali tidak mendorong perdebatan ide, tetapi hanya memperkuat loyalitas dan afiliasi.
Yang menarik, Anies tampaknya menyadari hal ini dan mulai membingkai dirinya bukan lagi sebagai anti-pemerintah, tetapi sebagai “pengingat” atau “penyeimbang” kekuasaan.
Dalam hal ini, ia meneruskan tradisi intelektual yang diwariskan oleh tokoh seperti Nurcholish Madjid dan Amien Rais, yakni mereka yang tetap kritis tanpa harus selalu berada di luar sistem.
Bahkan, bila ditelaah lebih lanjut, narasi Anies tentang kota dan desa juga mengandung kritik implisit terhadap model pembangunan Jokowi yang sangat terpusat pada infrastruktur, tanpa cukup memberi perhatian pada imbas sosial jangka panjangnya.
Sementara itu, Gibran tampaknya melanjutkan model komunikasi Jokowi yang sederhana, relatable, dan menghindari konflik terbuka. Hal ini kiranya cukup efektif secara politik, tetapi berisiko menghindari kompleksitas.
Apalagi di era pasca-kemenangan Pilpres, ketika publik mulai menginginkan hal-hal yang lebih konkret dari sekadar simbol dan kesederhanaan.
Melihat semua ini, tampaknya garis demarkasi antara Anies dan Gibran bukan sekadar residu rivalitas Pilpres, tetapi refleksi dari dua model kepemimpinan.
Satu yang berbasis pada narasi moral dan struktur ide, satu lagi berbasis pada performativitas dan relasi kuasa. Selama keduanya tetap memiliki kanal untuk menyuarakan gagasan masing-masing, Indonesia bisa berharap akan muncul ekosistem wacana yang lebih matang.
Namun bila polarisasi ini dikapitalisasi secara eksesif, hanya akan melanggengkan politik identitas yang disfungsional.
Dalam politik yang sehat, antagonisme bisa menjadi katalis dialektika. Namun dalam politik yang dikendalikan oligarki, antagonisme hanya jadi alat kooptasi emosi massa.
Maka pertanyaannya bukan apakah Anies dan Gibran akan terus berseteru, tetapi apakah publik Indonesia akan mampu menjadikan perdebatan keduanya sebagai ruang pendidikan politik yang kritis, produktif, dan berkelanjutan. (J61)