Dengarkan artikel ini:
Di permukaan, Donald J. Trump mungkin terlihat seperti Presiden Amerika Serikat yang kacau, sembrono, dan anti-sistem. Tapi di bawah permukaan? Ia sedang merancang ulang sistem global. Ini adalah sebuah gerakan yang oleh beberapa pihak dianggap jadi langkah taktis Trump untuk mengembalikan kejayaan Amerika Serikat sebagai negara adidaya yang sejahtera secara domestik.
Lihat saja rekam jejaknya: membatalkan kemitraan dagang Trans-Pacific Partnership (TPP), menarik AS keluar dari Paris Agreement, memangkas kontribusi pada WHO, menggempur Tiongkok dengan tarif tinggi, mengguncang NATO dengan retorika “bayar utang”, hingga menyentil Uni Eropa agar tak terlalu “manja” dengan perlindungan AS.
Dalam kacamata politik arus utama, semua ini tampak destruktif. Tapi bagi futurolog George Friedman, pendiri Stratfor dan salah satu pemikir geopolitik paling berpengaruh di era modern, Trump justru sedang membangun tatanan dunia yang baru—the new world order.
“We (US) don’t want to be leaders of the world. It costs too much, it puts too much responsibility”, begitu kata Friedman dalam salah satu wawancaranya di podcast Geopolitical Futures.
Trump bukan ingin membakar sistem. Ia ingin mendisrupsi sistem lama yang—menurutnya—telah terlalu mahal bagi Amerika Serikat. Dunia yang dulu dibangun atas nama kepemimpinan global AS kini dianggap sebagai beban yang menggerus keuntungan domestik.
Alih-alih terus membiayai Eropa, menopang stabilitas Timur Tengah, dan mengayomi kawasan Indo-Pasifik, Trump ingin menempatkan Amerika Serikat sebagai kekuatan yang lebih hemat, lebih oportunis, dan lebih transaksional.
Pertanyaannya kemudian adalah apa yang bisa kita maknai dari fenomena-fenomena ini?
Dunia yang Terlalu Bergantung pada Amerika Serikat
Bila kita tarik ke belakang, sistem global pasca-Perang Dunia II memang dibangun dengan AS sebagai arsitek utamanya. Bretton Woods, NATO, PBB, WTO, IMF, World Bank—semuanya lahir dalam bayang Pax Americana. Dunia berkembang di bawah jaminan “pax” itu, tapi dengan harga yang tak murah bagi Washington.
Friedman membaca satu kenyataan pahit: AS selama ini memainkan peran sebagai pemimpin dunia tanpa cukup keuntungan sepadan.
Trump memanfaatkan kesadaran itu. Ketika ia menyerang Tiongkok dengan tarif dan restriksi teknologi, ia tahu bahwa Beijing bergantung pada pasar AS. Ketika ia “menggertak” Eropa, ia tahu bahwa Uni Eropa bergantung pada keamanan yang dipayungi NATO, yang sebagian besar dibiayai oleh Pentagon.
Semua itu bukan kebijakan impulsif. Mereka adalah taktik dalam membongkar sistem global yang tidak lagi melayani kepentingan nasional Amerika Serikat. Dunia yang dibentuk oleh aliansi dan multilateralisme kini sedang dibongkar, demi dunia baru yang dibentuk oleh transaksi, leverage, dan kekuatan relatif.
Apa yang dilakukan Trump—dalam segala kontroversinya—memiliki rasionalitas tersendiri. Ada setidaknya tiga teori yang bisa membantu kita membaca ulang fenomena ini.
1. Strategi Keseimbangan Regional (George Friedman)
Dalam The Next Decade, Friedman mengusulkan bahwa AS tidak harus mendominasi setiap kawasan secara langsung. Cukup ciptakan penyeimbang regional. Biarkan Jepang menghadang Tiongkok di Asia Timur, biarkan Turki menjaga Timur Tengah, dan biarkan kekuatan-kekuatan lokal saling menahan.
Trump seolah menjalankan strategi ini tanpa secara eksplisit menyebutnya. Ia menarik sebagian komitmen global AS, tapi di sisi lain mendorong negara-negara sekutu untuk “naik kelas” dan bertanggung jawab atas wilayah mereka masing-masing.
