Cross BorderTiongkok Kepo atau AS yang Lebay?

Tiongkok Kepo atau AS yang Lebay?

- Advertisement -

Peristiwa “melencengnya” jalur penerbangan balon udara Tiongkok ke wilayah udara Amerika Serikat (AS) membuat hubungan keduanya yang mulai membaik, kini kembali memanas. Apalagi AS memandang balon udara tersebut sebagai ancaman serius, yang dituduh sebagai upaya spionase Tiongkok, sehingga harus ditembak jatuh. Mungkinkah terdapat upaya propaganda AS di balik reaksi kerasnya terhadap balon udara Tiongkok?


PinterPolitik.com

“Jika anda ingin kedamaian, bersiaplah untuk perang,” – Livius

Dalam rentang waktu seminggu, publik Amerika Serikat (AS) dikejutkan dengan kemunculan sebuah balon yang sepintas terlihat seperti UFO atau benda aneh lainnya. Militer AS telah melakukan pemantauan sejak balon yang dicurigai sebagai alat spionase tersebut berada di wilayah Alaska, hingga akhirnya masuk ke Kanada dan wilayah udara daratan utama AS. 

Pada akhirnya Tiongkok mengakui bahwa balon udara tersebut merupakan milik mereka. Tiongkok menyatakan balon tersebut hanya digunakan untuk kepentingan meteorologi, bukan spionase seperti yang dituduhkan AS. Tiongkok juga menambahkan, balon tersebut masuk ke wilayah udara AS karena ketidaksengajaan. Menurut mereka, balon tersebut hanya memiliki kemampuan terbang sendiri secara terbatas, sehingga tidak bisa dikendalikan.

Balon dengan diameter sekitar 90 kaki itu akhirnya ditembak jatuh oleh Angkatan Udara AS (USAF), setelah mendapat izin dari Presiden Joe Biden.

Peristiwa ini berimplikasi besar pada hubungan kedua negara, setelah Menteri Luar Negeri (Menlu) Anthony Blinken membatalkan kunjungannya ke Tiongkok yang telah direncanakan.

image 19

Paman Sam Paranoid?

Meskipun terlihat mirip dengan balon udara cuaca pada umumnya, menurut Jesse Geffen, seorang manajer dari perusahaan Kaymont Balloons, balon yang ditembak jatuh itu agak berbeda. Perbedaan itu utamanya terletak pada waktu terbang yang lebih panjang, serta muatan yang mampu dibawanya. 

Salah satu sumber dari pejabat pertahanan AS membantah klaim Tiongkok. Menurutnya, balon tersebut memiliki semacam pola dalam lintasannya, dan berusaha mendekati beberapa situs sensitif, termasuk silo rudal yang salah satunya menyimpan Rudal Minuteman III, sebuah rudal balistik antar benua (ICBM)  milik AS. 

Baca juga :  Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Tiongkok, dalam siaran persnya, menyatakan AS bertindak lebay alias berlebihan dalam hal ini. Karena balon tersebut hanyalah sebuah balon sipil, namun ditembak jatuh oleh kekuatan militer, sehingga nantinya mereka  memiliki “legitimasi” dalam menanggapi hal yang sama.

Namun, tindakan AS dapat dipahami. AS, sebagai kekuatan terbesar di dunia, baik dalam aspek politik hingga ekonomi, memiliki kepentingan nasional yang lebih “sensitif” terhadap kebijakan negara lain. 

Apalagi dalam menghadapi kekuatan baru Tiongkok, yang berpotensi menyaingi AS di masa depan. Tidak heran kemudian AS terlihat lebih siaga, bahkan cenderung paranoid dalam masalah kepentingannya.

Dalam pandangan realisme, tindakan AS termasuk wajar untuk dilakukan. Menurut John Mearsheimer, kecenderungan perilaku seperti yang dilakukan AS dapat disebut dengan istilah Offensive Realism.

