HomeNalar PolitikPilpres 2019, Mesin Parpol Macet?

Pilpres 2019, Mesin Parpol Macet?

Banyaknya kader yang tidak sejalan dengan keputusan parpol tempatnya bernaung, berisiko menciptakan mesin politik parpol yang macet di akar rumput.


PinterPolitik.com

“Pilihan, bukan kesempatan, yang menentukan nasib seseorang.” ~ Aristoteles

[dropcap]D[/dropcap]ampak munculnya nama Ma’ruf Amin sebagai calon wakil presiden, sepertinya tidak saja berimbas pada elektoral Jokowi tapi juga loyalitas partai politik koalisinya. Belakangan terbukti kalau koalisi parpol yang duduk di pemerintahan ini, sebenarnya tidak sesolid yang digembar-gemborkan sebelumnya.

Fakta ini khususnya diungkap oleh Fadel Muhammad, salah satu anggota dewan penasehat Partai Golkar. Beberapa hari lalu, secara mengejutkan Fadel mengungkapkan kekecewaannya pada media mengenai tidak terpilihnya ketua umum Golkar, Airlangga Hartarto. Padahal, upaya sosialisasi Golkar telah begitu gencar menyosialisasikan Jokowi.

Rasa kecewa ini, menurutnya, juga dirasakan oleh kader Golkar lainnya sehingga menciptakan situasi rawan perpecahan. Tak ayal, pernyataan Fadel ini pun menimbulkan polemik di kubu Jokowi, termasuk dari Golkar sendiri. Bahkan Fadel pun sempat diterpa isu kemungkinan pemecatan dari partai yang membesarkannya tersebut.

Walau Fadel meralat kalau Golkar tidak terancam perpecahan, namun bukan rahasia lagi kalau di internal Partai Beringin memang terdapat faksi-faksi yang saling tarik menarik berdasarkan kepentingannya masing-masing. Akibatnya, bisa jadi di Pilpres tahun depan partai ini tidak akan menggunakan mesin politiknya secara optimal bagi Jokowi.

Kekesalan karena kadernya tidak terpilih sebagai cawapres juga sempat diungkap oleh Partai Demokrat, ketika secara tiba-tiba nama Sandiaga Uno terpilih mendampingi Prabowo Subianto. Kekecewaan ini sempat diungkap oleh Wakil Sekertaris Jenderal Demokrat Andi Arief yang juga sempat menimbulkan kontroversi.

Sebagai kader partai, baik Fadel maupun Andi, pada akhirnya mau tidak mau harus menerima keputusan koalisi. Namun dua tokoh ini, bisa jadi akan mengalihkan pilihan pribadinya pada pasangan lawan. Kondisi ini, berdasarkan survei Media Survei Nasional (Median), juga terlihat dari kecenderungan konstituen beberapa parpol lainnya.

Bila Direktur Eksekutif Median Rico Marbun mengatakan kalau konstituen PPP dan Hanura cenderung memilih Prabowo-Sandiaga, maka di kubu oposisi pun ada kecenderungan kader Demokrat dan PAN lebih memilih mendukung Jokowi-Ma’ruf Amin. Setidaknya, kondisi ini diakui sendiri oleh Soekarwo dan Soetrisno Bachir.

Adanya perbedaan pilihan antara kader dengan elit parpol ini, tentu bukan hal yang sepele. Bagaimanapun, ketidaksesuaian aspirasi ini akan berdampak pada mobilisasi mesin politik partai. Padahal mesin politik partai, terutama yang bersifat informal di akar rumput, merupakan salah satu kunci kemenangan capres yang diusung.

Kader vs Elit Parpol

“Karakter seseorang mudah dinilai dari bagaimana ia memperlakukan orang yang tidak memberikan keuntungan apapun padanya.” ~ Goethe

Baca juga :  Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, pelaksanaan pemilu langsung yang diterapkan sejak 2004 ini, memang memberikan hak penuh bagi setiap warga negara untuk memilih sendiri pemimpin yang dipercayainya. Meski begitu, setiap parpol tentu meminta para kadernya untuk setia dan mendukung calon yang dipilih oleh elitnya.

Sayangnya, keputusan elit parpol ini sendiri sebagian besar hanya karena hitung-hitungan untuk mendapatkan kekuasaan (office seeking). Akibatnya, parpol pun menjadi kehilangan fungsinya sebagai jembatan aspirasi rakyat. Terlebih, menurut Anthony Downs, para elit parpol lebih banyak memihak berdasarkan alasan rasional semata.

