HomeCelotehPedang Rocky Untuk Bobby Nasution

Pedang Rocky Untuk Bobby Nasution

“Kalau dia nepotisme di pusat oke, diselesaikan di pusat. Tapi nepotisme pusat kemudian beranak-pinak sampai ke daerah. Medan adalah pertaruhan apakah kita ingin hidup dengan nepotisme atau dengan demokrasi”. – Rocky Gerung


PinterPolitik.com

Pilkada 2020 emang jadi salah satu Pilkada paling menarik untuk dilihat. Bukan saja karena pelaksanaannya yang dilakukan saat pandemi Covid-19 sedang marak-maraknya, tetapi juga karena calon-calonnya yang menarik untuk disorot.

Salah satu di antaranya adalah Pilkada di Kota Medan yang salah satu kandidatnya adalah menantu dari Presiden Jokowi, Bobby Nasution.

Pilkada Medan ini emang jadi peruntungan tersendiri buat Bobby karena nggak tanggung-tanggung, calon yang dihadapinya adalah Wakil Wali Kota Medan, yang kini menjabat sebagai Plt Wali Kota Medan, Akhyar Nasution. Doi jadi Plt Wali Kota karena Wali Kota Medan sebelumnya, Dzulmi Eldin terjerat KPK.

Nah, berhitung soal peluang Bobby, banyak pihak yang menyebutkan bahwa ia sebetulnya tidak cukup kuat untuk mengalahkan Akhyar yang nota bene sudah malang melintang di pemerintahan Kota Medan. Bobby dianggap hanya “mengandalkan” statusnya sebagai menantu Presiden Jokowi.

Makanya, nggak heran jika banyak tokoh nasional kemudian turun gunung untuk membantu pemenangannya di ibu kota Sumatra Utara ini. Mulai dari Sandiaga Uno, Fahri Hamzah, Adian Napitupulu, hingga Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo. Wih, berasa kan seriusnya kontestasi elektoral ini.

Hmm, tapi gara-gara keterlibatan tokoh-tokoh tersebut dan status Bobby sebagai menantu Jokowi, pengamat politik yang kerap keras mengkritik pemerintah, Rocky Gerung, melemparkan bahasa yang cukup keras ke Bobby.

Menurut Rocky, Pilkada Medan adalah contoh beranak-pinaknya nepotisme dari pusat ke daerah. Wih, berasa ditikam pakai pedang nih si Bobby. Soalnya, nepotisme kan sesuatu yang buruk.

Dalam sejarah, nepotisme itu berasal dari bahasa Italia “nepotismo” yang berakar dari kata bahasa Latin “nepos” yang artinya keponakan. Ceritanya, pada abad ke-17 para Paus dan Uskup di Gereja Katolik Roma melakukan praktik memberikan jabatan pada keponakan mereka dalam struktural Gereja.

Seiring perkembangan zaman, istilah ini kemudian menjadi lazim digunakan dalam bidang-bidang yang lain, termasuk dalam politik.

Hmm, tapi kritikan Bung Rocky agaknya bisa jadi bumerang loh. Soalnya nepotisme itu juga kadang-kadang sifatnya natural. Contohnya dalam perusahaan, ketika sang pemimpin perusahaan sudah tua dan ingin pensiun, maka pasti ia akan mengupayakan agar anak-anaknya lah yang mengambil alih perusahaan tersebut. Well, sekalipun tidak semua bidang atau sisi kehidupan harus menggunakan konteks pilihan seperti dalam contoh perusahaan tersebut.

Jadi, wajar-wajar saja sih kalau nepotisme ini juga terjadi di Medan. Mungkin yang bikin masyarakat harus kritis adalah dalam konteks rekam jejaknya saja. Kalau seorang keponakan atau anak atau menantu pejabat itu punya track record yang membuktikan dia layak jadi pemimpin, maka why not.

Tapi, kalau hanya sekedar aji mumpung, hmmm no comment deh. Ngeri-ngeri sedap soalnya. Upppss. (S13)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_imgspot_imgspot_img

#Trending Article

More Stories

Mungkinkah Prabowo Tanpa Oposisi?

Peluang tak adanya oposisi dalam pemerintahan Prabowo-Gibran sangat terbuka.Ini karena beberapa partai yang awalnya menjadi lawan Prabowo-Gibran, kini sudah mulai terang-terangan menyatakan siap menjadi bagian dari pemerintahan.

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?