Staf Khusus Presiden Joko Widodo, Andi Taufan Garuda Putra, membuat publik ramai dengan surat arahan yang ditujukan untuk para camat. Apakah ulah stafsus milenial ini melanggar hukum?
PinterPolitik.com
Hampir menginjak satu semester jalannya Pemerintahan, masih saja ada Staf Khusus Presiden yang tidak memahami kedudukan dan ruang lingkup pekerjaan mereka. Salah satunya adalah tindakan yang dilakukan oleh Andi Taufan Garuda Putra melalui surat dengan kop sekretariat kabinet Republik Indonesia yang ditujukan kepada Camat di seluruh Indonesia.
Dari kejadian ini, ada beberapa hal yang perlu dicermati dan dianalisa: bagaimana pengaturan tentang Staf Khusus Presiden sejak tahun 2004 hingga saat ini? Lalu, bagaimana kedudukan dan kewenangan Staf Khusus Presiden dalam menerbitkan instruksi atau arahan kepada Camat?
Pengaturan tentang Kedudukan Stafsus Presiden
Pada masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY)-Jusuf Kalla (JK) kedudukan Staf Khusus Presiden diatur melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2005. Perpres ini mengatur bahwa Staf Khusus Presiden merupakan Lembaga non struktural guna memperlancar pelaksanaan tugas Presiden.
Lebih lanjut, Staf Khusus Presiden bertugas untuk melaksanakan tugas tertentu di luar tugas-tugas yang sudah dicakup dalam susunan organisasi departemen, kementerian, dan instansi pemerintah lainnya.
Dalam menjalankan tugasnya Staf Khusus Presiden diatur melalui tata kerja oleh Sekretaris Kabinet serta wajib untuk menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi yang baik dengan instansi pemerintah.
Pengaturan ini kemudian mengalami beberapa kali perubahan melalui Peraturan Presiden Nomor 97 Tahun 2007; Peraturan Presiden Nomor 9 Tahun 2008, Peraturan Presiden Nomor 56 Tahun 2008, dan Peraturan Presiden Nomor 43.A Tahun 2009. Pada rezim pengaturan ini, Staf Khusus Presiden bertanggung jawab kepada Sekretaris Kabinet.
Pergeseran kedudukan Staf Khusus Presiden terjadi ketika terbit Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2012 yang mana Staf Khusus Presiden hanya bertanggung jawab secara administrasi saja kepada Sekretaris Kabinet. Sementara, dalam penugasan sesuai bidang, maka Staf Khusus Presiden bertanggung jawab kepada Presiden.
Peraturan Presiden ini kemudian mengalami beberapa kali perubahan melalui Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2015, dan Peraturan Presiden Nomor 39 Tahun 2018. Ketiga ketentuan di atas menjadi dasar hukum kedudukan dan kewenangan Staf Khusus Presiden di Indonesia saat ini. Ketentuan mengenai Staf Khusus Presiden diatur sebagai berikut:
- Tugas: Diatur dalam Pasal 18 ayat 1 Perpres Nomor 39 Tahun 2018 yaitu tugas yang diberikan Presiden di luar tugas yang sudah dicakup dalam susunan organisasi kementerian dan instansi pemerintah lainnya.
- Jumlah Staf Khusus: Diatur dalam Pasal 18 ayat 2 Perpres Nomor 39 Tahun 2018 yaitu terdiri dari paling banyak 15 orang Staf Khusus Presiden
- Bentuk Pertanggung Jawaban: Bertanggung jawab secara administratif kepada Sekretaris Kabinet (Pasal 19 ayat 1 Perpres 55 Tahun 2015) dan bertanggung jawab kepada Presiden dalam menjalankan tugas (Pasal 19 ayat 3 Perpres 55 Tahun 2015)
- Kewajiban: Diatur dalam Pasal 20 ayat 1 Perpres Nomor 17 tahun 2012 yaitu dalam melaksanakan tugasnya wajib menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi yang baik dengan instansi pemerintah.
- Sumber Pengisian Jabatan Staf Khusus Presiden: Diatur dalam Pasal 21 ayat 2 Perpres Nomor 17 Tahun 2012 yaitu dapat bersumber dari pegawai negeri maupun bukan pegawai negeri.
- Hak Keuangan dan Fasilitas: Diatur dalam Pasal 24 Perpres Nomor 17 Tahun 2012 yaitu diberikan setinggi tingginya setingkat dengan jabatan struktural eselon I.a
- Masa Bakti: Diatur dalam Pasal 25 Perpres Nomor 17 Tahun 2012 yaitu paling lama sama dengan masa jabatan atau berakhir bersamaan dengan berakhirnya masa jabatan Presiden yang bersangkutan.
- Ketentuan Berakhirnya Masa Bakti: Diatur dalam Pasal 26 Peraturan Presiden Nomor 17 Tahun 2012 yaitu apabila berhenti atau telah berakhir masa baktinya tidak diberikan pensiun dan/atau pesangon.
Menyoal Surat Stafsus Kepada Camat
Dalam konteks keilmuan Hukum Administrasi Negara, kewenangan dan wewenang memiliki pengertian yang berbeda. Menurut Prajudi Atmosudirjo, kewenangan adalah apa yang disebut “kekuasaan formal”. Artinya kekuasaan yang berasal dari kekuasaan Legislatif atau dari kekuasaan eksekutif administratif.
Umumnya, kewenangan didefinisikan sebagai otoritas yang dimiliki suatu lembaga untuk melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu. Namun, Prajudi Atmosudirjo memisahkan secara tegas antara kewenangan dan wewenang.
