HomePolitikPolitik Kartel Bayangi Masa Depan Indonesia?

Politik Kartel Bayangi Masa Depan Indonesia?

Oleh Dyah Ayu Widyarini, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Indonesia

Indonesia telah mengarungi era Reformasi sejak kekuasaan Presiden Soeharto berakhir guna menopang prinsip-prinsip demokrasi. Namun, politik kartel sepertinya masih membayangi masa depan Indonesia.


PinterPolitik.com

Melihat kondisi negara Indonesia saat ini, seakan terkesan kekuasaan menjadi ajang elite politik mengukuhkan eksistensi. Melanggengkan kekuasaan terkesan menjadi kewajiban yang haram untuk ditinggalkan. Negara berasaskan demokrasi seakan menjadi sarana untuk melancarkan strategi dalam rangka melebarkan pengaruh atas kelompok-kelompok tertentu di bawah.

Hal ini dapat dilihat melalui fakta bahwa Indonesia terus dikuasai oleh golongan elite tertentu dari generasi ke generasi. Pemilu yang katanya bentuk dari demokrasi secara kasat mata nyatanya tidak pernah mempan mengubah komposisi golongan elite dalam parlemen.

Istilah “politik kartel” dikenalkan oleh Richard Katz dan Peter Mair pada 1995 pada edisi pertama jurnal Party Politics. Mereka beranggapan bahwa orientasi perjuangan partai dari catch-all party bergeser menjadi cartel party.

Tipologi catch-all party mengharuskan partai melakukan banyak perubahan kebijakan untuk merebut suara pemilih, sehingga partai akan berkompetensi secara bebas. Cartel party menekankan pada profesionalitas dari politisi yang berupaya untuk memenangkan partainya dengan segala cara.

Menurut Richard dan Peter, cartel party mempunyai cara pandang bahwa akses dan sumber daya dalam pemerintahan tidak boleh lepas dari genggaman. Selain itu, seakan cara pandang berada dalam lingkup kekuasaan negara adalah suatu keharusan.

Dengan berjalannya kondisi ini, tentu sistem check and balance menjadi terganggu. Hal ini disebabkan oleh cara pandang realisasi politik kartel adalah saling merangkul partai politik yang berbeda secara ideologi atau kepentingan untuk menghindari konflik dalam pengambilan keputusan di parlemen. Praktik ini yang kemudian merugikan negara demokrasi seperti Indonesia.

Kita dapat melihat proses politik kartel di Indonesia pada tahun 2000-2001, ketika seluruh partai politik – kecuali Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) – telah mencapai kesepakatan dan melakukan kolusi untuk menjatuhkan Presiden Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Pasca kejadian tersebut menjadi embrio perjalanan baru wajah politik Indonesia dan dapat dikatakan bahwa praktik politik kartel terus menguat dari masa ke masa.

Politik Kartel 2019

Hasil pemilu serentak 2019 menunjukkan kuatnya bayang-bayang politik kartel pada peta kekuatan kursi partai politik di parlemen. Sistem kompetisi yang berfungsi untuk meramaikan pesta demokrasi hanya dilakukan untuk meramaikan pesta demokrasi.

Namun, nyatanya negosiasi dan lobi di belakang layar adalah tindakan mutlak untuk melanggengkan eksistensi posisi. Permainan elite politik mulai terlihat pada upaya pembatasan jumlah Calon Presiden (Capres) dan Calon Wakil Presiden (Cawapres) dengan presidential threshold 20-25 persen oleh partai-partai pendukung Joko Widodo (Jokowi) jauh sebelum Pemilu dilaksanakan. Pembatasan tersebut tentu ditolak oleh Prabowo dan partai-partai pendukungnya yang menginginkan presidential threshold 0 persen sehingga semua partai politik dapat mencalonkan capres dan cawapresnya.

Pasca-Pemilu yang mengalahkan pasangan Prabowo-Sandi dengan perolehan suara 44.50 persen, ternyata tidak lantas membuat partai-partai pendukungnya menjadi partai oposisi. Proses kartel politik mulai muncul dengan adanya partai-partai politik yang mencoba mendekati dan meminta restu Presiden Jokowi sebagai pemenang Pemilu dengan suara 55.50 persen untuk bergabung menjadi koalisi pemerintah.

Ini terbukti dengan dilantiknya Prabowo yang merupakan rival dari Presiden Jokowi menjadi Menteri Pertahanan dan meninggalkan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) untuk menjadi partai oposisi sebatang kara.

Bergabungnya partai oposisi kepada pemerintah menjadi salah satu potret yang menunjukkan bahwa sedang terjadi pelemahan sistem demokrasi dalam negara demokratis. Perwakilan rakyat yang seharusnya menjadi “speaker” beralih fungsi menjadi “chairman” yang hanya mementingkan kepentingan kelompoknya untuk tetap berada dalam lingkaran pemerintah sebagai penopang keberlangsungan hidup organisasi dan partai.

Melalui adanya sikap tersebut, tentu fungsi check and balances kemudian ikut melemah karena minimnya oposisi terhadap pemerintah. Padahal, dalam negara demokrasi, kontrol terhadap pemerintah harus tetap berjalan, karena pada dasarnya rakyat adalah pemegang kedaulatan.