Padahal bila berdasarkan pada perilaku pemilih (voting behavior), Josep Kristiadi dari CSIS melihat, perilaku pemilih di Indonesia pada dasarnya dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu faktor sosiologis, psikologis, dan ekonomi (rasional). Ketiga faktor inilah yang kerap membuat kader tak sejalan dengan keputusan parpol.

Begitu juga sistem koalisi yang digunakan lebih ditekankan pada unsur kemenangan di parlemen atau Minimal Winning Coalition, menurut William Riker, menimbulkan risiko berkurangnya loyalitas kader maupun konstituen terhadap kebijakan yang diambil oleh elit partai, sehingga menyebabkan besarnya kemungkinan untuk mengalami kekalahan.

Berkurangnya loyalitas kader dan konstituen ini, sepertinya juga sudah mulai terjadi di kedua kubu. Dalam kasus Fadel sendiri, meski beralasan kecewa karena ketua umumnya tidak dipilih sebagai cawapres, namun alasan utamanya mendukung Sandiaga sebenarnya berdasarkan faktor sosiologis, yaitu karena sama-sama berasal dari Gorontalo.

Berbeda dengan kasus yang terjadi pada Soekarwo, di mana Gubernur Jawa Timur yang sebentar lagi akan digantikan Khofifah Indra Parawansa ini, cenderung ke Jokowi-Ma’ruf Amin akibat kedekatannya dengan Nahdlatul Ulama (NU). Pilihan ini, berdasarkan tiga faktor perilaku pemilih, termasuk dalam faktor psikologis.

Mesin Parpol Paska Klientelisme

“Jangan hargai apapun keuntungan yang membuat Anda melanggar janji atau kehilangan harga diri.” ~ Marcus Aurelius

Dengan dukungan sembilan parpol atau lebih dari 60 persen kursi parlemen, di atas kertas, Jokowi memang terlihat berada di atas angin. Namun begitu, hasil survei LSI Denny JA memperlihatkan, kalau keputusan Jokowi untuk bergandengan dengan Ma’ruf Amin membuat elektabilitasnya turun satu persen dari sebelumnya.

Walau masih berada di atas pasangan Prabowo dan Sandiaga, namun fakta ini membuktikan apa yang dikatakan oleh Downs, yaitu koalisi gendut tidak menjadi ukuran untuk mendapatkan kemenangan. Apalagi bila mesin politik yang dimiliki oleh parpol koalisinya tidak bekerja se-efektif dan seproduktif yang diharapkan.

Baca juga :  Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Macetnya mesin politik di akar rumput, pernah terjadi di Pilkada DKI Jakarta lalu. Saat itu, Basuki Tjahaja Purnama-Djarot Syaiful Hidayat kalah dari pasangan Anies Baswedan-Sandiaga. Selain tekanan dari massa Islam, tidak kompaknya dukungan parpol dengan keinginan kader PDIP dan PPP juga, sebenarnya juga merupakan salah satu penyebabnya.

Walau mesin politik di tingkat formal yaitu di struktur partai berjalan dengan baik, namun tanpa dukungan mesin politik informal yang terdiri dari jaringan partai di daerah dan kelompok atau organisasi massa pendukungnya, hanya akan membuat sosialisasi dan kampanye di wilayah-wilayah tidak lancar alias macet.

Terkait pernyataan Fadel sebelumnya, bisa jadi dukungannya pada Sandiaga juga akan melumpuhkan mesin partai Golkar di Gorontalo pada khususnya, dan Sulawesi Utara pada umumnya. Apalagi Jusuf Kalla sendiri tidak memberikan dukungan yang tegas, sehingga bisa saja di Pilpres nanti, Jokowi akan kehilangan suara di Sulut.

Kondisi yang sama juga terjadi di kubu Prabowo, sebab Khofifah sebagai gubernur terpilih Jatim juga telah menyatakan dukungannya pada Jokowi-Ma’ruf. Padahal, di Pilgub lalu partai pertama yang memberikan dukungan padanya adalah Partai Demokrat. Seperti juga Soekarwo, Khofifah pun terikat pada faktor psikologisnya di NU.

Lepasnya keterikatan loyalitas kader dari partai ini, merupakan bentuk paska klientelisme. Menurut definisi Jonathan Hopkins, klientelisme merupakan suatu bentuk hubungan loyalisme patronisme atau keterikatan antara atasan dengan bawahan. Ikatan loyalitas ini, umumnya karena ada faktor timbal balik yang saling menguntungkan di antara keduanya.

