HomePolitikHari Bumi: Refleksi Politik Lingkungan Indonesia

Hari Bumi: Refleksi Politik Lingkungan Indonesia

Oleh Muhammad Haidar Daulay, S. Hut., Asisten Peneliti di Sebijak Institute (Sejarah dan Kebijakan Kehutanan) Fakultas Kehutanan UGM

Selama setengah abad, Hari Bumi telah diperingati di berbagai negara, termasuk Indonesia. Bagaimana kira-kira refleksi politik lingkungan di Indonesia selama ini?


PinterPolitik.com

Hari Bumi tahun ini diperingati dengan keheningan. Tidak ada aksi long march atau pun aksi serupa lainnya yang mengumpulkan massa. Padahal, di tahun-tahun sebelumnya, aksi protes terhadap kerusakan lingkungan menjadi agenda rutin Hari Bumi yang mungkin tidak perlu disuarakan dulu di tahun ini.

Bumi sedang berduka dengan kehilangan ribuan korban jiwa akibat pandemi Corona. kondisi ekonomi pun turut terpukul dengan virus yang mulai menyebar sejak Januari lalu. Namun, di balik kabar buruk, ada kabar baik.

Berbagai media memberitakan bahwa kondisi lingkungan membaik semenjak penerapan social distancing maupun lockdown di berbagai negara. Polusi udara di New York turun 50%, emisi karbon di China turun 25%, dan langit Jakarta tampak biru cerah dalam satu bulan ini.

Hari Bumi merupakan momen bagi masyarakat dunia untuk mengapresiasi planet yang kita tempati ini. Sejarah Hari Bumi tidak lepas dari peran senator Amerika Serikat yang bernama Gaylord Nelson.

Berawal dari keprihatinan Nelson atas kejadian tumpahan minyak besar-besaran di Santa Barbara (California) yang mengakibatkan kerusakan lingkungan, Nelson kemudian melakukan aksi protes yang puncaknya pada tanggal 22 April 1970. Majalah TIME mencatat sekitar 20 juta orang terlibat dalam aksi demonstrasi di Fifth Avenue New York.

Tidak hanya kasus tumpahan minyak di Santa Barbara, demonstrasi ini mengusung berbagai tema kerusakan lingkungan.  Aksi protes ini ternyata berhasil menekan Pemerintah AS untuk mengeluarkan kebijakan yang “pro lingkungan’.

UU Pendidikan Lingkungan Nasional, UU Air Bersih, UU Perlindungan Spesies yang Terancam Punah, UU Insektisida dan Fungisida lahir setelah aksi protes ini. Keberhasilan aksi protes ini merupakan tonggak penting dalam sejarah aktivisme lingkungan dan sejak saat itu tanggal 22 April ditetapkan sebagai “Hari Bumi”.

Kabar ini menyebar ke seluruh penjuru dunia. Tahun-tahun berikutnya, negara-negara di benua Asia, Amerika, Australia, Afrika, Eropa secara serentak melakukan aksi protes terhadap kerusakan lingkungan. Indonesia juga termasuk negara yang mengikuti tren global tersebut.

Indonesia merupakan negara yang terkenal akan potensi sumber daya alam yang melimpah. Hutan hujan tropis yang terbentang luas dengan keanekaragaman hayati yang tinggi serta kekayaan alam bawah laut yang melimpah merupakan anugerah yang tak ternilai harganya. Kekayaan sumber dalam alam ini menjadi sumber daya strategis bagi pembangunan negara, namun kerap dipolitisasi oleh berbagai aktor.

Akibatnya kekayaan alam ini berbanding lurus dengan tingginya kasus kerusakan lingkungan di Indonesia. Kebakaran hutan, pembalakan liar, perdagangan kayu ilegal, korupsi di sektor sumber daya alam, perdagangan ilegal satwa liar, konflik tenurial lahan hutan, pencemaran laut, tingginya emisi karbon merupakan deretan permasalahan lingkungan yang sudah ada sejak dulu kala.

Bagaimana sumber daya alam dipolitisasi? Pada peringatan Setengah Abad Hari Bumi ini, mari kita tengok kembali perjalanan politik lingkungan di Indonesia melalui diskursus lingkungan yang berkembang. Setidaknya terdapat tiga diskursus lingkungan yang berkembang di Indonesia, yaitu diskursus modernisasi ekonomi, pembangunan berkelenjutan, dan civic environmentalism.

