HomeNalar PolitikGaji ke-13, Politik Kontrol Jokowi?

Gaji ke-13, Politik Kontrol Jokowi?

Riang hati gembira tentu tengah dirasakan PNS setelah gaji ke-13 diumumkan akan diberikan di bulan Agustus 2020. Akan tetapi, benarkah pemberian gaji tersebut hanya untuk mendorong peningkatan daya beli? Atau justru terdapat intrik politik di baliknya?


PinterPolitik.com

Siapa yang tidak senang mendapatkan hadiah? Dengan mendapatkan hadiah, ini dapat memicu produksi hormon dopamine yang dapat membuat seseorang merasa bahagia. Sistem reward semacam ini kemudian jamak diterapkan di berbagai tempat, khususnya di lingkungan kerja. Bagi mereka yang bekerja dengan keras, maka reward atau hadiah siap menanti.

Mekanisme yang sama juga terjadi di pegawai negeri sipil (PNS). Untuk mendongkrak semangat kerja, berbagai reward ataupun insentif banyak di berikan. Gaji ke-13 misalnya. Bahagianya, di bulan Agustus mendatang, insentif ini akan dicairkan pemerintah kepada 4.100.894 PNS dengan jabatan eselon III ke bawah. Dengan anggaran sebesar Rp 28,5 triliun, gaji ke-13 diharapkan dapat meningkatkan daya beli masyarakat di tengah himpitan ekonomi akibat pandemi virus Corona (Covid-19).

Sebagaimana diketahui, pandemi Covid-19 telah menjelma menjadi bencana ekonomi yang begitu menyesakkan bagi aktivitas ekonomi. Terlebih lagi, dengan meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK), ini tentu berimbas pada menurunnya daya beli masyarakat karena uang yang beredar tidak sebanyak sebelumnya. Atas hal ini, menjadi sangat masuk akal kemudian pemerintah mencairkan gaji ke-13 agar 4,1 juta PNS yang mendapatkan insentif tersebut dapat memutar roda perekonomian.

Senada, peneliti dari Center for Strategic and International Studies (CSIS), Fajar B. Hirawan juga menegaskan bahwa pemberian gaji ke-13 dapat membantu menjaga stabilitas daya beli dan pertumbuhan konsumsi rumah tangga.

Akan tetapi, apabila kita melihatnya dari perspektif politik, tampaknya terdapat intrik politik tersendiri di balik kebijakan diberikannya gaji ke-13. Lantas, intrik seperti apa yang dimaksud?

Kebijakan Politis?

Mungkin tidak banyak yang mengetahui apabila kebijakan gaji ke-13 pertama kali diberikan di era kepemimpinan Presiden Megawati Soekarnoputri. Tentu saja, atas fakta tersebut, kita dapat mengatakan bahwa putri bapak proklamator ini begitu memikirkan kehidupan PNS.

Akan tetapi, sebuah fakta menarik tampaknya akan memberikan kita sudut pandang lain. Pasalnya, pada saat itu gaji ke-13 diberikan di bulan Juni, yang mana ini berdekatan dengan waktu pelaksanaan Pilpres 2004 di bulan Juli.

Sebagaimana diketahui, kala itu Megawati tengah bertarung di Pilpres 2004 melawan Amien Rais, Wiranto, dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Tidak heran kemudian, Siswono Yudo Husodo yang menjadi pasangan Amien Rais menyebut kebijakan ini dikeluarkan untuk menarik simpati publik karena akan tercipta kesan bahwa Ketua Umum PDIP tersebut memperhatikan nasib PNS dan rakyat kecil.

Baca juga :  Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Suka atau tidak, melihat rasionalisasinya, diberikannya gaji ke-13 sepertinya memang diperuntukkan sebagai alat politik kala itu. Akan tetapi, rencana untuk mendulang simpati tampaknya tidak berhasil karena Megawati gagal menempatkan dirinya sebagai pemenang Pilpres 2004.

Terkait simpulan kebijakan gaji ke-13 bernuansa politik, tentu terdapat keberatan atas hal ini. Pasalnya, meskipun kebijakan ini pada awalnya merupakan strategi politik, tentunya itu tidak menjadi afirmasi bahwa pemerintahan selanjutnya memberikan gaji ke-13 dengan alasan serupa.

Keberatan ini harus diakui benar adanya. Akan tetapi, kendatipun kebijakan ini tidak diniatkan sebagai strategi politik, nyatanya, pemberian gaji ke-13 memang dapat memberikan keuntungan politik tertentu. Lantas, keuntungan politik seperti apa yang dimaksud?                                                                                               

Mekanisme Kontrol?

Pada titik ini, mungkin masih abstrak untuk dipahami keuntungan politik apa yang didapatkan dari pemberian gaji ke-13. Mungkin banyak yang mengatakan itu untuk mendulang simpati. Jawaban itu tidak salah, tapi terdapat keuntungan yang lebih dalam lagi yang dapat dimiliki.

Sebelumnya, kita perlu menengok tulisan Steven D. Levitt dan Stephen J. Dubner dalam buku mereka yang berjudul Freakonomics: A Rogue Economist Explores the Hidden Side of Everything. Pada bab yang berjudul What Do Schoolteachers and Sumo Wrestlers Have in Common?, Levitt dan Dubner menceritakan kisah menarik yang terjadi di suatu pusat penitipan anak di Haifa,Israel.

