HomeHeadlineThe Tale of Two Presidents’ Sons

The Tale of Two Presidents’ Sons

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Gibran dan AHY disebut-sebut sebagai 2 nama terdepan yang didorong untuk jadi cawapres bagi Prabowo di Pilpres 2029 mendatang, andai sang presiden maju lagi. Keduanya mewakili era pemerintahan yang berbeda: Gibran putra Jokowi, sedang AHY putra SBY. Pilihan atas keduanya bisa melahirkan konsekuensi bagi dinamika politik di pemerintahan Prabowo ke depannya.


PinterPolitik.com

Di sebuah negeri demokrasi yang sedang tumbuh, dua figur muda menjadi simbol dari kelanjutan dinasti politik—bukan sebagai pewaris takhta dalam sistem monarki, tapi sebagai anak-anak dari dua presiden republik yang berbeda zaman.

Gibran Rakabuming Raka, Wakil Presiden termuda dalam sejarah Indonesia, adalah putra dari Presiden ke-7, Joko Widodo. Di sisi lain, ada Agus Harimurti Yudhoyono (AHY), Menteri Koordinator Bidang Infrastruktur dan Pembangunan Kewilayahan, yang adalah putra dari Presiden ke-6, Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).

Kedua nama ini bukan hanya sekadar anak mantan presiden di hari-hari ini. Mereka adalah pemain utama dalam kontestasi kekuasaan masa depan, dan dalam bayang-bayang Pilpres 2029, mereka mungkin akan berdiri berdampingan atau berhadap-hadapan, sebagai calon wakil presiden bagi tokoh yang sama: Prabowo Subianto. Di sinilah cerita ini dimulai—sebuah narasi yang akan membentuk arah politik Indonesia di dekade berikutnya.

Gibran dan AHY membawa dua narasi berbeda dalam politik nasional. Gibran, dengan gayanya yang cepat, pendek-pendek, dan terkesan memeable, memproyeksikan diri sebagai representasi generasi muda. Ia masuk ke gelanggang politik dengan kecepatan luar biasa, melompat dari Wali Kota Solo ke Wakil Presiden hanya dalam waktu kurang dari lima tahun.

Namun, langkah cepat ini justru menjadi pisau bermata dua. Keputusannya maju sebagai cawapres lewat jalan kontroversial—putusan Mahkamah Konstitusi yang membuka jalan karena faktor “pengalaman sebagai kepala daerah” dan kedekatannya sebagai anak Presiden—membuat legitimasinya terus digugat. Gibran, bagi sebagian publik, adalah simbol dari erosi etika demokrasi dan manifestasi dari politik kekerabatan.

Sementara itu, AHY menjalani jalur politik yang lebih panjang dan konvensional. Mantan prajurit TNI lulusan Harvard Kennedy School ini memulai kiprahnya dengan modal karisma dan citra intelektual. Gagal dalam Pilkada DKI 2017 tak membuatnya surut.

Ia naik perlahan tapi konsisten, membangun Demokrat, memimpin partai dalam masa-masa sulit, dan akhirnya masuk kabinet Prabowo sebagai Menteri Koordinator. Tak ada putusan MK, tak ada jalan tikus kekuasaan. AHY seperti membangun citranya dari bawah, walau tetap dibantu oleh nama besar sang ayah.

Kedua sosok ini merepresentasikan dua wajah baru dalam politik Indonesia pasca-reformasi: Gibran sebagai simbol akselerasi kekuasaan melalui relasi elite dan rekayasa hukum, AHY sebagai representasi strategi jangka panjang yang lebih konvensional namun relatif bersih dari skandal.

Baca juga :  AHY Indonesia's Next Chapter?

Dalam pertarungan menuju 2029, bukan cuma kompetensi atau elektabilitas yang akan diuji, tapi juga persepsi publik tentang siapa yang lebih pantas, siapa yang lebih “alami” menjadi pemimpin masa depan. Pertanyaannya adalah siapa yang akan unggul?

Warisan, Dinasti dan Kekuasaan

Fenomena politik dua anak presiden ini membuka ruang untuk membaca ulang konsep-konsep klasik dalam ilmu politik. Pertama adalah teori “patrimonialism” yang dikembangkan oleh Max Weber.

Dalam struktur patrimonial, kekuasaan diturunkan melalui hubungan personal dan loyalitas, bukan sistem meritokrasi. Gibran dan AHY adalah produk dari sistem yang memungkinkan legitimasi diperoleh bukan hanya dari kompetensi, tapi dari garis keturunan dan loyalitas terhadap figur sentral: ayah mereka. Dalam hal ini, Jokowi dan SBY tidak hanya mewariskan kekuasaan secara simbolik, tetapi juga membuka jalur bagi anak mereka untuk menjadi bagian dari elite politik.

Kedua, kita bisa menilik konsep “elite reproduction” dari Pierre Bourdieu. Dalam bukunya La Noblesse d’État, Bourdieu menjelaskan bagaimana elite mempertahankan dominasinya melalui reproduksi sosial dan simbolik.