Istilah tersebut menyatakan bahwa negara sebagai sebuah entitas yang berpikir rasional akan terus berupaya mencari cara untuk bisa survive dalam dinamika hubungan internasional. Dan cara terbaik untuk bisa survive adalah dengan menjadi hegemon.

Setelah runtuhnya Uni Soviet pasca Perang Dingin, AS sejatinya telah mencapai status hegemon. Namun, status itu kini terancam seiring bangkitnya kekuatan baru dunia, yakni Tiongkok. Ini yang membuat AS bersikap waspada dan terkesan paranoid dengan Tiongkok.

Well, bukan tidak mungkin peristiwa ini menjadi awal “kebangkitan” AS. Kebangkitan dalam artian, bahwa mereka akan lebih agresif kepada Tiongkok. Ketika status hegemonnya terancam, maka AS harus mengambil langkah responsif dalam menanggapi hal tersebut.

Selama ini, konflik dengan Tiongkok selalu dalam skala yang terbatas. Sehingga dengan adanya ancaman pada daratan utama AS, terdapat kekhawatiran bahwa Paman Sam mungkin akan mengambil pendekatan yang lebih keras.

Namun, mungkinkah terdapat motif politik lain di balik reaksi keras AS terhadap balon udara Tiongkok?

infografis siasat as bikin pbb

Propaganda AS?

Kasus balon misterius yang memasuki wilayah udara suatu negara, bukan hanya kali ini saja. Tercatat, Taiwan dan Jepang pernah mengalami hal serupa, termasuk juga Kosta Rika. Bahkan peristiwa balon Tiongkok di AS bukanlah hal yang baru.

Baca juga :  Biden ‘Setengah Hati’ Selamati Prabowo?

Kendati demikian, sebagaimana respons Tiongkok, tindakan AS untuk menembak jatuh balon udaranya dinilai berlebihan. Di linimasa media sosial bahkan tersebar meme yang membandingkan keberhasilan pesawat F-22 Raptor menjatuhkan target dengan pesawat lainnya. Jika pesawat lain menjatuhkan roket dan pesawat tempur musuh, F-22 Raptor justru menjatuhkan sebuah balon udara tak berawak.

Selain itu, tuduhan spionase menggunakan balon udara sekiranya kurang relevan di tengah kecanggihan teknologi saat ini. Jika sekadar ingin memotret lokasi-lokasi penting di AS, bukankah bisa menggunakan satelit?

Melihatnya dari sudut pandang perang psikologis (psywar), ada kemungkinan reaksi keras AS merupakan upaya propaganda. Dengan reaksi keras AS dan sebaran narasi bahwa ada upaya spionase Tiongkok, itu akan melahirkan persepsi bahwa Tiongkok adalah negara yang berbahaya dan mengancam kedaulatan negara lain. 

Dalam kajian sosiologis, upaya ini disebut dengan labelling theory. Ini adalah upaya menempelkan stereotip pada kelompok tertentu agar pandangan terhadap kelompok tersebut mengikuti stereotip yang diberikan. Pada banyak kasus, labelling theory digunakan dalam upaya negatif, yakni menjatuhkan citra pihak lain.

Label yang disematkan kepada Tiongkok, berupa narasi “berbahaya” dan “mengancam”, tentu akan membuat masyarakat dunia berpikir demikian. Khususnya dalam lingkup domestik AS, masyarakat AS dibuat percaya bahwa Tiongkok tengah memata-matai mereka dan negaranya. 

Sebagai penutup, kita dapat membuat dua kesimpulan. Pertama, kita dapat memaklumi reaksi keras AS. Sebagai negara hegemon yang ingin mempertahankan dominasinya, ancaman dari Tiongkok sebagai kekuatan baru dunia tentu harus disikapi dengan awas.

Kedua, ada kemungkinan reaksi keras AS terhadap balon udara Tiongkok merupakan bagian dari upaya propaganda. Ini dapat dibaca sebagai upaya pelabelan terhadap Tiongkok sebagai negara yang berbahaya dan mengancam kedaulatan negara lainnya. (R87)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru...

More Stories

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?