2. Realpolitik dan “America First”
Teori hubungan internasional aliran realisme, seperti yang dipopulerkan oleh Hans Morgenthau dan Kenneth Waltz, menekankan bahwa negara bertindak berdasarkan kepentingan nasional dan struktur kekuasaan global. Trump mempraktikkan ini secara vulgar: semua relasi internasional adalah soal untung dan rugi. Tidak ada aliansi yang abadi. Hanya ada kepentingan.
3. Logika Machiavellian
Dalam Il Principe, Machiavelli menulis bahwa pemimpin ideal adalah mereka yang siap melakukan hal buruk demi tujuan baik. Seorang pemimpin harus terlihat kejam bila dibutuhkan. Trump menjalankan logika ini: mengancam, menyakiti sekutu lama, menciptakan ketidakpastian—bukan karena ia gila, tapi karena ia tahu itu bisa jadi alat tawar.
Belajar Hidup Tanpa AS
Pertanyaan yang paling penting sekarang bukanlah “apakah Trump akan kembali berkuasa?”—tapi “apakah dunia siap hidup tanpa Amerika sebagai pemimpin?”
Trump telah membuka satu kotak pandora besar: keraguan terhadap keabadian hegemoni AS. Bila pemimpin dunia bisa tiba-tiba menarik diri dari komitmen internasional, lantas apa jaminan dari aliansi global?
Eropa mulai panik. Mereka tahu bahwa jika Trump kembali berkuasa, NATO bisa saja dibongkar. Jepang, Korea Selatan, dan bahkan Israel mulai menghitung ulang masa depan mereka. Dunia menyadari satu hal penting: mereka terlalu lama mengandalkan punggung AS.
Ironisnya, inilah bentuk tertinggi dari hegemoni—saat keberadaan seseorang justru paling terasa ketika ia mulai mundur.
Lalu Bagaimana dengan Indonesia?
Indonesia adalah bagian dari dunia yang sedang mengalami guncangan ini. Posisi kita sebagai negara non-blok, netral, dan tidak terlalu vokal dalam pertarungan kekuatan besar seolah menjadi keuntungan. Tapi jangan salah: perubahan lanskap ini juga menyentuh kita.
Perang dagang AS–Tiongkok berdampak pada ekspor nasional. Ketegangan geopolitik mengganggu rantai pasok. Penarikan AS dari sistem global membuat kekuatan seperti Tiongkok dan India makin agresif di Indo-Pasifik—dan Indonesia terhimpit di antaranya.
Kita harus cepat beradaptasi. Tidak bisa hanya mengandalkan kebijakan “bebas-aktif” sebagai slogan. Indonesia perlu lebih strategis: memperkuat posisi dalam ASEAN, menjalin hubungan taktis dengan negara-negara kunci, serta memperkuat kapasitas ekonomi nasional agar tahan guncangan global.
Lebih dari itu, kita harus sadar: dunia baru ini dibentuk oleh negara-negara yang berani membaca masa depan dan tidak hanya jadi penonton. Bila kita gagal memahami arah angin geopolitik, kita akan jadi korban dari peta yang sedang digambar ulang.
Pada akhirnya, “Veil of The Next World Order” bukan sekadar metafora. Ini adalah tabir yang sedang disingkap oleh tangan-tangan pemimpin tak terduga seperti Donald Trump. Dunia sedang masuk babak baru, di mana kekuasaan tidak lagi dipertahankan dengan janji, tapi dengan kekuatan. Di mana aliansi dibentuk bukan karena nilai, tapi karena kebutuhan.
Trump telah mengguncang pondasi sistem internasional, dan bahkan jika ia tak kembali berkuasa, jejaknya akan tetap membekas. Kini bola ada di tangan dunia: apakah memilih menyusun ulang kekuatan secara kolektif—atau menunggu runtuh satu per satu.
Indonesia? Harus memilih jalan cerdas: menjadi penonton, korban, atau justru pemain dalam tatanan baru yang lahir dari reruntuhan hegemoni lama? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)