HomePolitikIndonesia Negara Maju? Tunggu Dulu!

Indonesia Negara Maju? Tunggu Dulu!

Oleh Probo Darono Yakti, Asisten Peneliti di Emerging Indonesia Project dan Alumnus S2 Hubungan Internasional Universitas Airlangga

Pemerintah Amerika Serikat (AS) melalui United States Trade Representative (USTR) mencabut Indonesia dari daftar negara berkembang. Memangnya, apakah benar Indonesia sudah dapat dianggap sebagai negara maju?


PinterPolitik.com

Beberapa waktu lalu, United States Trade Representative (USTR) mengalpakan Indonesia dari daftar negara berkembang, yang artinya Indonesia berada dalam deretan negara maju versi Amerika Serikat (AS). Upaya USTR pada 20 Februari 2020 ini diikuti pula dengan menghapus nama Afrika Selatan, Brasil, India, Korea Selatan, Tiongkok, Singapura, Thailand, dan Vietnam.

Sebagai imbasnya, fasilitas dan keuntungan sebagai negara berkembang yang disebut Generalize System of Preference (GSP) akan ditarik. GSP sendiri, memiliki fitur seperti keringanan bea impor pada produk-produk yang berasal dari negara berkembang masuk pada AS. Tentu, ini berisiko pada produk-produk kita yang masuk pasar AS.

Uniknya pihak pemerintah pusat, yang diwakili Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto merespons positif “kenaikan status” sepihak dari AS ini. Tanggapan Airlangga pada 24/2 justru membenarkan bahwa Indonesia telah mencapai status tersebut sejak lama, “Justru kita berbangga, kita kan G20, kita sekarang ekonomi 15-16. Dan kita purchasing power parity kita nomor 7. Masa dianggap berkembang?”

Berbanding lurus dengan keputusan USTR tersebut, memang visi Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada periode kedua kepemimpinannya adalah Indonesia Maju. Visi ini memiliki fokus pada lima aspek, yakni pembangunan infrastruktur, pembangunan SDM, pembukaan investasi, reformasi birokrasi, dan penggunaan APBN tepat sasaran.

Melalui visi ini, pemerintah membuat kalkulasi untuk mempersiapkan negara menghadapi tantangan global pada duadekade mendatang, kendati realitas yang ada saat ini masih berbanding terbalik dengan yang diharapkan.

Konsekuensi Lain Menjadi Negara Maju

Dicabutnya GSP sendiri menjadi efek domino apabila pelaku industri dalam negeri tidak melakukan adaptasi dengan baik. Misalkan, tarif impor yang tinggi akan membuat mutu atau kualitas barang harus ditingkatkan untuk menjaga posisi daya saing produk. Terhadap AS, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan sebesar 1,01 miliar dolar AS, yang tumbuh dari periode yang sama tahun lalu yakni surplus 804 juta dolar AS.

Selain AS, Indonesia berpotensi tidak mendapat GSP dari Australia, Belarus, Kanada, Uni Eropa, Islandia, Jepang, Kazakhstan, Selandia Baru, Norwegia, Federasi Rusia, Swiss, dan Turki. Pemerintah juga tidak lagi dapat mengakses pinjaman lunak luar negeri, bantuan teknis negara maju, biaya keanggotaan badan dunia meningkat, dan perlakuan negara-negara lainnya yang tentu akan berubah dari biasanya sehingga secara langsung berimbas pada keuangan negara.

Baca juga :  Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Prasyarat Negara Maju Belum Terpenuhi?

Status negara maju yang disematkan pada Indonesia oleh USTR sendiri mengundang banyak perdebatan. Terutama sejumlah standar dasar negara maju yang masih belum dicapai Indonesia.

Memang, apabila mengacu pada WTO, standar mengenai suatu negara tergolong sebagai negara maju atau berkembang ditentukan oleh negara itu sendiri. Kenyataannya, Indonesia masih mendapati tiga celah yang masih belum terselesaikan: ekonomi ditinjau dari GDP per kapita; paradigma negara kaya sumber daya alam (SDA); dan terakhir, akses kesehatan yang baik untuk masyarakat.