Dalam hal ini, paska klientelisme dapat diartikan sebagai hilangnya loyalitas antara kader dengan para elit parpolnya akibat kader tak lagi merasa diuntungkan atau diakomodir aspirasinya oleh para pembuat keputusan, seperti misalnya Fadel yang enggan memilih Jokowi karena merasa kerja keras Golkar tak “menghasilkan apa-apa”.

Macetnya mesin parpol di akar rumput dan hilangnya loyalitas kader ini, sudah pasti akan sangat merugikan para capres yang akan bertarung tahun depan. Sekarang pertanyaannya, bisakah kedua pasangan yang akan berlaga tahun depan ini mampu meningkatkan citranya tanpa bantuan mesin politik akar rumput yang optimal? (R24)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Sangat Mungkin Jokowi & Anies Mendirikan Parpol?

Opsi mendirikan partai politik (parpol) menjadi relevan dan memiliki signifikansi tersendiri bagi karier politik Anies Baswedan dan Joko Widodo (Jokowi) pasca 2024. Akan tetapi, hal itu agaknya cukup mustahil untuk dilakukan saat berkaca pada kecenderungan situasi sosiopolitik saat ini.

Singapura ‘Ngeri-ngeri Sedap’ ke Prabowo?

Jokowi ajak Prabowo ketika bertemu PM Singapura Lee Hsien Loong dan deputinya, Lawrence Wong. Mungkinkah 'ngeri-ngeri sedap' ke Prabowo?

Anies Menuju Mendikbud Prabowo atau Gubernur Jakarta?

Pasca kalah di Pilpres 2024, banyak pertanyaan muncul terkait jabatan politik apa yang akan diduduki Anies Baswedan.

Anies Kalah Karena Tak Lawan Politik Identitas?

Pasangan Anies-Cak Imin harus mengakui keunggulan Prabowo-Gibran yang keluar sebagai pemenang Pilpres 2024. Di atas kertas, Anies yang secara track record dan citra publik begitu menjanjikan untuk jadi Presiden RI, nyatanya belum mampu meraih peruntungan di Pilpres kali ini. Pertanyaannya adalah mengapa demikian? Benarkah ini karena posisi Anies yang tak tegas melawan fabrikasi isu politik identitas yang kerap diarahkan padanya?

Benua Asia, Propaganda Terbesar Kolonialisme?

Benua Asia adalah benua terbesar dan terkaya di dunia. Namun, sebagai sebuah wilayah yang kerap dipandang homogen, Asia sebetulnya memiliki keberagaman yang begitu tinggi di antara kawasan-kawasannya sendiri. Mungkinkah lantas Benua Asia yang kita kenal bukanlah Benua Asia yang sesungguhnya?

Selama Masih Megawati, PDIP Pasti Oposisi?

Sinyal kuat bergabungnya Partai NasDem dan PKB, ditambah keinginan PKS untuk pula merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, membuat Megawati Soekarnoputri dan PDIP dinilai akan mengambil sikap teguh nan luhur sebagai penyeimbang pemerintah. Namun, pada praktiknya, itu akan berjalan setengah hati. Benarkah demikian?

Strategi Erick Thohir Menangkan Timnas?

Timnas U-23 lolos ke babak semifinal di Piala Asia U-23 2024. Mungkinkah ini semua berkat Ketum PSSI Erick Thohir? Mengapa ini juga bisa politis?

Iran Punya Kuda Troya di Bahrain? 

Iran sering dipandang sebagai negara yang memiliki banyak proksi di kawasan Timur Tengah. Mungkinkah Bahrain jadi salah satunya? 

More Stories

Informasi Bias, Pilpres Membosankan

Jelang kampanye, pernyataan-pernyataan yang dilontarkan oposisi cenderung kurang bervarisi. Benarkah oposisi kekurangan bahan serangan? PinterPolitik.com Jelang dimulainya masa kampanye Pemilihan Presiden 2019 yang akan dimulai tanggal...

Galang Avengers, Jokowi Lawan Thanos

Di pertemuan World Economic Forum, Jokowi mengibaratkan krisis global layaknya serangan Thanos di film Avengers: Infinity Wars. Mampukah ASEAN menjadi Avengers? PinterPolitik.com Pidato Presiden Joko Widodo...

Jokowi Rebut Millenial Influencer

Besarnya jumlah pemilih millenial di Pilpres 2019, diantisipasi Jokowi tak hanya melalui citra pemimpin muda, tapi juga pendekatan ke tokoh-tokoh muda berpengaruh. PinterPolitik.com Lawatan Presiden Joko...