Diskursus Modernisasi Ekonomi  

Bas Arts dalam tulisannya yang berjudul Discourse, Actor, and Insturments in International Forest Governance mengungkapkan bahwa diskursus modernisasi ekonomi dicirikan dengan industralisasi dan privatisasi sumber daya alam oleh negaara.

Diskursus ini berkembang pada pertengahan abad 20. Modernisasi ekonomi didorong karena hancurnya perekonomian dunia pasca Perang Dunia II. Di Indonesia, diskursus ini berkembang pada era kepemimpinan Presiden Soeharto.

Di awal era Orde Baru, Soeharto mengusung paradigma pembangunan ekonomi sebagai landasan kebijakan nasional. Kekayaan sumber daya alam Indonesia dijadikan sebagai tumpuan utama devisa negara.

Soeharto memberikan izin konsesi Hak Pengusahaan Hutan (HPH) melalui Undang-Undang Kehutanan No. 5/1967 dan Peraturan Pemerintah No. 21/1970. Akibatnya, keran investasi mengucur deras dan sektor kehutanan menjadi penyumbang devisa negara terbesar kedua pada saat itu.

Pada tahun 1979, Indonesia menjadi negara pengekspor kayu bulat yang lebih besar dari seluruh negara di Afrika dan Amerika Latin (WRI, 2000). Namun, pertumbuhan ekonomi yang pesat berimplikasi pada rusaknya hutan Indonesia.

Eksploitasi hutan telah melebihi batas wajarnya. Stereotip “hutan merupakan sumber daya yang dapat diperbaharui” membuat pemerintah lupa kalau memperbaharui hutan membutuhkan waktu yang lama.

Pemerintah Indonesia secara resmi melarang ekspor kayu bulat pada tahun 1985. Kebijakan larangan ekspor kayu bulat memaksa pengusaha hutan untuk mengembangkan industri pengolahan kayu untuk dapat mengubah kayu bulat menjadi produk yang dapat diekspor.

Pada saat itu, produk kayu lapis menjadi komoditas yang dipilih oleh pengusaha, terutama karena proses pengolahannya yang sederhana. Namun, industri pengolahan kayu ini sangat monopolistik.

Monopoli industri kehutanan ini akhirnya menimbulkan masalah baru, seperti  konflik tenurial, kemiskinan masyarakat desa sekitar hutan, dan korupsi di sektor kehutanan. Permasalahan ini pun diwariskan Seoharto ke era Reformasi.

Diskursus Pembangunan Berkelanjutan

Diskursus pembangunan berkelanjutan mulai populer setelah publikasi tulisan yang berjudul “Our Common Future”. Pembangunan berkelanjutan dibahas dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro pada tahun 1992.

Pembangunan berkelanjutan merupakan pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya untuk memenuhi kebutuhan saat ini, tanpa mengurangi kebutuhan yang diperlukan oleh generasi yang akan datang. Brunlant (1987) menjelaskan terdapat tiga aspek penting dalam pembangunan berkelanjutan yaitu aspek lingkungan, ekonomi, dan, sosial.

Tujuan utama pembangunan berkelanjutan adalah mengurangi kemiskinan, mengurangi kesenjangan melalui pemerataan ekonomi, dan mengatasi pemanasan global. Partisipasi publik, kesetaraan global, dan transfer teknologi dari negara maju ke negara berkembang menjadi ciri khas dalam diskursus pembangunan berkelanjutan.

Di Indonesia, telah terjadi pergeseran paradigma pengelolaan hutan oleh negara ke arah pengelolaan hutan bersama masyarakaat. Kebijakan kehutanan sosial/perhutanan sosial telah berkembang di Indonesia sejak 1972 tetapi konsep sosial yang dikembangkan lebih dekat kepada menyelematkan kepentingan aset sumberdaya hutan dari kehancuran dan kerusakan, bukan atas dasar model-model egalitarian dan partnership yang berkeadilan (Awang, 2019).

Kebijakan ini terus berkembang, hingga Presiden Jokowi juga menggunakan Perhutanan Sosial sebagai salah satu prioritas kebijakan di sektor kehutanan pada awal masa kepemimpinannya. Pada era Jokowi ini, prinsip egalitarian dan partnership mulai diperhatikan.

