Cross BorderKenapa Perang Akan Selalu Terjadi

Kenapa Perang Akan Selalu Terjadi

- Advertisement -

Abad ke-21 kerap disebut sebagai era perdamaian. Kendati demikian, perang sampai saat ini masih saja terjadi. Lantas, mengapa peperangan selalu ada?


PinterPolitik.com

Orang-orang selalu mengatakan bahwa di dunia yang modern ini tingkat perdamaian semakin tinggi. Bahkan banyak yang begitu optimis mengatakan bahwa Perang Dunia II dan Perang Dingin adalah terakhir kalinya negara-negara terlibat dalam konfrontasi yang begitu menegangkan.

Akan tetapi, meletusnya Perang Rusia-Ukraina pada 24 Februari 2022 seakan menjadi tamparan keras pada dunia bahwa hingga saat ini, dengan tingkat peradaban yang begitu maju, umat manusia masih saja melakukan perang dengan satu sama lain.

Tidak hanya Perang Rusia-Ukraina, konflik-konflik bersenjata yang berkecamuk di Timur Tengah, seperti invasi Amerika Serikat (AS) ke Irak, perang ISIS di Suriah, dan juga pertikaian antara Israel dan Palestina sepertinya cukup jadi pegangan argumen kita bahwa adalah omong kosong jika mengatakan abad ke-21 ini adalah abad perdamaian.

Walaupun begitu, seruan perdamaian sesungguhnya pun tidak pernah hilang. Mulai dari masyarakat sekitar kita sampai pertemuan internasional para diplomat, bisa kita pastikan peperangan tidak pernah menjadi keinginan orang-orang.

Lantas, jika semua orang sebenarnya memang menginginkan perdamaian, kenapa perang sampai saat ini masih terjadi?

Mengenal Perang Dunia 0

Perang dan Dosa Asal

Dalam masa ribuan tahun membangun peradaban, manusia telah menciptakan banyak hal. Menariknya, dari sejumlah keragaman alat yang diciptakan manusia, entah itu berbentuk nyata ataupun semu, hampir bisa dipastikan semuanya berasal dari satu motivasi besar, yakni untuk membuat umat manusia bisa bertahan hidup.

Terkait ini, filsuf asal Jerman yang cukup kontroversial bernama Carl Schmitt dalam bukunya The Concept of the Political, memiliki salah satu jawaban kenapa negara dan manusia akan selalu terjebak dalam lingkaran setan peperangan, yakni karena politik internasional memiliki apa yang disebutnya sebagai original sin atau dosa asal.

Baca juga :  Premanisme, Indonesia's Economic Cerberus?

Apa yang dimaksud dengan dosa asal dalam politik?

Well, Schmitt mengatakan pada dasarnya politik adalah alat yang diciptakan manusia untuk menentukan siapa yang berhak memiliki kekuatan dan siapa yang tidak. Secara naluriah, jika memang benar demikian, maka sangat lumrah bila seseorang yang berpolitik akan memiliki musuh. Bahkan, Schmitt menilai musuh dalam politik tidak pernah jadi fenomena dalam perpolitikan.

Alasan pandangan demikian muncul dari ribuan alasan. Mulai dari kecemburuan ekonomi, perbedaan pandangan tentang apa yang menguntungkan dan apa yang merugikan, perbedaan pandangan moral yang baik dan buruk, sampai perbedaan definisi “ganteng” dan “jelek”.

Oleh karena itu, selama hal-hal tadi masih terus membayangi, sebuah negara akan selalu dipandang memiliki potensi untuk menjadi ancaman. Dengan demikian, secara otomatis potensi perang akan selalu ada.

Satu-satunya cara agar politik bisa menciptakan “pertemanan”, menurut Schmitt, adalah hanya dengan mencari orang yang memiliki musuh sama dengan kita. Jika hal itu bisa dilakukan maka pertemanan sejati dalam politik bisa ditemukan. Namun, hal itu pun tidak bertahan selamanya. Kalau musuh bersama sudah tiada, maka potensi kecemburuan dan permusuhan akan kembali muncul.

Hal demikian kemudian bisa kita bawa untuk memahami fenomena politik di sekitar kita yang kerap terjadi, seperti koalisi partai politik (parpol). Selama parpol-parpol memiliki opoisisi di parlemen yang overpowered atau terlalu kuat, maka ambisi untuk membentuk koalisi yang sama kuatnya pun pasti ada.

Nah, dari pandangan ini, kita bisa simpulkan bahwa selama umat manusia belum memiliki musuh bersama, maka perang akan terus terjadi.

Karena itu, adagium common enemy atau musuh bersama sepertinya ada benarnya. Mungkin hanya kedatangan alien saja yang akhirnya bisa membuat umat manusia berdamai dan bersatu. (D74)

Baca juga :  Rusia dan Bayang-Bayang “Rumah Bersama Eropa”
spot_imgspot_img

More from Cross Border

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

More Stories

Prabowo’s Power School

Presiden Prabowo berencana membangun sekolah khusus untuk anak-anak cerdas-pandai dari kelompok masyarakat miskin: Sekolah Rakyat.

Surya Paloh Pilih Anies atau Prananda? 

Layaknya partai-partai senior lain, isu regenerasi kepemimpinan mulai muncul di Partai Nasdem. Kira-kira, siapa sosok yang akan dipercaya Surya Paloh untuk menjadi penggantinya? 

Chronicles Rewritten: Enter Fadli Zon

Menteri Kebudayaan Fadli Zon sat set menggarap program penulisan sejarah Indonesia. Bukan tanpa alasan, ada banyak bagian dari lembaran sejarah Indonesia yang belum sepenuhnya tepat atau bahkan masih menimbulkan perdebatan kebenarannya.