Cross BorderChelsea Jadi Benih 'Revolusi' Inggris?

Chelsea Jadi Benih ‘Revolusi’ Inggris?

- Advertisement -

Acara iftar terbuka yang digelar Chelsea disoroti publik lantaran klub sepakbola elite Inggris tersebut jadi yang pertama menggelar acara buka puasa di Premier League. Bagaimana kacamata politik melihat fenomena ini?


PinterPolitik.com

Bulan suci Ramadan telah tiba! Buat kalian yang merayakannya, mungkin suasana bulan puasa ini mampu memunculkan rasa nostalgia yang hangat, karena bulan yang sangat spesial untuk umat Muslim ini identik dengan acara-acara kebersamaan seperti buka bersama (bukber) dan sahur on the road (SOTR). Tidak lupa, acara kumpul keluarga yang kerap dilakukan setelah Idul Fitri nanti.

Dan tentu, rasa kebersamaan tersebut tidak hanya dirasakan di negara-negara mayoritas Muslim saja. Di Inggris misalnya, beberapa hari lalu ramai dibicarakan acara iftar terbuka yang digelar salah satu klub sepakbola top liga Premier League, yakni Chelsea Football Club (FC).

Dalam acara tersebut, Chelsea tidak hanya mengundang penggemarnya yang beragama Islam, tetapi juga komunitas-komunitas Muslim secara keseluruhan di Inggris untuk santap bersama setelah azan Magrib di Stadion Stamford Bridge.

Namun, yang paling menarik dari acara tersebut adalah Chelsea secara resmi telah menjadi klub sepakbola pertama di Premier League yang menggelar acara buka puasa bersama di stadionnya.

Lord Daniel Finkelstein OBE, Ketua Chelsea Foundation, mengatakan hal ini dilakukan demi mempromosikan inklusivitas antara penggemar Chelsea. Pergelaran iftar bersama ini juga menjadi bagian dari kampanye inklusivitas mereka yang berjudul No To Hate, yang bertujuan memperkenalkan sisi-sisi yang sebenarnya dari kehidupan masyarakat beragama.

Di satu sisi, acara iftar yang digelar oleh Chelsea ini juga menyimpan makna sosio-politis yang cukup mendalam, mengingat Inggris adalah salah satu negara Eropa yang memiliki catatan sejarah diskriminasi terhadap kaum Muslim. Bahkan, menurut analisis yang dilakukan Universitas Birmingham dan lembaga analisis data YouGov pada tahun 2022, komunitas Muslim adalah komunitas yang paling sering mendapatkan diskriminasi di Inggris.

Salah satu dari beberapa alasan munculnya diskriminasi tersebut adalah karena banyak orang asli Inggris yang melihat meningkatnya imigran Muslim sebagai ancaman terhadap berbagai aspek kehidupan mereka, contohnya seperti lapangan pekerjaan.

Yap, Islamofobia di Inggris memang telah menjadi permasalahan yang kerap disoroti publik dan beberapa kali terselip melalui cerita-cerita yang disampaikan para diaspora Indonesia yang berkiprah di negara kepulauan Eropa tersebut.

Lantas, bagaimana kita bisa mengambil makna dari pergelaran Iftar yang dilakukan Chelsea, dan korelasinya dengan persoalan Islamofobia di Inggris?

image 32

Pembuktian Teori Huntington?

Populasi umat Muslim di Inggris semakin bertambah banyak.  Menurut survei yang dilakukan British Religion in Numbers (BRIN), jumlah populasi Muslim pada tahun 1961 hanya 50.000 orang, tapi pada tahun 2021 umat Muslim di sana sudah mencapai angka 3.868.133 atau 6,5 persen dari total populasi Inggris.

Baca juga :  Iran vs Israel, PD III Sudah Dimulai?

Secara sekilas, mungkin wajar saja jika kita berasumsi bahwa iftar yang digelar Chelsea adalah respons alamiah terhadap semakin bertambahnya populasi Muslim, akan tetapi, sepertinya pergelaran tersebut memiliki makna yang lebih mendalam dari sekadar reaksi terhadap populasi semata.