Kewenangan adalah kekuasaan terhadap segolongan orang-orang tertentu atau kekuasaan terhadap sesuatu bidang pemerintahan tertentu yang bulat. Sementara itu, wewenang adalah kekuasaan untuk melakukan sesuatu tindak hukum publik.
Prajudi Atmosudirjo juga memberikan contoh aplikasi dari perbedaan konsep wewenang dan kewenangan yaitu, misalnya, wewenang menandatangani/menerbitkan surat-surat izin dari seorang pejabat atas nama Menteri, sedangkan kewenangan tetap berada di tangan Menteri. Artinya, wewenang merupakan salah satu bagian dari kewenangan.
Menurut Victor Situmorang, wewenang Penguasa diperoleh melalui Hukum Administrasi Negara. Setiap pejabat administrasi negara dalam bertindak harus dilandasi wewenang yang sah, yang diberikan peraturan perundang-undangan. Untuk memperoleh wewenang, dapat melalui tiga cara, yaitu:
- Atribusi (pemberian wewenang pemerintah yang baru oleh suatu perundang-undangan (produk hukum legislatif) untuk melaksanakan pemerintahan secara penuh. Atau, suatu pemberian kewenangan membentuk peraturan perundang-undangan yang diberikan undang-undang dasar atau undang-undang kepada lembaga negara/pemerintahan.
- Delegasi (suatu pelimpahan wewenang yang telah ada yang berasal dari wewenang atribusi, kepada pejabat administrasi negara, tidak secara penuh): Makna dari “tidak secara penuh” adalah tidak termasuk wewenang untuk pembentukan kebijakan karena wewenang ini berada di tangan pejabat yang mendapat wewenang secara atribusi. Atau,
- Mandat (pemberian tugas oleh mandans kepada mandataris untuk dan atas nama pembuat keputusan administrasi negara): Dalam konteks ini, wewenang tetap berada di tangan mandans, sedangkan mandataris hanya melaksanakan perintah secara atas nama saja di mana tanggung jawab tetap berada pada mandans.
Jika menilik dari berbagai teori dan pengaturan yang mengatur mengenai “Staf Khusus Presiden” sudah teramat jelas bahwa tidak ada satu peraturan pun yang melekatkan kewenangan tertentu kepada Staf Khusus Presiden, baik melalui atribusi, delegasi, maupun mandat. Setelah adanya pelekatan kewenangan baik secara atribusi, delegasi, dan/atau mandat barulah organ negara dapat melakukan suatu tindakan dalam rangka pelaksanaan tugas dan dapat membuat keputusan.
Peraturan Presiden tentang Staf Khusus Presiden sebagaimana tabel di atas, jelas tidak memberi kewenangan apapun bagi Staf Khusus Presiden selain menyelenggarakan tugas tertentu dari Presiden di luar hal yang sudah dicakup dalam kementerian dan instansi pemerintah lainnya.
Lebih lanjut, Staf Khusus Presiden pun tidak dilengkapi dengan kewenangan yang dimiliki pejabat administrasi negara atau dikenal dengan wewenang publik. Wewenang ini terdiri dari dua kekuasaan yang luar biasa, artinya tidak dapat dilawan dengan cara biasa, yaitu: ( 1) wewenang prealabel, yaitu wewenang untuk membuat keputusan yang diambil tanpa meminta persetujuan terlebih dahulu dari pihak manapun; (2) wewenang ex-officio, yaitu wewenang dalam rangka pembuatan keputusan yang diambil karena jabatannya, sehingga tidak dapat dilawan oleh siapapun karena mengikat secara sah bagi seluruh masyarakat.
Dalam kejadian ini, hal yang perlu sangat dipahami oleh Staf Khusus Presiden adalah bagaimana administratur negara berjalan dalam berbagai perangkat peraturan administrasi atau terikat dengan hukum administrasi negara. Perlu diingat, tidak ada rentang administrasi antara Staf Khusus Presiden dengan Camat. Lebih lanjut, Staf Khusus Presiden berkewajiban untuk menerapkan prinsip koordinasi, integrasi, dan sinkronisasi yang baik dengan instansi pemerintah.
Ketidakpahaman yang dilakukan oleh Staf Khusus Presiden pada kejadian ini tentu sangat mengkhawatirkan karena dilakukan melalui kop surat resmi dan langsung ditujukan kepada Camat. Staf Khusus Presiden harusnya memahami batasan-batasan dan kedudukan yang diberikan oleh peraturan perundang-undangan. Apalagi, Camat merupakan pelaksana sebagian urusan pemerintahan umum yang didelegasikan oleh Bupati/Walikota.
Terlepas dari indikasi “conflict of interest” yang terjadi dari penerbitan surat Staf Khusus Presiden kepada Camat, secara formil pun Staf Khusus Presiden telah menyalahi kedudukan dan peraturan administrasi negara. Staf Khusus Presiden harus memahami bahwa kekuasaan eksekutif negara dijalankan oleh Presiden dan dibantu oleh Kementerian-Kementerian serta Daerah-Daerah Otonom pasca diterapkannya desentralisasi di Indonesia.
Oleh sebab itu, demi ketertiban administrasi seharusnya Staf Khusus Presiden menjalankan tugasnya sebatas memberi masukan kepada Presiden. Maka, jika menurut Presiden ide dan gagasan Staf Khusus Presiden itu bermanfaat bagi bangsa maka Presiden yang akan menentukan eksekusi atas kebijakan tersebut karena Presiden merupakan Kepala Negara sekaligus Kepala Pemerintahan.
Tulisan milik Rizky Muhammad Ikhsan, S.H, M.H., Mahasiswa Pascasarjana Program Doktor, Fakultas Hukum, Universitas Pelita Harapan.
“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”
Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.