“Untuk hasil lie detector atau polygraph yang sudah dilakukan PC (Putri Candrawathi) kemarin dan juga Saudari Susi, sama hasil polygraph setelah saya berkomunikasi dengan Puslabfor dan juga operator polygraph bahwa hasil polygraph atau lie detector itu adalah pro justitia. Itu juga konsumsinya penyidik,” – Irjen Dedi Prasetyo, Kadiv Humas Polri
Alkisah, sufi terkenal bernama Nasrudin Hoja memberikan nasehat kepada murid-muridnya. “Kebenaran adalah sesuatu yang berharga, bahkan bukan hanya secara spiritual, tetapi juga memiliki harga material” ungkapnya.
Mendengar ucapan sang guru, seorang murid bertanya, “Tapi mengapa kita harus membayar untuk sebuah kebenaran? Bahkan terkadang kebenaran itu mahal?”
“Kamu mau tahu kenapa?” sahut Nasrudin, “Karena harga sesuatu itu dipengaruhi juga oleh kelangkaannya. Makin langka sesuatu itu, makin mahal pula ia.”
Hmm, mungkin obrolan antara Nasarudin dan muridnya bisa jadi acuan untuk merefleksikan situasi yang hangat akhir-akhir ini, khususnya terkait persoalan kebenaran yang sudah mahal karena kelangkaannya.
Sebagian dari kita tentu sepakat, kalau isu yang dekat dengan persoalan kebenaran erat kaitanya dalam kasus pembunuhan Brigadir Yosua (Brigadir J).
Saat ini, tiga tersangka kasus pembunuhan Brigadir J, yaitu Bharada Eliezer, Bripka Ricky, dan Kuat Ma’ruf telah menjalani uji poligraf atau pemeriksaan kebohongan dengan menggunakan lie detector.
Hasil dari uji kebohongan itu menyatakan ketiganya memberikan kesaksian dengan jujur.
Nah, persoalan timbul ketika giliran tersangka Putri Candrawathi dan saksi bernama Susi yang menjalani pemeriksaan menggunakan alat pendeteksi kebohongan.
Berbeda dengan tersangka sebelumnya, polisi tidak membuka hasil uji poligraf Putri. Secara normatif, Polisi beralasan bahwa hasil pemeriksaan hanya dapat dikonsumsi penyidik mengingat hasilnya merupakan ranah pro justitia atau adil secara hukum.
Terlepas dari jawaban normatif Polisi, pernyataan psikolog forensik Reza Indragiri dapat menjadi twist untuk menjawab kenapa hasil Putri dirahasiakan.
Reza mengkritik klaim bahwa kebenaran akan ditemukan melalui pemeriksaan lie detector. Sebab, kredibilitas poligraf telah banyak dipertanyakan sejak tahun 1921.
Memang sejak lama cara kerja lie detector dianggap bagian dari pseudoscience. Metode ini subjektif, terlebih ketika orang yang dites sedang dalam keadaan dan tekanan yang berbeda, sehingga data fisiologisnya mudah berubah.
Dalam arti yang lain, ingin menjelaskan bahwa perubahan fisiologis tubuh dalam derajat tertentu tidak dapat diartikan sebagai indikasi kebohongan.
Terdapat sejumlah kasus yang membenarkan argumentasi bahwa hasil tes poligraf tidak bisa diandalkan.
Sebagai contoh, tahun 1994 ketika FBI menangkap Aldrich Ames yang merupakan seorang pegawai CIA selama 31 tahun. Ia rupanya mata-mata Rusia yang menyamar. Tidak diduga rupanya ia dua kali lolos tes lie detector oleh CIA.
Menurut Profesor Psikologi di Texas Woman’s University Christian L. Hart, kasus itu merupakan bukti bahwa masih ada peluang kegagalan sebesar 13 persen dari lie detector.
Hmm, Jika meminjam keraguan Reza di atas tentang hasil lie detector yang kurang akurat, apakah mungkin itu persoalan sebenarnya?
Alhasil, jadi liar prasangka publik karena polisi masih saja merahasiakan sebagian demi sebagian hasil penyelidikan kasus pembunuhan Brigadir J.
Hasil tersangka lain disampaikan, tapi kok Putri dirahasiakan? Lagi-lagi terkesan diistimewakan. Kalau memang enggak mempan pakai lie detector, mungkin perlu pakai cara lama aja, yakni sumpah pocong. Uppsss. Hehehe. (I76)