Di tempat tersebut terdapat kebijakan agar anak yang dititipkan harus dijemput paling lambat pada pukul 4 sore. Akan tetapi, karena hampir semua orang tua kerap terlambat menjemput anaknya, kebijakan pemberian denda sebesar US$ 3 (Rp 43 ribu) jika terlambat menjembut lebih dari 10 menit kemudian diterapkan. Menariknya, alih-alih menciptakan efek jera, denda sebesar US$ 380 (Rp 5,5 juta) per orang tua justru didapatkan tempat penitipan tersebut di akhir bulan.

Fenomena menarik tersebut kemudian disimpulkan bahwa dibayarnya denda atau uang dapat menjadi kompensasi rasa tidak bersalah akibat terlambat menjemput anak. Memang fenomena serupa tidak terjadi di setiap kasus, tapi kasus ini menunjukkan bahwa orang tua lebih memilih membayar denda daripada harus datang tepat waktu untuk menjemput anaknya.

Penjelasan lebih lanjut terkait kapabilitas uang sebagai kompensasi emosi dapat kita temukan dalam penjabaran sosiolog Jerman, Georg Simmel dalam bukunya yang berjudul The Philosophy of Money.  Tesis Simmel dalam buku tersebut adalah money equivalent of personal values atau uang ekuivalen dengan nilai-nilai personal.

Baca juga :  Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Menurut Simmel, ini adalah imbas dari tidak terdapatnya suatu nilai intrinsik yang tetap atas objek. Artinya, nilai dari suatu objek menjadi begitu relatif, dan bergantung atas keinginan atau taksiran dari masing-masing individu.

Andrzej Karalus dalam tulisannya Georg Simmel’s The Philosophy of Money and the Modernization Paradigm, mengkontekstualisasi pemikiran Simmel ini dalam konteks pemikiran modern dengan menyebutkan bahwa nilai yang begitu abstrak dan relatif tersebut dapat dinyatakan atau diwakilkan dengan mudah dengan harga atau uang. Sedikit tidaknya, ini mungkin alasan mengapa adagium “setiap orang ada harganya” lumrah kita dengar.

Getirnya, jika mengacu pada pandangan Marxisme, uang yang dapat menjadi kompensasi nilai atau emosi ini ternyata dapat menjadi mekanisme kontrol yang mengekang individu ataupun masyarakat. Ini kemudian yang menjadi salah satu alasan Karl Marx begitu membenci uang.

Menurut Marx, kapitalisme telah membuat mekanisme agar upah buruh selalu berada di titik tengah. Maksudnya, upah tersebut tidak akan terlalu besar sehingga membuat buruh menjadi kaya raya ataupun menjadi pemilik modal baru. Namun, tidak juga terlalu kecil sehingga keberlangsungan hidup buruh tetap terjaga.

Jika mengacu pada Marxisme abad 21 yang memberikan kategorisasi yang lebih luas terhadap buruh, PNS eselon III ke bawah yang tidak memiliki gaji besar seperti eselon I dan II tampaknya dapat kita sebut sebagai buruh dalam terminologi Marx. Dengan kata lain, pemberian gaji ke-13 yang kisarannya mungkin sebesar Rp 6,9 juta (Rp 28,5 triliun dibagi 4,1 juta) tampaknya hanya dapat menjadi penambah nafas sejenak.

Akan tetapi, kendati efeknya tidak lama, seperti yang disebutkan oleh Marx, insentif semacam ini sudah cukup untuk menciptakan rasa syukur di tengah masyarakat sehingga tensi politik ataupun kemarahan dapat menurun.

Singkat kata, kendatipun tidak diniatkan sebagai strategi politik, diberikannya gaji ke-13 memang memiliki dampak praktis, berupa menurunnya tensi amarah PNS penerima di tengah kesulitan mereka karena belum berlalunya pandemi Covid-19.

Selain itu, seperti yang disinggung oleh Siswono Yudo Husodo pada kasus Megawati, pemberian gaji ke-13 di tengah pandemi tentunya dapat menciptakan kesan bahwa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah memberikan perhatian khusus kepada PNS dan rakyat kecil.

Di luar itu semua, tentunya kita begitu mengapresiasi kebijakan Presiden Jokowi ini. Di luar eksplanasi politik atasnya, pemberian gaji ke-13 tentunya merupakan angin segar bagi PNS penerima. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (R53)

► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Alasan Ketergantungan Minyak Bumi Sulit Dihilangkan

Bahan bakar minyak (BBM) terus dikritisi keberadaannya karena ciptakan berbagai masalah, seperti polusi udara. Tapi, apakah mungkin dunia melepaskan ketergantungannya pada BBM?

Ada Kongkalikong Antara Iran dan Israel?

Kendati diisukan akan jadi perang besar, konflik antara Iran dan Israel justru semakin mereda. Mengapa hal ini bisa terjadi? 

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

More Stories

Ganjar Kena Karma Kritik Jokowi?

Dalam survei terbaru Indonesia Political Opinion, elektabilitas Ganjar-Mahfud justru menempati posisi ketiga. Apakah itu karma Ganjar karena mengkritik Jokowi? PinterPolitik.com Pada awalnya Ganjar Pranowo digadang-gadang sebagai...

Anies-Muhaimin Terjebak Ilusi Kampanye?

Di hampir semua rilis survei, duet Anies Baswedan dan Muhaimin Iskandar selalu menempati posisi ketiga. Menanggapi survei yang ada, Anies dan Muhaimin merespons optimis...

Kenapa Jokowi Belum Copot Budi Gunawan?

Hubungan dekat Budi Gunawan (BG) dengan Megawati Soekarnoputri disinyalir menjadi alasan kuatnya isu pencopotan BG sebagai Kepala BIN. Lantas, kenapa sampai sekarang Presiden Jokowi...