HomeNalar PolitikUnstoppable, Apokryphos Amien Rais

Unstoppable, Apokryphos Amien Rais

Amien Rais menyebut gerakan #2019gantipresiden “unstoppable” atau tidak dapat dihentikan. Menilik jejak Chicago connection yang dimilikinya, apakah ada rahasia terselubung – sebuah apokryphos – dalam kata-kata mantan Ketua MPR tersebut?


PinterPolitik.com

“The truth is rarely pure and never simple.”

:: Oscar Wilde (1854-1900), penyair ::

[dropcap]S[/dropcap]etelah mendapatkan tahta dari Avitus (380-457 M) berkat bantuan Jenderal Flavius Ricimer (405-472 M), Majorian (420-461 M) menjadi penguasa Kekaisaran Romawi Barat. Namun, kekuasaannya hanya bertahan selama 4 tahun. Majorian gagal membendung pergerakan bangsa Vandal di utara Afrika dan pada akhirnya harus merelakan tahtanya.

Banyak sejarawan yang menyebut Majorian sebagai salah satu kaisar yang tidak punya kompetensi dalam memimpin – selain karena faktor militer melalui Ricimer yang terlalu dominan saat itu.

Kekuasaannya pun berakhir dan – sekalipun masih ada beberapa kaisar lain yang memimpin setelahnya – periode ini menandai awal dari keruntuhan Kekaisaran Romawi yang “inevitable” atau ‘tak terhindarkan’ sebagai akibat berbagai persoalan yang terjadi di internal, maupun karena makin kuatnya serangan dari bangsa-bangsa asing.

Seribu enam ratus tahun berlalu, kini perbincangan tentang sesuatu yang “inevitable”, tak terbendung, “unstoppable”, atau tak terhindarkan kembali muncul ke permukaan. Menariknya, kata-kata tersebut keluar dari mulut politisi senior, Amien Rais.

Amien menyebut fenomena merebaknya gerakan #2019ganti presiden sebagai sesuatu yang “unstoppable” –  ‘tidak dapat dihentikan’. Gerakan politik yang digawangi oleh oposisi pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) ini memang menjadi fenomena politik yang tengah naik daun.

Bagaimana tidak, tagar tersebut sempat membuat Jokowi terlihat “marah-marah” dalam sebuah kesempatan pidato di hadapan relawannya. Ia memang sempat berkilah bahwa pidatonya ditujukan untuk memberi semangat, bukan karena kemarahan. Namun, reaksi tersebut tentu saja menunjukkan bahwa pengaruh gerakan #2019gantipresiden bukanlah sesuatu yang bisa dianggap remeh.

Mungkin, hal itulah yang menyebabkan Amien menyebutnya “unstoppable”. Kini, kata-kata Amien tersebut justru menimbulkan pertanyaan besar.

Dengan kapasitas politik dan sejarah panjang sebagai tokoh refromasi – tidak lupa pula latar pendidikannya di University of Chicago, Amerika Serikat (AS) dan berbekal Chicago connection yang dimilikinya – apakah kata-kata tersebut adalah sebuah prediksi yang tak terbantahkan?

Benarkah gerakan #2019gantipresiden telah mewakili sesuatu yang tak terhindarkan, seperti halnya kehancuran Romawi Barat pasca Majorian?

Amien Rais, Efek Ex Ante

Beberapa tahun terakhir, nama Amien Rais selalu menjadi antagonis bagi pemerintahan Presiden Jokowi. Bukan tanpa sebab, guru besar Ilmu Hubungan Internasional ini kerap melontarkan kritik terhadap Jokowi dan menganggap pemerintahan yang berkuasa saat ini tidak memperjuangkan kepentingan rakyat banyak.

Mendalami pemikiran Amien tersebut memang menjadi topik yang menarik. Sebagian pihak menyebut sosok Amien adalah pembuktian bahwa dalam perjalanan waktu, seorang politisi – dan akademisi tentunya – bisa mengalami apa yang oleh Francois Facchini dari University of Paris, disebut sebagai political ideological shift atau pergeseran ideologi politik.

Dalam pemikiran ini, Facchini menyebut pergeseran ideologi politik tersebut didasarkan pada “biaya” atau cost untuk membenarkan (justifying) ideologi tertentu. Semakin besar cost yang dikeluarkan, maka seseorang cenderung menggeser ideologi politiknya ke kutub lain dengan cost yang lebih kecil.

Baca juga :  The Tale of Two Sons

Hal ini boleh jadi yang tengah dialami oleh Amien Rais. Salah satu contohnya adalah saat reformasi, ia merupakan tokoh terdepan yang mengupayakan terbukanya keran demokrasi setelah sekian lama negara ini dikuasai oleh pemerintahan otoritarian Soeharto.

