Cross BorderG20 Bukan Panggung Jokowi

G20 Bukan Panggung Jokowi

- Advertisement -

Menjalankan presidensi G20 dinilai merupakan momen Indonesia, khususnya bagi Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi jembatan Rusia-Ukraina dan Joe Biden-Xi Jinping. Namun, harapan itu mungkin terlalu besar untuk Jokowi. 


PinterPolitik.com

Kita semua mengetahui bahwa G20 atau Group of Twenty adalah forum untuk membahas dan mengatasi masalah ekonomi global, seperti stabilitas keuangan internasional, mitigasi perubahan iklim, dan pembangunan berkelanjutan. 

Namun, keputusan Presiden Rusia Vladimir Putin menyerang Ukraina pada 24 Februari 2022 telah membuat pemahaman umum kita soal G20 berubah. Alih-alih menjadi forum ekonomi, Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 yang dihelat di Bali, Indonesia, justru lebih terasa sebagai forum politik.

Berbagai pihak bahkan menaruh harapan kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk menjadi jembatan antara Rusia dan Ukraina. Jokowi dinilai harus memanfaatkan momentum presidensi G20 untuk mengisi posisi tersebut.

“Kalau saya optimis melihatnya karena Presiden Jokowi membungkus adanya gencatan senjata dengan isu yang lebih besar, yaitu krisis pangan yang akan melanda negara berkembang,” ungkap pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana, pada 11 Juli 2022.

Tidak hanya dari kalangan akademisi, pejabat tinggi negara juga menaruh optimisme serupa. Secara lugas, Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan bahkan menyebut Bali akan menjadi tempat perdamaian.

“Karena nanti pemimpin-pemimpin dunia kumpul di sini dalam keadaan damai, Ukraina dengan Rusia bisa damai, Amerika dengan China bisa bertemu. Presiden Jokowi akan menjadi jembatan untuk mengatasi perbedaan-perbedaan itu,” ungkap Luhut pada 26 Oktober 2022.

Tentu kita memberikan dukungan penuh agar harapan tersebut dapat terpenuhi. Namun, apakah Jokowi mampu menjadikan KTT G20 sebagai panggungnya?  

Harapan yang Terlalu Besar

Ahmad Rizky M. Umar dalam tulisannya Indonesia has great hopes for the G20. Will it deliver? di Indonesia at Melbourne pada 14 November 2022 memberikan penjelasan lugas kenapa harapan itu terlalu besar bagi Indonesia, dan tentunya bagi Jokowi. 

Meskipun KTT G20 merupakan pertemuan penting bagi para pemimpin dunia, sayangnya, G20 memiliki dasar kelembagaan yang lemah untuk implementasi kebijakan. G20 lebih merupakan forum koordinasi kebijakan, khususnya antara Menteri Keuangan (Menkeu) dan Gubernur Bank Sentral.

Menurut Umar, implementasi kesepakatan yang dicapai di G20 akan sulit terjadi jika kekuatan utama, yakni Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok, tidak memimpin kesepatakan.

Baca juga :  Kenapa Xi Jinping Undang Prabowo?

Lanjut Umar, pada kasus perang Rusia-Ukraina, mengharapkan Bali sebagai tempat perdamaian merupakan suatu harapan yang terlalu besar. Pertama-tama, kunjungan Jokowi ke Rusia dan Ukraina beberapa waktu lalu terbukti tidak memiliki konsekuensi.  

Sekalipun jikalau Putin akhirnya memutuskan hadir, Indonesia dinilai tidak memiliki kredibilitas atau pengaruh global yang cukup untuk meyakinkan kedua belah pihak untuk berbicara, bahkan dengan dalih ketahanan pangan dan energi global.

Menurut Umar, mengharapkan Indonesia menjadi jembatan antara Rusia dan Ukraina adalah ekspektasi yang tidak menyadari batas kapasitas mediasi yang dimiliki. Indonesia harus lebih rasional dan realistis tentang apa yang dapat dicapai di G20. 

Oleh karenanya, alih-alih terjebak pada ilusi menjadi pemain utama di G20, lebih masuk akal untuk Indonesia mengambil peran di Association of South-East Asian Nations (ASEAN) terlebih dahulu. 

ktt g20 bali bakal panas ed.

Mata Kamera adalah Buktinya

Bukti atas penjabaran Umar dapat kita temukan dalam sorotan mata kamera. Merangkum berbagai pemberitaan media, baik dalam maupun luar negeri, aktor utama tatanan global saat ini, yakni Presiden AS Joe Biden dan Presiden Tiongkok Xi Jinping, lebih banyak mendapat sorotan.

Pada 14 November, foto Biden dan Xi yang bersalaman dengan penuh senyum terlihat menjadi headline pemberitaan berbagai media massa. Momen itu disebut bersejarah karena merupakan pertemuan langsung pertama keduanya sejak Biden terpilih menjadi Presiden AS pada 2020.