Pertama, angka GDP/PDB per kapita Indonesia yang masih mencapai US$3.894. Tentunya masih jauh jika dibandingkan rata-rata yang dimiliki negara maju yang menyentuh angka US$12.000.

Angka ini menunjukkan tingkatan seberapa mampu negara dapat menjamin kemakmuran masyarakatnya dengan pendapatan yang cukup untuk setiap orang dapat mengakses sejumlah kebutuhan hidup mendasar seperti sandang, pangan, papan, maupun kesehatan dan pendidikan.

Kedua, jebakan paradigma Indonesia sebagai “negara yang kaya akan SDA.” Mengutip Auty (1993), negara yang kaya akan sumber mineral seperti minyak dan gas, performa pembangunan ekonomi dan tata kelola pemerintahannya (good governance) kerap lebih buruk dibandingkan negara-negara yang miskin sumber mineral. Jeffrey Sachs dan Andrew Warner kemudian menemukan hubungan antara kekayaan SDA ini dengan pertumbuhan ekonomi yang buruk.

Realitas ini ada di depan mata ketika Indonesia masih mengandalkan ekspor minyak di posisi ketiga setelah minyak kelapa sawit (CPO) dan batu bara. Kapabilitas untuk mengonversi barang mentah menjadi barang setengah jadi bahkan barang jadi seyogianya telah dimiliki. Ekspor dari bahan-bahan mentah ini di sisi lain menunjukkan Indonesia masih belum mampu memproduksi bahan-bahan jadi sebagaimana yang menjadi ciri khas negara maju.

Terakhir, akses kesehatan yang baik untuk masyarakat. Sebagai negara maju, seharusnya Indonesia dapat memastikan bahwa angka harapan hidup untuk tiap individunya mencapai 79 tahun atau seperti Jepang yang menjadi acuan negara maju di Asia yang mencapai 84 tahun. Sedangkan pada tahun 2017, angka harapan hidup Indonesia masih mencapai 71,28 tahun yang artinya merupakan pekerjaan rumah besar bagi pemerintah untuk mewujudkan layanan kesehatan yang menjangkau semua kalangan masyarakat.

Baca juga :  Indonesia Arcanum Misteri Sejarah Hilang Indonesia

Pandemi Corona Membuka Mata Kita

Pandemi Corona atau Covid-19 yang menghantam dunia internasional telah terasa dampaknya dari aspek perekonomian. Banyak negara yang harus mengoreksi target angka pertumbuhan ekonominya bahkan mencapai minus.

Kondisi ini memaksa negara-negara di dunia melakukan fiscal austerity dengan mengurangi belanja yang tidak perlu, kecuali kebutuhan penanganan wabah penyakit dan ketahanan pangan dalam rangka menjamin jaring pengaman sosial tetap terjaga.

Begitu pun Indonesia, sejumlah pos dalam APBN yang tidak terlalu substansial mulai dipotong. Dan tindakan yang sama seharusnya juga seharusnya diterapkan untuk pemindahan ibukota negara, pembangunan infrastruktur, dan proyek-proyek strategis lainnya yang murni menggunakan APBN. Indikator negara agar dapat dikatakan “maju” kali ini dapat diuji dari segi kesigapan pemerintah dalam mewujudkan kebutuhan mendasar masyarakatnya: layanan kesehatan yang tangguh dan ketahanan pangan yang terjaga.

Tumpang tindih kewenangan dalam penanganan wabah antar instansi di pemerintahan pusat, provinsi, hingga kabupaten/kota dan kegagalan distribusi bantuan sosial yang tepat sasaran hanyalah sejumlah permasalahan yang memberikan eksposur tentang sejauh mana kepedulian negara terhadap wabah.

Berkelit seputar perekonomian juga penting di tengah masalah kesehatan yang belum seratus persen terselesaikan, wacana new normal telah digulirkan. Oleh karena itu, akan jauh lebih bijak apabila pemerintah “percaya diri” dengan sebutan Indonesia sebagai negara emerging atau negara yang sedang dalam proses transformasi membuat lompatan dari negara berkembang maupun negara maju.

