HomeSejarahKerajaan Sriwijaya: Perdebatan Eksistensi dan Hub Perdagangan Asia Tenggara

Kerajaan Sriwijaya: Perdebatan Eksistensi dan Hub Perdagangan Asia Tenggara

Eksistensi Kerajaan atau Imperium Sriwijaya mungkin masih menjadi perdebatan hangat para pakar. Terlepas dari itu, sedikit berandai-andai, apa jadinya jika kerajaan yang menjadi salah satu hub perdagangan Asia Tenggara ini masih eksis sampai sekarang?


PinterPolitik.com

Film Gending Sriwijaya mungkin menjadi salah satu puzzle kecil dari keseluruhan misteri Kedatuan Sriwijaya yang oleh banyak orang disebut sebagai Kerajaan Sriwijaya atau bahkan ada yang menyebutnya sebagai Imperium Sriwijaya. Pasalnya, eksistensi “negara” yang satu ini masih terus diperdebatkan oleh para ahli sejarah.

Faktanya, baru di abad ke-20 informasi terkait Sriwijaya ini dipergunjingkan dengan lebih masif dan digali informasinya secara lebih mandalam. Kita tahu Dapunta Hyang Sri Jayanasa yang hidup di abad ke-7 merupakan pemimpin paling awal negara ini, dan kita juga tahu ada Balaputradewa sebagai salah satu raja paling terkenal hidup di abad ke-9. Namun, puzzle genealogi penguasa Sriwijaya masih menyimpan banyak misteri besar di antara waktu-waktu tersebut.

Yang jelas, Sriwijaya berakhir di abad ke-12. Banyak ahli juga percaya bahwa di masa jayanya, Sriwijaya sebagai kedatuan atau kerajaan atau apapun lah sebutannya ini menjadi salah satu hub perdagangan di Asia Tenggara, termasuk juga dalam konteks penyebaran agama Buddha. Tentu pertanyaannya adalah apa yang terjadi jika entitas kekuasaan ini tidak berakhir dan bertahan sampai saat ini?

Adakah Kerajaan Sriwijaya?

Seperti disinggung sebelumnya, perdebatan terkait status Sriwijaya memang sedang panas-panasnya beberapa waktu lalu, salah satunya ketika budayawan Betawi, Ridwan Saidi, menyebutnya sebagai kerajaan yang fiktif.

Mengutip dari Historia, awalnya Sriwijaya baru berupa negeri dengan sebutan dalam bahasa Tionghoa, Shili Foshi. Kebetulan orang Tiongkok-lah yang pertama mencatatnya. Adalah I-Tsing – seorang biksu yang sempat mengunjungi Shili Foshi dua kali pada sekita abad ke-7 – yang menuliskan pengalamannya menetap di negeri itu selama sepuluh tahun.

Baca juga :  Digerogoti Kasus, Jokowi Seperti Pompey?

Dalam catatan I-Tsing, nama Shili Foshi digunakan untuk menyebut negara, ibu kota, dan sungai yang muaranya digunakan sebagai pelabuhan. Slamet Muljana dalam Sriwijaya menjelaskan bukan hanya I-Tsing yang menyebutnya begitu. Pada masa Dinasti T’ang, itulah sebutan bagi Sriwijaya dalam catatan resmi kerajaannya.

Bahkan sampai pada tahun 1913, Sriwijaya juga belum dikenali sebagai negeri. Namanya malah sempat hanya dianggap sebagai nama seorang raja seperti yang disebut oleh Hendrik Kern, orientalis dan ahli bahasa Sanskerta dari Belanda.

Barulah di tahun 1918, berkat jasa George Cœdes, masyarakat Indonesia bisa mengenal Sriwijaya sebagai sebuah negeri di Sumatra. Arkeolog asal Prancis itu didaulat sebagai penemu negeri Sriwijaya lewat tulisannya Le Royaume de Çrīvijaya.

Setidaknya ia menggunakan terjemahan oleh Kern di mana nama Sriwijaya muncul, lalu ditambah karya I-Tsing di mana nama Shili Foshi dicatat, dan data epigrafi termasuk beberapa prasasti bangsa Cola, India, sebagai beberapa indikator untuk menetapkan Sriwijaya adalah nama negeri di Sumatra Selatan.

Prasasti-prasasti Sriwijaya kemudian menawarkan terminologi yang lebih spesifik untuk menyebut apa itu Sriwijaya. Dalam prasasti-prasasti awal Sriwijaya, khususnya prasasti Kota Kapur dan Telaga Batu yang ditemukan di Palembang, Sriwijaya disebut sebagai kadatuan.

Prasasti Telaga Batu yang baru dipublikasikan peneliti dari Belanda, J.G. de Casparis, pada 1956 bahkan mengungkapkan jabatan-jabatan dan pangkat yang mungkin sekali ada di dalam struktur pemerintahan dan kemasyarakatan Sriwijaya, mulai dari putra raja (rajaputra), menteri (kumaramatya), bupati (bhupati), panglima (senapati), dan lain sebagainya.

Kendati disebutkan ada putra raja, pelayan raja, dan budak raja di prasasti itu, sejumlah ahli menyimpulkan Sriwijaya bukanlah berbentuk kerajaan. Sistemnya berupa kadatuan. Ini paling tidak berlaku pada akhir abad ke-7 hingga ke-8.

Hermann Kulke, ahli sejarah Asia Tenggara dan India berkebangsaan Jerman, mempublikasikan tulisannya Kadatuan Srivijaya, Imperium atau Kraton Sriwijaya? pada 1993. Lewat tulisan yang kini diterbitkan ulang dalam Kedatuan Sriwijaya, dia berpendapat Sriwijaya lebih merupakan sebuah kadatuan yang membawahi wilayah lain yang mengakui kedaulatannya.