Kebijakan Perhutanan Sosial bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitar hutan yang sering termarginalkan, sekaligus untuk menjaga fungsi lingkungan hutan. Kebijakan perhutanan sosial diatur dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 83 Tahun 2016.

Tidak tanggung-tanggung, Pemerintah Indonesia berkomitmen meningkatkan luas lahan hutan yang dikelola masyarakat sebesar 12,7 juta hektar dalam rentang 5 tahun (2014-2019). Namun hingga April 2019, baru 2,5 juta hektar lahan hutan yang diberikan kepada masyarakat.

Diskursus Civic Environmentalism

Diskursus ini dicirikan dengan gerakan akar rumput, pendekatan bottom-up, dan pembentukan NGO lingkungan. Berbagai NGO lingkungan baik NGO internasional maupun NGO domestik mulai terbentuk di Indonesia. Emil Salim (mantan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup) mendirikan KEHATI pada tahun 1994 sebagai NGO lingkungan yang bertujuan untuk pelestarian keanekaragaman hayati secara berkelanjutan di Indonesia. Berbagai program lingkungan telah dikerjakan KEHATI seperti restorasi dan rehabilitasi, pengelolaan sampah, pelestarian satwa (gajah sumatra dan badak kalimantan), dan progam rehabilitasi mangrove.

Nama-nama besar NGO lingkungan internasional pun turut melebarkan sayapnya ke Indonesia, seperti World Wildlife Fund (WWF). Pada tahun 1996, WWF resmi menjadi entitas legal yang berbadan hukum sesuai ketentuan di Indonesia.

Telah banyak program lingkungan yang dikerjakan WWF dengan Pemerintah Indonesia. WWF turut berkontribusi atas dikeluarkannya Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 13 Tahun 2012 Tentang Tata Ruang Pulau Sumatra yang mengedepankan prinsip-prinsip berkelanjutan, Deklarasi Bersama Kepulauan Kei Kecil sebagai kawasan perlindungan laut, penyusunan Rencana Aksi dan Strategi Nasional Konservasi Orangutan, Badak, dan Harimau Sumatera, dan masih banyak lagi. Namun sayangnya, Pemerintah Indonesia secara resmi memutus kerja sama dengan Yayasan WWF Indonesia sejak bulan Januari 2020.

Politik lingkungan tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab negara dan masyarakat. Agenda lingkungan perlu mendapatkan prioritas khusus dalam kebijakan nasional.

Perlahan Indonesia telah memperhatikan aspek partisipasi, kesetaraan, dan pendekatan bottom-up dalam kebijakan lingkungan. Namun demikian, agenda lingkungan ini tumbuh dan dihdapkan pada aneka tuntutan baru yang kesemuanya bermuara pada segala hal yang sensitif terhadap lingkungan.

Tulisan milik Muhammad Haidar Daulay, S. Hut., Asisten Peneliti di Sebijak Institute (Sejarah dan Kebijakan Kehutanan) Fakultas Kehutanan UGM.

“Disclaimer: Opini adalah kiriman dari penulis. Isi opini adalah sepenuhnya tanggung jawab penulis dan tidak menjadi bagian tanggung jawab redaksi PinterPolitik.com.”

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Partai vs Kandidat, Mana Terpenting Dalam Pilpres 2024?

Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) tampak cukup bersaing dengan tiga purnawirawan jenderal sebagai kandidat penerus Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan (Menhan). Namun, di balik ingar bingar prediksi iitu, analisis proyeksi jabatan strategis seperti siapa Menhan RI berikutnya kiranya “sia-sia” belaka. Mengapa demikian?

Mencari Rente Melalui Parte: Kepentingan “Strongmen” dalam Politik

Oleh: Noki Dwi Nugroho PinterPolitik.com Berbicara mengenai "preman", yang terbersit di benark sebagian besar orang mungkin adalah seseorang dengan badan besar yang erat dengan dunia kriminalitas....

Adu Wacana Digital di Pilpres 2024: Kemana Hak-Hak Digital?

Oleh: M. Hafizh Nabiyyin PinterPolitik.com Hilirisasi digital. Ramai-ramai orang mengetikkan istilah tersebut di mesin pencari pasca debat calon wakil presiden (cawapres) yang dihelat 22 Desember 2023...