Amerika Serikat (AS) yang juga merupakan negara demokrasi nyatanya hanya memiliki dua partai besar, yakni Partai Republik dan partai Demokrat. Meski dalam faktanya terdapat banyak partai-partai kecil tumbuh, namun mereka harus tetap berkoalisi dengan partai besar untuk dapat ikut serta dalam kompetisi politik yang ada di sana.

Apabila Donald Trump dari Partai Republik yang memenangkan pertandingan politik, maka Partai Demokrat secara otomatis menjadi pihak yang ada di seberang dan menjadi kelompok penekan, sehingga terjadi keseimbangan antara pemerintah dan pihak oposisi. Berbeda halnya dengan Indonesia yang merupakan negara multi-partai, di mana partai-partai yang mengalami kekalahan dalam momentum kompetisi politik memiliki kesempatan untuk beralih menjadi anggota koalisi pemerintah.

Salah satu penyebab tidak stabilnya partai-partai di Indonesia tentu disebabkan oleh rancunya sistem presidensial dan sistem multi-partai yang mana dalam sistem presidensial yang merupakan sistem eksekutif tunggal memberikan jaminan pemerintahan stabil, ternyata tidak dapat dijalankan dengan mudah. Sistem tersebut hanya dapat dicapai dengan susunan kepartaian yang sederhana dan mendekati sistem dua partai.

Hal ini menunjukkan fakta bahwa sistem multi-partai seperti di Indonesia ternyata menimbulkan permasalahan yang mana kursi-kursi pada badan perwakilan terpecah dan tidak ada suara mayoritas yang mutlak sehingga setiap keputusan yang diambil adalah berdasarkan hasil negosiasi tentang siapa yang akan mendapatkan apa.

Berjalannya sistem yang sedemikian rupa, tentu membuat Presiden terlihat lemah dalam menjalankan pemerintahannya. Padahal, dalam sistem presidensial, presiden memiliki hak prerogatif untuk menentukan kursi-kursi menteri dan orang yang akan membantunya dalam menjalankan kepemimpinan pada periode pemerintahan. Namun, kenyataannya hal tersebut tidak murni berlaku, karena subjek sebagai seorang presiden tersandera oleh nama-nama yang dikirim oleh partai politik koalisi.

Permasalahan ketatanegaraan di Indonesia seperti ini disebabkan oleh sebuah fakta yang menunjukkan bahwa Presiden Jokowi tidak memiliki basis partai seperti presiden sebelumnya. Sebagai seorang presiden terpilih, Jokowi hanya sebagai sosok yang diusung oleh partai pengusung. Karena Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) sebagai partai utama pengusung Jokowi dikendalikan oleh orang lain, yaitu Megawati Soekarnoputri, keputusan-keputusan yang diambil oleh Jokowi tentu dipengaruhi dan harus disesuaikan dengan kepentingan partai.

Teropong Politik Indonesia di Masa Depan

Penyusunan kabinet yang menggandeng oposisi memperlihatkan sebuah fakta terjadinya proses pelemahan demokrasi. Hal ini disebabkan oleh telah bergabungnya pihak yang seharusnya menjadi kelompok penekan berada dalam satu barisan dengan kelompok penguasa. Secara otomatis, kondisi tersebut menjadikan semakin sempitnya ruang partisipasi politik bagi kelompok oposisi yang semakin kecil.

Lantas, untuk apa diselenggarakan Pemilu jika pada akhirnya kekuasaan itu dibagi-bagi antara yang menang dan kalah? Hal ini tentu menjadi sebuah pertanyaan penting yang perlu direnungkan oleh banyak pihak, baik kalangan elite yang saat ini menduduki jabatan maupun akademisi.

Dengan kondisi yang penulis jelaskan di atas, tentu mengakibatkan kepercayaan masyarakat akan pentingnya Pemilu sebagai wujud negara demokrasi perlahan luntur. Momentum pesta demokrasi yang harusnya dimeriahkan dan dinikmati oleh banyak pihak menjadi berjalan hanya sebatas seremonial dan prosedural sehingga suara dalam Pemilu mereka jual dengan harga murah kepada elite-elite politik yang memiliki kepentingan pribadi terhadap kekuasaan.

Hal yang menjadi berbahaya adalah ketika sikap apatis politik masyarakat sudah mulai menguat. Jika hal ini berjalan, maka akan memberikan implikasi besar terhadap perjalanan demokrasi Indonesia di masa yang akan datang.

Tulisan milik Dyah Ayu Widyarini, Mahasiswa Pascasarjana Ilmu Politik di Universitas Indonesia.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Partai vs Kandidat, Mana Terpenting Dalam Pilpres 2024?

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak cukup bersaing dengan tiga purnawirawan jenderal sebagai kandidat penerus Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, di balik ingar bingar prediksi iitu, analisis proyeksi jabatan strategis seperti siapa Menhan RI berikutnya kiranya “sia-sia” belaka. Mengapa demikian?

Mencari Rente Melalui Parte: Kepentingan “Strongmen” dalam Politik

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Berbicara mengenai "preman", yang terbersit di benark sebagian besar orang mungkin adalah seseorang dengan badan besar yang erat dengan dunia kriminalitas....

Adu Wacana Digital di Pilpres 2024: Kemana Hak-Hak Digital?

Oleh: M. Hafizh Nabiyyin PinterPolitik.com Hilirisasi digital. Ramai-ramai orang mengetikkan istilah tersebut di mesin pencari pasca debat calon wakil presiden (cawapres) yang dihelat 22 Desember 2023...