Baca juga :  Digerogoti Kasus, Jokowi Seperti Pompey?

Lebih Besar dari Singapura?

Umumnya, Palembang memang lokasi yang banyak disepakati sebagai awal pusat pemerintahan Sriwijaya. Itu berdasarkan prasasti-prasasti Sriwijaya yang ditemukan di Palembang. Sampai kini sudah 101 tahun sejak Cœdes menemukan keberadaan Sriwijaya sebagai sebuah negeri. Namun, misteri terkait Kedatuan ini masih menyimpan banyak tanda tanya.

Secara keseluruhan, para sejarawan menduga, kedatuan ini berfokus pada sektor perdagangan laut di daerah Selat Malaka dan Selat Sunda. Paul Michel Munoz dalam Early Kingdoms of the Indonesian Archipelago and the Malay Peninsula mengungkapkan, kekuasaan Sriwijaya meliputi Kamboja, Thailand Selatan, Semenanjung Malaya, Sumatera, Jawa Barat, dan Jawa Tengah.

Armada maritimnya terkenal kuat dan wilayah kekuasaannya luas, namun perlahan runtuh karena beberapa sebab, utamanya karena kehilangan wilayah-wilayah kekuasaannya, juga akibat peperangan dengan negara-negara tetangga, misalnya dengan Kerajaan Medang dari Jawa dan Kerajaan Chola dari India Selatan.

Artinya, jika kita sampai ke perandai-andaian saktinya, kalau Sriwijaya masih bertahan katakanlah sampai beberapa abad kemudian, maka bisa saja pusat perdagangan atau hub pelayaran Asia akan ada di Indonesia. Bayangkan betapa besarnya Palembang menjadi pusat perdagangan, bisa saja akan menyaingi atau bahkan jauh lebih ramai dibandingkan Singapura.

Memang sulit untuk melihat kemungkinan Sriwijaya bisa sampai bertahan hingga saat ini, apalagi jika berkaca pada keberadaan kerajaan-kerajaan lain di Indonesia, termasuk Majapahit. Salah satu warisan terbesar yang mungkin akan jadi mimpi besarnya adalah jika Indonesia punya hub perdagangan laut yang besar tempat semua kapal dari seluruh dunia berlabuh dan berdagang. 


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

Ebook Promo Web Banner
spot_imgspot_img

#Trending Article

Mungkinkah Jokowi-Megawati CLBK?

PDIP dirumorkan akan segera bergabung dengan koalisi Prabowo. Mungkinkah ini bentuk CLBK antara Jokowi dan Megawati Soekarnoputri?

KADIN dan Kemenangan Tertunda Anin?

Terpilihnya Anindya Bakrie sebagai Ketua Umum Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia menggantikan Arsjad Rasjid meninggalkan ruang tafsir atas adanya intervensi serta deal politik tertentu. Namun, benarkah demikian? Dan mengapa intrik ini bisa terjadi?

Ini Aktor di Balik “Fufufafa” Gibran?

Media sosial dibuat ramai oleh posting-an lama akun bernama Fufufafa. Sejumlah posts bahkan menjelekkan Prabowo Subianto dan keluarganya.

Digerogoti Kasus, Jokowi Seperti Pompey?

Mendekati akhir jabatannya, sejumlah masalah mulai menggerogoti Presiden Joko Widodo (Jokowi). Apakah ini artinya dukungan elite kepadanya mulai melemah?

Titip Salam dari Mega ke Prabowo: Menuju Koalisi?

Seiring dengan “audisi” menteri yang dilakukan oleh Prabowo Subianto untuk kementerian di pemerintahannya, muncul narasi bahwa komunikasi tengah terjalin antara ketum Gerindra itu dengan Megawati Soekarnoputri.

Menuju Dual Power Jokowi vs Prabowo

Relasi Jokowi dan Prabowo diprediksi akan menjadi warna utama politik dalam beberapa bulan ke depan, setidaknya di sisa masa jabatan periode ini.

Jokowi Dukung Pramono?

Impresi ketertinggalan narasi dan start Ridwan Kamil-Suswono meski didukung oleh koalisi raksasa KIM Plus menimbulkan tanya tersendiri. Salah satu yang menarik adalah interpretasi bahwa di balik tarik menarik kepentingan yang eksis, Pramono Anung boleh jadi berperan sebagai “Nokia”-nya Jokowi dan PDIP.

Trump atau Kamala, Siapa Teman Prabowo?

Antara Donald Trump dan Kamala Harris, siapa lebih untungkan Prabowo dalam menentukan arah kebijakan luar negeri Indonesia di masa depan?

More Stories

Unlike Jokowi, Prabowo Will Be His Own Man

More assertive foreign policy and democratic backsliding are most likely on the horizon as Prabowo Subianto becomes the next Indonesian president.

Fenomena Gunung Es “Fake Review”

Fenomena fake review kini banyak terjadi di jual-beli daring (online). Siapakah yang dirugikan? Konsumen, reviewer, atau pelaku usahakah yang terkena dampaknya? PinterPolitik.com Sejak berlangsungnya proliferasi internet...

Menavigasi Inklusivitas Politik Indonesia: Prabowo Subianto dan Perwujudan Consociational Democracy

Oleh: Damurrosysyi Mujahidain, S.Pd., M.Ikom. Perhelatan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 telah berlalu dan sebagian besar rakyat Indonesia telah berkontribusi dalam terpilihnya Prabowo Subianto sebagai presiden...