Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR) dibentuk oleh Partai Gerindra bersama Partai Kebangkitan Bangsa (PKB). Apakah ini dapat dimaknai sebagai kekhawatiran Prabowo Subianto terhadap Megawati?
Partai Gerindra dan Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) akhirnya sepakat menjalin kerja sama politik untuk menghadapi Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 mendatang dengan membentuk poros koalisi yang diberi nama Koalisi Kebangkitan Indonesia Raya (KKIR).
KKIR dibentuk untuk mengusung Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto bersama Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) menjadi pasangan untuk Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024.
Jazilul Fawaid, Wakil Ketua Umum DPP PKB, mengungkapkan koalisi dengan Gerindra dianggap lebih realistis untuk dijalani. Selain mempunyai bakal capres dan cawapres, koalisi PKB bersama Gerindra sudah memenuhi syarat mencalonkan presiden 20 persen.
Kursi DPR RI KKIR sudah meraih 23,66 persen dari total kursi di parlemen. Dengan rincian kursi Gerindra 13,57 persen dan kursi PKB 10,09 persen. Koalisi ini telah penuhi syarat presidential threshold.
Dari sisi PKB, KKIR relatif lebih diterima oleh internal PKB, dibanding dengan wacana poros yang dibangun dengan PKS. Kasus terbaru adalah munculnya kelompok PKB Merah yang keras menolak koalisi dengan PKS.
Jika itu penjelasan dari sisi PKB, lantas bagaimana dari sisi Gerindra? Bukankah Gerindra diketahui sangat dekat dengan PDIP?
Fadhli Harahap, Direktur Eksekutif Sudut Demokrasi Riset dan Analisis (SUDRA), memberikan pengamatan yang menarik terkait sikap Prabowo mengajak Cak Imin untuk berkoalisi. Menurutnya KKIR menjadi bukti bahwa Gerinda tidak ingin menjadi yang kedua, karena PDIP hingga kini belum tegas memilih siapa yang akan diusung dalam Pemilu 2024.
Sangat wajar jika menilai ini adalah bentuk kecemasan Prabowo menghadapi sikap PDIP yang belum tegas mengambil sikap politik terkait capres. Apalagi, jika nantinya di menit akhir, PDIP malah tetap mempertahankan calon mereka sebagai capres, bukan cawapres.
Sikap antisipasi Prabowo ini merupakan hal yang lumrah dalam pendekatan psikologi politik. Perilaku aktor politik cenderung memperkirakan sesuatu yang terburuk akan terjadi. Kondisi ini disebut dengan catastrophic thinking.
Ron Breazeale, Direktur Eksekutif Psychological and Educational Services, mengatakan bahwa catastrophic thinking membuat seseorang memikirkan skenario terburuk secara tidak rasional.
Jika benar demikian, maka dapat dikatakan Prabowo sebenarnya tidak yakin dengan penjajakan koalisi dengan PDIP. Apalagi kan ada kasus Perjanjian Batu Tulis yang tidak ditepati oleh partai banteng.
Mungkin dalam benak Prabowo, daripada menunggu jawaban yang belum pasti dari PDIP, lebih baik membangun hubungan dengan PKB yang lebih membuka tangannya. (I76)