Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Upaya penertiban dan penataan subsidi LPG 3 Kg entah kenapa malah jadi resistensi dan mengarah langsung ke Menteri ESDM Bahlil Lahadalia. Padahal, terlepas dari eksekusi di awal yang harus diakui kurang rapi, kebijakan tak populer ini memiliki esensi sangat positif. Hal itu memantik interpretasi mengenai “perlawanan” kuat yang bisa saja terorkestrasi. Benarkah demikian?
Kelakar Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono mengenai urgensi persoalan LPG subsidi 3 kg dibanding kasus pagar laut agaknya bermakna banyak hal. Utamanya, saat isu meledak di “darat” (lapisan masyarakat) maupun “udara” (media sosial) dan menyasar sang inisiator yang seolah jadi “martir”, yakni Menteri ESDM Bahlil Lahadalia.
Setelah siang-malam chaos kemarin, tensi mulai mereda setelah pengecer kembali mulai memasok “gas melon” dengan tajuk sebagai sub pangkalan.
Namun, sorotan terhadap Bahlil yang jamak dianggap sebagai dalang kekacauan tak lenyap begitu saja. Ekspresi emosi kolektif sebagian besar masyarakat tertangkap di media sosial berupa amarah yang seolah tanpa amnesti.
Memang, penafsiran begitu liar tak dapat dibendung, seperti tudingan kongkalikong demi kepentingan tertentu hingga yang spekulatif seperti menimpa kasus yang menjadi kelakar Sakti Trenggono.
Mungkin sebagian dari masyarakat dapat memahami esensi penataan distribusi LPG 3 kg adalah demi kemaslahatan bersama. Dalam hal ini, agar subsidi pemerintah tak dinikmati oleh kalangan masyarakat, katakanlah dalam derajat ekstrem dan telah viral sebelumnya, Raffi Ahmad.
Di titik ini, satu interpretasi menarik mengemuka yang berangkat dari satu pertanyaan sederhana. Mengapa isu LPG 3 kg ini bisa menimbulkan ledakan yang begitu hebatnya? Adakah faktor bertendensi politik tingkat tinggi yang melandasinya?
Rakyat Terlalu Nyaman?
Kebijakan pengurangan subsidi dan penataan distribusi produk terkait, terutama energi, telah menjadi tren global dalam beberapa tahun terakhir.
Kendati terbilang tak populer atau bahkan kontroversial, nyatanya banyak negara di dunia “terpaksa” tega untuk melakukannya.
Dalam Mubyarto Public Policy Forum yang diselenggarakan di UGM pada 2019 lalu, peneliti dari Massachusetts Institute of Technology, Benjamin Olken mengatakan berlandaskan basis data, banyak negara yang mengurangi subsidi dan menggantikannya dengan bantuan atau alternatif kebijakan yang lebih tepat sasaran bagi rumah tangga miskin.
Terlebih di negara berkembang, bantuan atau subsidi yang disebut sebagai targetted transfer ini memiliki benefit lintas sektoral yang jika terimplementasi dengan baik, sangat dahsyat dampaknya. Mulai dari efisiensi anggaran hingga perbaikan kualitas sektor lain seperti pendidikan, infrastruktur, serta kesehatan.
Namun, dalam praktiknya, resistensi menjadi tantangan bagi para pembuat kebijakan. Bahkan, dalam derajat ekstrem dapat terjadi seperti di ranah media sosial.
Sebagaimana kebijakan tak populer lain, kick-off dan eksekusi permulaan yang halus akan sangat membantu kesuksesan pengurangan subsidi dan penataan distribusi produk terkait menjadi sangat krusial.
Dalam kasus LPG 3 kg, efek kejut benar-benar membuat sebagian besar rakyat kaget dan memantik resistensi begitu kencang.
Perbaikan tentu akan dan telah dilakukan. Namun, hal ini akan dapat berjalan dengan baik beriringan dengan transisi paradigma kolektif masyarakat yang harus melakukan “aklimatisasi”.
Kembali, sebagaimana kebijakan tak populer lain yang bersentuhan langsung dengan kebutuhan dasar, masyarakat yang telah terbiasa akan terus menganggap biasa serta memanfaatkan celah implementasi subsidi dan distribusinya yang selama ini mereka nikmati meski bukan untuk peruntukannya.
Dalam kerangka teoretis, hal ini disebut sebagai status quo bias yang mana menyebut bahwa manusia lebih nyaman dengan kondisi yang telah mereka kenal, bahkan jika alternatif baru lebih baik.
Dalam kebijakan publik, resistensi ini sering muncul akibat ketakutan akan ketidakpastian serta biaya transisi yang dirasakan tinggi oleh masyarakat, meski mereka sebenarnya bukan target penerima manfaat kebijakan.
Dalam perspektif paralel, collective loss aversion pun tak menutup kemungkinan terjadi. Ihwal di mana masyarakat lebih takut kehilangan sesuatu yang sudah mereka miliki daripada mendapat keuntungan baru yang bernilai setara.
Jika kebijakan baru mengubah mekanisme subsidi atau sistem kesejahteraan, orang sering kali melihatnya sebagai ‘kerugian’ daripada ‘keuntungan’ meskipun dalam jangka panjang lebih efisien.
Interpretasi tersebut kiranya menjadi satu perspektif relevan untuk menjelaskan resistensi masyarakat tempo hari.
Lalu, penafsiran lain di balik meledaknya isu minor terkait LPG subsidi 3 kg kiranya turut mengiringi dan tak kalah kuat menjadi variabel determinan implemetasi kebijakan terkait nantinya.

Bahlil vs Para Mafia?
Selain masyarakat mampu yang mungkin terlalu nyaman memanfaatkan kekacauan distribusi subsidi LPG 3 kg, stakeholder lain yang dirugikan pun agaknya ikut berselancar memperkeruh suasana.
Ya, selain mempertegas distribusi subsidi, efektivitas & efisiensi anggaran, serta dampak bagi kemaslahatan turunannya, tujuan penataan Bahlil yang mungkin tak banyak dilihat sebagai antitesa kritik adalah memutus praktik korup pengoplosan gas yang selama ini bagai rahasia umum yang terpelihara, entah oleh siapa.
Dugaan praktik rent-seeking behavior para oknum di berbagai lini, mulai dari hulu hingga ke hilir konteks energi, khususnya LPG subsidi 3 kg, bagai kanker yang mati satu tumbuh seribu. Celakanya, praktik culas demikian seakan dibiarkan begitu saja selama ini.
“Dosa” yang bikin kaget tampaknya mulai ditebus secara perlahan oleh Bahlil sebagai focal point kisruh LPG subsidi 3 kg.
Tinggal kini, peran dan dukungan konstruktif masyarakat adalah tetap percaya dan terus mengawal serta memberikan hantaman keras jika memang kebijakan yang memiliki esensi kemanfaatan yang besar ini hanya gimik apalagi demi kepentingan lain yang tak berpihak pada rakyat. (J61)