Cross BorderReferendum “Palsu” Putin, Akhir Peperangan?

Referendum “Palsu” Putin, Akhir Peperangan?

- Advertisement -

Presiden Rusia Vladimir Putin melakukan referendum untuk caplok empat wilayah Ukraina. Di sisi lain, kekalahan Rusia pun agaknya sudah tampak di depan mata. Tindakan referendum itu justru tampak menunjukkan keputusasaannya dalam menghadapi pasukan Ukraina.


PinterPolitik.com

Belum lama ini, Rusia baru saja melakukan referendum untuk mencaplok empat wilayah Ukraina antara lain Donetsk, Luhansk, Kherson, dan Zaporizhzhia. Hasil referendum menunjukkan pemilih yang setuju untuk bergabung dengan Rusia antara lain sebanyak 93,11 persen di Zaporizhzhia;  98,42 persen di Kherson; 98,42 persen Luhansk; dan 99,23 persen di Donetsk. Dengan demikian, keempat wilayah tersebut siap untuk melepaskan diri dari Ukraina.

Meskipun demikian, sebagian warga yang menolak untuk melepaskan diri dari Ukraina mulai ketar-ketir terhadap aturan wajib militer. Hal ini dikarenakan dampak referendum membuka peluang bagi mereka untuk diperlakukan seolah-olah telah menjadi bagian dari Rusia.

Dengan kata lain, seluruh hukum, doktrin, konsep, dan strategi Federasi Rusia akan diterapkan di keempat wilayah tersebut.

Sementara itu, Ivan Fedorov, Mayor Jenderal Ukraina menyebut referendum yang dilakukan Rusia palsu. Ia juga menuduh Rusia telah merencanakan warga Ukraina masuk ke militer Moskow. Salah satu badan di bawah Kementerian Pertahanan, Pusat Perlawanan Nasional Ukraina bahkan telah mengingatkan hal serupa.

Pemerintah Ukraina berspekulasi bahwa pemerintah Rusia dan Agen Keamanan Rusia telah membuat daftar ribuan orang yang akan dimobilisasi ke Zaporizhzhia dan Kherson. Di samping itu, Luhansk telah menerapkan wajib militer secara luas, meskipun validitasnya masih dipertanyakan karena tidak ada pengakuan dari komunitas internasional.

Adapun dari segi hukum internasional, sebenarnya referendum Donbass sebelumnya ditolak dengan tegas oleh komunitas global, khususnya kubu barat. Idealnya, referendum seharusnya dipantau secara independen. Terlebih, ada laporan dari masyarakat Ukraina soal eksistensi tentara yang tiba-tiba masuk ke dalam rumah menjelang referendum untuk meminta suara.

Pada saat yang sama, rakyat Moskow dilarang meninggalkan Rusia ketika referendum berlangsung.

Di titik ini, Rusia terlihat seperti melakukan paksaan kepada warganya dan sekaligus warga keempat wilayah Ukraina tersebut.

Lantas, mungkinkah Putin sedang hadapi kegentingan yang begitu mendesak di balik fenomena ini?

image 6

Jurang Kekalahan Rusia?

Langkah kebijakan yang diambil Putin menggambarkan seseorang yang tampak sedang ketar-ketir. Situasi genting di Rusia saat ini mungkin dapat menjadi suatu kemungkinan mengapa Putin seakan memaksakan warganya, plus warga keempat wilayah Ukraina yang berusaha dicaploknya.

Seorang pakar keamanan Inggris, Professor Anthony Glees mengatakan Rusia sering menghadapi peningkatan kerugian akibat perang. Dia juga memprediksikan Rusia akan mengalami kekalahan yang signifikan jika pihak Ukraina memenangkan perang di Kherson.

Baca juga :   Putin dan Rusia Berduka

Rusia dinilai Putin terlalu berharap untuk memenangkan perang dalam waktu yang dekat. Padahal, hal itu dinilai sudah terlihat jelas, baik akan berakhir dengan kekalahan yang signifikan maupun tidak. Putin diprediksikan merencanakan penyerangan, meskipun sudah kehabisan tenaga dan sumber daya bahkan mengalami kerugian yang besar.

Di samping itu, kekuatan Ukraina semakin kuat akibat kecerdikan Zelensky dalam memanfaatkan momentum untuk merebut kembali wilayah Kherson, provinsi yang strategis dan diperebutkan oleh kedua negara itu.

Hasilnya, Ukraina sukses melipatgandakan upaya pengambil-alihan melalui bantuan rudal yang disponsori Aamerika Serikat (AS) untuk menghancurkan beberapa jembatan pembawa pasokan Rusia.

Lalu, setelah menghadapi berbagai tekanan yang begitu menyudutkan posisi Rusia, bagaimana keputusan yang dipilih Putin sebagai usaha untuk mengalahkan Ukraina dalam situasi ini?

image 9

Vibes Kegagalan Hitler?

Bagaikan sebuah idiom “hutang nyawa, dibayar dengan nyawa,”. Ukraina berhasil membalik keadaan.

Awalnya, pasukan Rusia membombardir habis-habisan wilayah Ukraina hingga menguasai setidaknya tujuh wilayah antara lain Luhansk dan Donetsk (Donbass), Melitopol, Kherson, Berdyansk, dan Mariupol.