Terlebih lagi, seandainya Putin hadir, mudah menyimpulkan bahwa semua mata kamera pasti akan tertuju padanya. Mulai dari gestur, bahasa tubuh, pakaian, kendaraan, dan semua pernyataannya akan menjadi headline pemberitaan media.

Tom Nichols dalam bukunya The Death of Expertise: The Campaign Against Established Knowledge and Why it Matters menjelaskan bahwa media massa menyandarkan prioritas beritanya pada isu yang lebih mengundang klik, views, dan sensasi.

Tingginya intensitas berita pada suatu isu menunjukkan betapa besar nilai berita tersebut. Ini dikenal dengan news values. 

Adhimurti Citra Amalia dalam tulisannya News Values dalam Media Relations, dengan mengutip Jane Johnston, menjelaskan bahwa nilai berita ditentukan oleh sembilan elemen. Pertama, sebesar apa dampaknya pada kehidupan. Kedua, apakah terdapat konflik di dalamnya. Ketiga, berita bersifat timeliness atau berhubungan dengan isu yang sedang hangat. 

Keempat adalah proximity, yakni pembaca menilai berita itu dekat dengannya. Kelima, berita mengangkat isu atau objek populer. Keenam, berita memuat hal yang masih beredar atau berlaku. Ketujuh, memuat kepentingan manusia. Kedelapan, mengandung unsur kebaruan. Kesembilan, berita mengandung isu kapital atau uang. 

Baca juga :  Hasto dan Politik Uang UU MD3

Semakin banyak elemen yang terkandung dalam suatu berita, maka berita tersebut akan semakin bernilai di mata masyarakat.

infografis akhirnya elang bertemu panda

Pada kasus derasnya pemberitan soal Biden, Xi, dan Putin, kesembilan elemen tersebut dengan jelas terlihat. Perang Rusia-Ukraina maupun ketegangan AS-Tiongkok memiliki dampak global dan menentukan hajat hidup orang banyak.

Keputusan Putin menyerang Ukraina membuat Eropa dan AS mengalami inflasi. Pun demikian jika AS akhirnya memutus hubungan ekonomi dengan Tiongkok. Berbagai perusahaan AS di Tiongkok bisa saja ditarik, yang mana itu berdampak secara global.

Jokowi di Tengah Raksasa

Kembali mengutip Ahmad Rizky M Umar, harapan bahwa Bali menjadi tempat perdamaian adalah angan-angan yang terlampau besar. Indonesia tidak memiliki kapasitas untuk membuat AS, Tiongkok, maupun Rusia berbicara satu sama lain.

Seperti dijelaskan Irina Minakova dalam The USA, Russia and China as a Center of Influence in Global Economy, proses politik dan ekonomi dunia saat ini ditentukan oleh hubungan AS, Rusia, dan Tiongkok. Ketiganya adalah negara yang membentuk agenda global dan memiliki tempat khusus dalam komunitas internasional. 

Kembali mengutip Umar, tanpa kepemimpinan aktor utama dunia, sulit membayangkan G20 dapat mengimplementasikan hasil kesepakatannya. Suka atau tidak, Jokowi tengah berdiri di antara para raksasa dunia. 

Karena terus ditekan AS, Indonesia sampai harus mengundang Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, meskipun Ukraina bukan anggota G20. Ini jelas membuktikan betapa besarnya pengaruh Paman Sam. 

Dengan tidak hadirnya Putin, dapat dikatakan, KTT G20 di Bali adalah panggung bagi Joe Biden dan Xi Jinping. Melansir pemberitaan terbaru, momen pertemuan G20 digunakan Xi untuk memperingati Biden agar tidak ikut campur soal Taiwan. Biden kemudian merespons dengan menyebut AS mendukung kebijakan One China Policy.

Pada akhirnya, dengan cukup meyakinkan dapat disimpulkan, meskipun Indonesia menjadi presidensi G20, itu tidak menambah daya tawar dan pengaruh Indonesia di tatanan global. Harapan bahwa Jokowi menjadi jembatan hanyalah sebuah harapan semata. 

Kekhawatiran KTT G20 menjadi forum politik sepertinya benar-benar terjadi. Hadirnya Zelensky secara daring memberikan pidato adalah bukti kuat. Tidak membahas ekonomi, Zelensky justru menyinggung serangan Rusia dan mengklaim kemenangan Ukraina. (R53)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru...

More Stories

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?

Gibran, Wapres Paling Meme?

Usai MK bacakan putusan sengketa Pilpres 2024, Gibran Rakabuming Raka, unggah fotonya sendiri dengan sound berjudul “Ahhhhhh”.