Unstoppable, Apokryphos Amien Rais

Namun, belakangan, Amien malah medukung gerakan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), organisasi massa yang justru menyebut demokrasi sebagai sistem yang tidak layak untuk dijalankan. Apakah pergeseran pandangan ini karena perubahan cost justifikasi ideologi? Hanya Amien yang tahu.

Hal lain yang menarik untuk dikaji adalah terkait kata-kata “unstoppable” – tidak dapat dihentikan – yang diucapkan Amien terkait dampak gerakan #2019gantipresiden. Apakah ini berarti Amien tahu kebenaran yang tidak diketahui oleh banyak orang?

Apakah Amien mengetahui sesuatu yang apokryphos – bahasa Yunani untuk “rahasia” atau “tersembunyi” – tentang  Pilpres 2019, mengingat kata “unstoppable” diucapkan seolah sebagai sebuah fakta politik yang akan terwujud di masa depan?

Tanpa mengurangi asas praduga tak bersalah, jawabannya boleh jadi demikian. Jika menilik latar belakang Amien, tak diragukan lagi bahwa garis pendidikannya di University of Chicago membuat besan Zulkifli Hasan ini mengetahui banyak hal. Apalagi jika berbicara tentang Chicago connection – terminologi yang “ngeri-ngeri sedap” – yang oleh banyak pihak dianggap punya pengaruh secara global. (Baca: Amien Rais Pendekar Dari Chicago)

Kata-kata “unstoppable” yang diucapkan Amien juga punya “nyawa” yang sangat mirip dengan ucapan Menteri Luar Negeri (Menlu) AS, Henry Kissinger. Penasihat Keamanan untuk Presiden Richard Nixon dan Gerald Ford itu pernah menyebut tragedi Tiananmen pada tahun 1989 di Tiongkok sebagai kejadian yang “inevitable” atau ‘tidak terhindarkan’.

Banyak spekulasi yang menyebut kata-kata “inevitable” mengindikasikan keterlibatan AS dalam tragedi tersebut. Bahkan, pemerintahan Deng Xiaoping yang berkuasa di Tiongkok saat itu menuduh AS sebagai dalang kejadian yang menewaskan antara 180 hingga 10.454 orang tersebut. Spekulasi juga menyebut aksi pembantaian itu terjadi setelah Deng mencurigai keterlibatan agen-agen CIA di belakang gerakan untuk menjatuhkan pemerintahan komunis Tiongkok.

Dalam beberapa dokumen rahasia, disebutkan bahwa pemerintah Tiongkok mencurigai aksi-aksi inteligen CIA di belakang demonstrasi mahasiswa, sehingga memaksa militer untuk melakukan tindakan kekerasan demi mengamankan negara. Hal inilah yang membuat Kissinger menyebut aksi tersebut sebagai sesuatu yang tak terhindarkan karena ia tahu hal itu memang akan terjadi.

Lalu, apakah hal itu juga berarti kata-kata “unstoppable” yang diucapkan Amien Rais mengindikasikan adanya dukungan AS terhadap gerakan #20019gantipresiden?

Jika nada bicara Amien mirip Kissinger, maka boleh jadi demikian. Hal ini juga cukup beralasan mengingat pemerintahan Jokowi cenderung makin dekat dengan Tiongkok yang belakangan punya hubungan yang “panas” dengan AS, bahkan secara ekonomi, investasi Tiongkok telah lebih besar dari AS.

Selain itu, persoalan yang berhubungan dengan AS, katakanlah misalnya dalam kasus Freeport, hingga kini juga masih belum menemukan penyelesaian. Jokowi terlihat bersikeras memperjuangkan kepemilikan saham perusahaan yang mengelola tambang emas terbesar di dunia itu.

Baca juga :  Gibran, Utang Moral AHY ke Jokowi-Prabowo?

Kemudian, Jokowi juga dinilai menerapkan kebijakan proteksionis terhadap produk-produk pertanian asal AS. Hal tersebut salah satunya diungkapkan oleh Dubes AS untuk Indonesia Joseph R Donovan pada akhir 2017 lalu.

Oleh karena itu, kata-kata Amien Rais boleh jadi adalah ex ante – sesuatu yang diucapkan sebelum kejadiannya terjadi di 2019 nanti. Tentu pertanyaannya adalah benarkah Jokowi kehilangan dukungan dari AS?

Badiou dan Apokryphos Amien

Ada banyak faktor yang mempengaruhi apakah sebuah pernyataan bisa dianggap sebagai kebenaran. Lalu, apakah “unstoppable” yang diucapkan oleh Amien adalah sebuah kebenaran?

Filsuf Prancis, Alan Badiou pernah menyebut “truth” atau kebenaran sebagai sesuatu yang berhubungan dengan “event” atau kejadian. Ia mendefinisikan truth sebagai serangkaian pernyataan atau diskursus yang berangkat dari sebuah kejadian dan mengikuti kejadian itu. Artinya, tidak akan ada kebenaran tanpa kejadian.