Catatan Akhir

Satu catatan akhir yang perlu diingat, tulisan ini tidak pernah mengajak masyarakat pada pesimisme. Penulis ingin mengajak segenap jajaran pemerintah, akademisi yang ahli pada bidangnya, pengusaha yang dermawan, dan masyarakat awam untuk mengevaluasi strategi, mencari solusi bersama keluar dari krisis ini, dan menata ulang langkah berikutnya untuk kembali pada visi tersebut.

Tulisan milik Probo Darono Yakti, Asisten Peneliti di Emerging Indonesia Project dan Alumnus S2 Hubungan Internasional Universitas Airlangga.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

100 Hari, Prabowo Justru Insecure?

Meski tak serta merta dapat dijadikan generalisir, dengan kinerja 100 hari yang cenderung jamak dinilai belum maksimal, penilaian terhadap bagaimana Presiden Prabowo Subianto memegang kendali nahkoda RI bermunculan. Utamanya, mengenai kemantapan prinsip kepemimpinan Presiden Prabowo di tengah tarik-menarik pengaruh internal maupun eksternal dalam politik kekuasaan.

Anies-Mahfud Perlu “Dikantongi” Prabowo? 

Eks-rival Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), yakni Anies Baswedan dan Mahfud MD belakangan semakin menunjukkan gestur positif terhadap Prabowo. Apakah seharusnya Prabowo merangkul mereka? 

Prabowo, Amartya Sen, dan Orde Baru

Program Makan Siang Bergizi (MBG) alias makan siang gratis yang kini sudah dijalankan oleh pemerintahan Prabowo Subianto nyatanya punya visi yang serupa dengan program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang merupakan program di era Orde Baru.

Hasto vs Jokowi, Benarkah Prabowo AFK?

Tak berkomentar atau memberikan statement khusus menjadi hal normatif yang kiranya tepat dilakukan Presiden Prabowo Subianto terhadap intrik panas kasus Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang berhadapan langsung dengan Joko Widodo. Padahal, drama yang dibumbui video skandal pejabat itu berkelindan dengan proyeksi stabilitas politik dan pemerintahan ke depan.

Prabowo and the Hero Complex

Kisah seorang pahlawan (hero) selalu menciptakan inspirasi di hati banyak orang. Mengapa makna ini begitu berarti bagi Presiden Prabowo Subianto?

Mengapa Era Keemasan Sains Orba Hilang? 

Indonesia sempat alami euforia sains dan imajinasi yang tinggi ketika awal hingga pertengahan Orde Baru. Mengapa tren tersebut tiba-tiba hilang? 

The Invincible Bahlil and The Philosopher King

Dengarkan artikel ini: Meski kerap dikritik dan dianggap kontroversial, nyatanya sosok Bahlil Lahadalia harus diakui jadi inspirasi bagi banyak orang. Meniti karier dari pelosok,...

Menguak “Beban” Erick Pecat STY

Pemecatan pelatih Timnas Sepak Bola Pria Indonesia oleh PSSI meninggalkan interpretasi karena dua untaian frasa “mencurigakan” yang terujar dari Erick Thohir dan anak Shin Tae-yong, yakni “dinamika kompleks” dan “perlakuan PSSI”. Bahkan, sesuatu hingga ke ranah yang bertendensi politis. Benarkah demikian?

More Stories

Ini Strategi Putin Meraih Stabilisasi?

Oleh: Muhammad Ferdiansyah, Shafanissa Arisanti Prawidya, Yoseph Januar Tedi PinterPolitik.com Dalam dua dekade terakhir, nama Vladimir Putin telah identik dengan perpolitikan di Rusia. Sejak periode awal...

Pesta Demokrasi? Mengkritisi Pandangan Pemilu

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Sejak kemerdekaannya pada Agustus 1945, pendiri bangsa Indonesia berkonsensus untuk menjadikan wilayah bekas jajahan Kerajaan Belanda yang bernama Hindia Belanda ini...

Menguak Kabinet Obesitas Prabowo-Gibran

Oleh: Bayu Nugroho PinterPolitik.com Hal menarik  ketika adanya pengumuman kabinet pemerintahan Prabowo – Gibran adalah komposisinya yang sangat jumbo atau lebih tepatnya obesitas. Pemaknaan obesitas tersebut...