Ilmuwan politik, Samuel P. Huntington dalam tulisannya The Clash of Civilizations, sempat memprediksi bahwa latar belakang kultural dan identitas keagamaan akan jadi fitur utama dari dinamika peradaban di masa depan. Dalam bukunya tersebut, Huntington bahkan menyebutkan perang-perang di masa depan akan terbentuk dari aliansi yang didasarkan pada preferensi budaya dan agama.

Huntington pun menjelaskan setidaknya beberapa alasan kuat mengapa hal itu bisa terjadi. Pertama, adalah karena signifikansi identitas agama mendahului ide dari negara-bangsa itu sendiri. Selama ribuan tahun, identitas manusia terbentuk oleh agama yang dianutnya, sementara, konsep negara-bangsa baru dilegitimasi pada abad ke-17 melalui Perjanjian Westphalia. Akibatnya, masyarakat akan selalu merasa lebih terikat pada agama dibanding negara.

Kedua, karena modernisasi ekonomi dan perubahan sosial, masyarakat dunia semakin terpisah dari identitas lokal yang sudah lama ada. Sebaliknya, agama semakin mampu mengisi kesenjangan tersebut, yang kemudian juga menjadi dasar bagi identitas yang melampaui batas-batas negara dan mempersatukan peradaban beberapa bagian peradaban di dunia.

Ketiga, adalah yang Huntington sebut sebagai kemunculan civilization consciousness atau kesadaran peradaban. Di era yang semakin terbuka dan terkoneksi ini, orang-orang semakin menyadari bahwa makna perbatasan sebuah negara semakin tidak relevan.

Negara terbukti kehilangan sejumlah kekuatannya di beberapa sektor, seperti ekonomi misalnya, dan aktor-aktor negara memiliki pengaruh politik yang semakin kuat. Oleh karena itu, muncul-lah sebuah fenomena sosial di masyarakat di mana orang menyadari bahwa identitas yang perlu diperjuangkan adalah identitas kultural dan agama.

Nah, faktor-faktor yang mendorong semakin populernya identitas agama ini sepertinya bisa kita refleksikan ke fenomena iftar terbuka yang digelar Chelsea.

Diskriminasi yang sedemikian tingginya di Inggris akhirnya justru malah membuat sebuah entitas yang diisi orang-orang multikultural seperti Chelsea untuk mengesampingkan sentimen hiper-nasionalis, dan mempromosikan identitas agama sebagai sesuatu yang mungkin posisinya bisa dilihat ‘di atas’ perseteruan berbasis nasionalisme.

Bisa jadi, apa yang dilakukan Chelsea adalah sebagai bukti dari munculnya benih-benih kemuakan masyarakat Inggris terhadap batasan-batasan yang selama ini memisahkan sejumlah elemen warga yang hidup di sana. Dengan bertaruh pada narasi persatuan umat beragama, Chelsea Foundation akhirnya memilih untuk mengesampingkan sekat-sekat tersebut demi meraup dukungan pada tim sepakbola mereka.

Tentu, kita tidak bisa dengan gamblang menyebut bahwa ini adalah bukti kuat bahwa apa yang diprediksi Huntington telah menjadi kenyataan, tapi setidaknya kita bisa mengambil makna bahwa mungkin saja hal kecil yang dilakukan Chelsea ini akhirnya akan memicu semacam butterfly effect atau efek beruntun yang juga bisa mendorong klub-klub Premier League lain untuk melakukan hal yang sama.

Baca juga :  Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

Dalam skema yang lebih besar, ini bisa menjadi sebuah gerakan sosial besar di Inggris, terlebih lagi olahraga adalah salah satu aspek kehidupan yang paling berpengaruh di sana.

Namun, kalau hal itu memang benar, maka ada satu hal penting lain yang juga perlu kita perhatikan, yakni mungkinkah fenomena ini akhirnya memantik sebuah konflik sosial?

image 31

Bentuk Baru Demokrasi?