Dalam konteks #2019gantipresiden sebagai sebuah gerakan, tentu saja pernyataan Amien adalah kebenaran karena gerakan ini sedang terjadi dan sedang masif-masifnya dikampanyekan.

Namun, dalam konteks “unstoppable” sebagai tujuan akhir “mengganti presiden di Pilpres 2019”, kata-kata Amien tentu saja – dalam konteks pemikiran Badiou – masih jauh dari kebenaran. Pernyataan Amien adalah sebuah ex ante – atau before the events – sehingga belum melekat pada event yang ia maksud, yakni bergantinya presiden di 2019 nanti.

Walaupun demikian, ada tujuan mengapa tulisan ini menggunakan kata apokryphos untuk mewakili kebenaran yang tersembunyi – selain karena istilah untuk kata ini sulit ditemukan dalam bahasa Indonesia. Pernyataan Amien tetap harus membuat kubu Jokowi waspada.

Faktanya, paranoia Deng Xiaoping memang menghasilkan pembantaian besar-besaran di lapangan Tiananmen. Namun, kejadian tersebut membuat kekuasaannya aman dari campur tangan asing, sekaligus mengamankan negara Tiongkok dari pergolakan politik yang lebih besar.

Artinya, jika tidak menelisik maksud kata-kata Amien, sangat mungkin kekuasaan Jokowi akan benar-benar terancam di 2019, apalagi jika itu adalah sebuah kebenaran apokryphos.

Jokowi harus menyikapi kata-kata “unstoppable” Amien sebagai sebuah “ancaman” – tentu saja bukan berarti dengan jalan menggunakan kekerasan seperti yang digunakan Deng Xiaoping. Mungkin yang bisa dilakukan Jokowi adalah mereflekasikan kembali kebijakan politiknya terhadap AS, apakah selama ini sudah tepat?

Kata-kata Amien mungkin belum menjadi truth seperti yang dikatakan Badiou karena masih harus dibuktikan pada 2019 nanti. Namun, untuk seseorang yang telah mengalami political ideological shift seperti Amien dan fakta rekam jejaknya dalam hubungan dengan AS, truth menjadi sangat relatif.

Dengan demikian, seperti kata Oscar Wilde di awal tulisan ini, kebenaran tidak pernah sederhana. Jika Jokowi mengabaikannya, maka mungkin kisah Majorian akan terulang di republik ini. (S13)

 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

Puan-Mega, Ada ‘Perang Sipil’ PDIP? 

Berbeda dari Megawati Soekarnoputri, Puan Maharani belakangan tunjukkan gestur yang lebih lembut kepada pemerintah dan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Mengapa demikian?

Ketua DPR, Golkar Lebih Pantas? 

Persaingan dua partai politik (parpol) legendaris di antara Partai Golkar dan PDIP dalam memperebutkan kursi Ketua DPR RI mulai “memanas”. Meskipun secara aturan PDIP paling berhak, tapi beberapa pihak menilai Partai Golkar lebih pantas untuk posisi itu. Mengapa demikian?

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Lolos “Seleksi Alam”, PKS-PKB Seteru Abadi?

Berkaca pada hasil Pileg 2024, PKB dan PKS agaknya akan menjadi dua entitas politik yang akan terlibat dalam persaingan ceruk suara pemilih Islam ke depan. Terlebih di saat PAN seakan telah melepaskan diri dari karakter Islam dan PPP harus “terdegradasi” dari kancah legislatif nasional.

Jokowi Makin Tak Terbendung?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) dirumorkan meminta jatah menteri dari pemerintahan Prabowo Subianto. Apakah Jokowi makin tak terbendung?

Elon Musk dan Dimulainya Era Feudalisme Teknologi 

Perusahaan teknologi raksasa seperti Apple dan Starlink semakin memiliki keterikatan dengan dinamika politik. Jika pola ini terjaga, akan seperti apa pengaruhnya terhadap dunia politik di masa depan? 

Prabowonomics: Jurus ‘Lompatan Katak’?

Program makan siang dan susu gratis ala Prabowo merupakan jenis school feeding program. Mungkinkah ini jadi kunci penting Prabowonomics?

More Stories

Anomali PSI: Gagal Karena Kuasa Jeffrie Geovanie?

Kegagalan PSI untuk lolos ke parlemen pusat dalam dua gelaran Pemilu berturut-turut memang menimbulkan pertanyaan besar.

The Tale of Two Sons

Jokowi dan SBY bisa dibilang jadi presiden-presiden yang berhasil melakukan regenerasi politik dan sukses mendorong anak-anak mereka untuk terlibat di dunia politik.

Gemoy Effect: Prabowo Menang Karena TikTok Wave?

TikTok menjadi salah satu media kampanye paling populer bagi pasangan Prabowo-Gibran di Pilpres 2024.