Mungkin, kini saatnya Rusia perlu menghadapi situasi yang dulu dirasakan Ukraina. Mulai dari demoralisasi hingga menunjukkan tanda-tanda negara yang mengarah kepada totalitarian, termasuk ke dalam penggunaan gerakan massa sebagai strategi pada mobilisasi.

Berlakunya kebijakan wajib militer di Rusia secara terang-terangan menunjukkan bahwa negara tersebut berada dalam situasi genting sehingga mau tidak mau perlu mengerahkan warganya untuk mengikuti perang.

Kebijakan ini ditentang para masyarakat yang tidak pro-perang dan menimbulkan penolakan yang keras. Bahkan, tidak sedikit warga Rusia yang pergi ke Finlandia hanya untuk menghindari wajib militer.

Pola instruksi Putin seakan mengingatkan kembali pada sejarah masa lalu ketika Adolf Hitler masih berkuasa di Jerman. Saat itu, Hitler dikenal sebagai penguasa ‘tangan besi’ yang juga bersifat totalitarian.

Publikasi dengan judul “Instigators of Genocide: Examining Hitler From a Social Psychological Perspective” oleh David R. Mandel menjelaskan Hitler bersikeras untuk menerapkan prinsip “all or nothing”.

Saat itu, Hitler bahkan  organisasi bernama Hitler Youth alias Pemuda Hitler untuk mengkondisikan anak muda dan internalisasi nilai-nilai Nazi.

Dengan melihat upaya referendum “palsu” Putin, itu tampak serupa dengan kegagalan Hitler yang kemudian mendorongnya untuk menciptakan konspirasi berupa orang-orang Yahudi mengambil keuntungan dari perang, menghindari dinas militer, dan diam-diam mengatur kekalahan Jerman.

Jika dilihat dari perspektif psikologis, tindakan tersebut merupakan suatu bentuk kegagalan pribadi, frustrasi, dan kesia-siaan, serta untuk memperbaiki identitas sosialnya yang rusak.

Baca juga :   Putin dan Rusia Berduka

Hitler memiliki bias dengan mementingkan diri sendiri dan terlalu percaya diri memenangkan perang. Selain itu, bias melayani diri sendiri juga mungkin diarahkan untuk melindungi harga diri seseorang. Ihwal yang boleh jadi memiliki kemiripan dengan Putin saat ini.

Saat itu, Hitler ingin percaya bahwa Jerman telah ditipu karena dia tidak dapat menerima bahwa Jerman akan kalah perang. Kisah konspirasi Yahudi disebut-sebut memungkinkan Hitler untuk mengalihkan kesalahan Jerman serta dirinya sendiri secara pribadi.

Tampaknya setelah melampiaskan bias mementingkan diri sendiri melalui referendum “palsu” dan perjuangan prinsip “all or nothing”, apakah Putin akan meluncurkan serangan nuklir sebagai opsi pertahanan terakhirnya?

image 8

Perang Nuklir, Mungkinkah?

Putin baru-baru ini melakukan pidato yang berisi ancaman untuk meluncurkan serangan nuklir untuk melawan North Atlantic Treaty Organization (NATO) dan Ukraina. Putin juga mengancam dengan memberi pernyataan bahwa Rusia memiliki senjata pemusnah massal yang lebih ampuh daripada negara-negara NATO.

Pernyataan Putin itu kemudian dikritik oleh Kepala Kebijakan Luar Negeri Uni Eropa Josep Borrell. Ia berpendapat Putin tidak hanya melakukan gertakan saja, melainkan serius untuk benar-benar meluncurkan serangan nuklir.

Putin bahkan mengamini bahwa dirinya telah membulatkan tekad untuk memenangkan perang. Oleh karenanya, hal ini perlu menjadi perhatian yang serius bagi seluruh negara Eropa, terutama negara-negara tetangga negara dan Ukraina.

Borrel meyakini setiap orang yang pergi ke Moskow pasti mengetahui Putin selalu melontarkan jawaban yang sama terkait operasi militer dan tidak akan menyerah untuk melakukan invasi sampai tujuannya tercapai.

Keyakinan dan pernyataan tersebut tampaknya memiliki derajat kebenaran tersendiri berdasarkan pidato Putin dimana dirinya menyebut bahwa Rusia jelas akan menggunakan segala cara yang mereka miliki untuk melindungi negara itu beserta rakyatnya.

Ancaman Putin mungkin dapat menjadi keniscayaan, namun di saat yang sama boleh jadi itu merupakan upaya demoralisasi atau pelemahan semangat juang kepada Ukraina dan NATO. Demoralisasi sendiri memiliki konteks keamanan nasional dan penegakan hukum.

Hal ini dituju agar Rusia dapat mengikis moral semangat juang para musuhnya dan mendorong mereka untuk menarik mundur pasukan, pembelotan, atau menyerah. Kemungkinan itu tampak menjadi masuk akal mengingat Rusia yang sedang terpojok di ambang kekalahan perang.

Dengan demikian, berbagai upaya seperti kebijakan wajib militer, referendum “palsu”, dan ancaman serangan nuklir memperlihatkan bahwa Putin agaknya cukup ketar-ketir menghadapi kekalahan perang di depan mata. (Z81)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru...

More Stories

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?