Salah satu fitur yang paling disoroti Huntington dalam tulisannya Clash of Civilizations tadi adalah ia memprediksi bahwa menguatnya sentimen identitas kultural dan agama akan mengesampingkan kepentingan politik tradisional dalam eskalasi konflik. Hal ini karena adanya hukum alamiah konflik sosial, yakni perjuangan masyarakat untuk mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat.

Kalau prediksi Huntington itu memang benar, maka fenomena menguatnya identitas keagamaan di Inggris bisa saja akan mengakibatkan gesekan-gesekan sosial, terlebih lagi pada kelompok konservatif sayap kanan di Inggris.

Namun, Amartya Sen dalam tulisannya Democracy as a Universal Value, mengkritisi prediksi Huntington tadi. Sen mengatakan bahwa memang betul perbedaan identitas akan terus ada di masyarakat, tetapi  ia melihat itu malah sebenarnya akan menjadi salah satu bentuk transformasi demokrasi modern. Dengan berefleksi pada Revolusi Industri dan Era Pencerahan, Sen menilai bahwa selama ada struktur demokrasi yang kuat, perselisihan identitas akan tetap terjaga dengan baik.

Hal tersebut karena Sen menilai demokrasi pada dasarnya akan selalu memiliki nilai sebagai unsur kehidupan yang universal. Perbedaan identitas tidak lain hanyalah akan menjadi tantangan terbaru dalam peradaban manusia yang akhirnya akan terlintas dengan begitu saja meskipun mungkin pada awalnya terlihat akan penuh dengan benturan keras.

Oleh karena itu, kembali melihat fenomena iftar terbuka oleh Chelsea dan menguatnya identitas Muslim di Inggris, sangat wajar bila suatu saat dinamika sosial tersebut akan mendapat semacam penolakan dari lapisan masyarakat tertentu.

Akan tetapi, merefleksikan dengan apa yang dikatakan Sen, mungkin kita jangan melihatnya dari sisi buruknya saja, tapi sebagai sisi positif di mana perbedaan berlandaskan ide yang begitu rentan kekerasan seperti identitas lokal akhirnya mendapatkan kesempatan untuk digantikan dengan ide yang lebih universal seperti identitas kultural.

Well, pada akhirnya tentu ini hanya interpretasi belaka. Yang jelas, memang menarik bila kita ikuti perkembangan sosial dan budaya di Eropa saat ini. Sejumlah pengamat memprediksi bahwa era keemasan budaya dan agama di Eropa akan bangkit kembali. Hmm, benarkah hal tersebut? Kita simak saja. (D74)

spot_imgspot_img

More from Cross Border

Nuklir Oppenheimer Justru Ciptakan Perdamaian?

Film Oppenheimer begitu booming di banyak negara, termasuk Indonesia. Menceritakan seorang Julius Robert Oppenheimer, seorang ahli fisika yang berperan penting pada Proyek Manhattan, proyek...

Oppenheimer, Pengingat Dosa Besar Paman Sam?

Film Oppenheimer baru saja rilis di Indonesia. Bagaimana kita bisa memaknai pesan sosial dan politik di balik film yang sangat diantisipasi tersebut?  PinterPolitik.com  "Might does not...

Zelensky Kena PHP NATO?

Keinginan Ukraina untuk masuk Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) mendapat “hambatan” besar. Meski mengatakan bahwa “masa depan” Ukraina ada di NATO, dan bahkan telah...

Eropa “Terlalu Baik” Terhadap Imigran?

Kasus penembakan yang dilakukan oleh oknum aparat kepolisian terhadap seorang remaja imigran telah memicu protes besar di Prancis. Akan tetapi, kemarahan para demonstran justru...

More Stories

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Koda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

“Sepelekan” Anies, PKS Pura-Pura Kuat?

Telah dua kali menyatakan enggan mengusung Anies Baswedan di Pilkada Jakarta 2024, PKS kiranya sedang mempraktikkan strategi politik tertentu agar daya tawarnya meningkat. Namun di sisi lain, strategi itu juga bisa saja menjadi bumerang. Mengapa demikian?