Pendidikan elite, akses terhadap jaringan kekuasaan, dan kemampuan membentuk opini publik adalah alat utama. AHY, dengan latar belakang pendidikan internasional dan militer, serta citra sebagai tokoh muda berintegritas, mencerminkan strategi reproduksi elite yang lebih halus dan terstruktur. Sementara Gibran mencerminkan jalur reproduksi yang lebih langsung—menggunakan relasi kekuasaan ayahnya secara terbuka, meski tidak selalu disukai publik.

Ketiga adalah teori “political branding” yang populer dalam kajian komunikasi politik. Seorang calon pemimpin hari ini tidak cukup hanya punya prestasi atau ideologi; ia harus punya “citra”. Gibran membangun brand sebagai anak muda pragmatis dan dekat dengan budaya digital, tapi ia juga terjebak dalam persepsi negatif sebagai produk sistem.

AHY, sebaliknya, menjaga citranya sebagai pemimpin masa depan yang tenang, elegan, dan terukur. Brand ini dibentuk bukan hanya lewat gaya bicara atau penampilan, tetapi juga lewat konsistensi narasi yang ia bangun sejak awal terjun ke politik.

Ketiga teori ini memperlihatkan bahwa yang terjadi hari ini bukan sekadar kontestasi dua individu, tapi benturan antara dua model reproduksi kekuasaan: satu yang cepat, oportunistik, dan didorong oleh hubungan patronase; dan satu lagi yang lambat, konvensional, dan berbasis pada strategi jangka panjang. Publik akan memilih bukan hanya siapa yang mereka suka, tapi siapa yang mereka anggap paling “autentik” sebagai pemimpin.

Pilihan Strategis Prabowo

Di tengah dua arus ini, Prabowo menjadi tokoh kunci. Jika ia benar-benar maju kembali di 2029—sesuatu yang kini bukan lagi sekadar spekulasi—maka pilihan cawapres akan menjadi arena kompromi besar.

Baca juga :  Prabowo's Revolusi Hijau 2.0?

Prabowo bukan hanya membutuhkan pendamping yang bisa mendongkrak elektabilitas, tapi juga yang bisa menjaga stabilitas koalisi. Dalam konteks ini, baik Gibran maupun AHY menawarkan keuntungan sekaligus risiko.

Gibran menawarkan kesinambungan. Dengan menjadi cawapres Prabowo sejak 2024, ia bisa menawarkan stabilitas politik dan jembatan menuju relasi yang lebih dalam dengan kelompok loyalis Jokowi.

Namun, bayang-bayang kasus MK dan resistensi publik yang belum sepenuhnya reda bisa menjadi beban elektoral. Jika Prabowo memilih Gibran lagi, maka ia harus siap menghadapi gelombang kritik tentang demokrasi yang makin elitis.

AHY menawarkan hal berbeda. Ia bisa mengonsolidasikan kekuatan Demokrat dan pemilih kelas menengah yang ingin wajah baru dalam politik nasional. Ia membawa nama besar SBY, tapi tanpa beban etika seperti Gibran.

Selain itu, AHY relatif bisa diterima oleh segmen pemilih nasionalis dan religius—dua blok penting dalam peta politik 2029. Namun, posisinya di luar lingkaran utama “Jokowi’s boys” bisa menjadi kendala, terutama jika Jokowi masih punya pengaruh besar di pemerintahan.

Dari sisi kalkulasi politik, Prabowo mungkin akan tergoda memilih Gibran demi menjaga hubungan baik dengan Jokowi dan mengamankan stabilitas elite. Namun jika tujuannya adalah menang telak dan mendapatkan legitimasi baru dari publik, AHY tampaknya lebih menjanjikan. Pilihan ini bukan hanya soal loyalitas atau kedekatan personal, tetapi soal membaca arah angin: apakah publik ingin kontinuitas, atau ingin perubahan?

Pada akhirnya, publik akan melihat bukan sekadar kompetisi dua tokoh muda, tetapi refleksi atas masa depan demokrasi Indonesia. Apakah kita akan terus hidup dalam politik yang dibentuk oleh nama belakang dan koneksi elite? Atau kita sedang menyaksikan transisi menuju politik merit dan kredibilitas?

Gibran dan AHY adalah simbol dari dua kutub yang berbeda. Gibran mewakili era pasca-Jokowi yang pragmatis, cepat, dan sangat transaksional. AHY mewakili harapan terhadap model kepemimpinan yang lebih konvensional namun punya akar institusional yang kuat. Pilihan Prabowo terhadap siapa di antara mereka yang akan mendampinginya nanti bukan hanya soal strategi, tetapi juga akan menentukan arah demokrasi ke depan.

Dan bagi publik, kisah dua anak presiden ini bukan sekadar tontonan politik. Ini adalah soal warisan. Warisan dari sistem politik yang mereka representasikan, dan masa depan bangsa yang akan mereka pimpin—entah sebagai pemimpin sejati, atau sekadar bayangan dari kekuasaan yang diwariskan. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ini Kekuatan Tersembunyi Xi Jinping? 

90% aktivitas perdagangan dunia dilakukan melewati jalur laut. Menariknya, Tiongkok kini jadi salah satu negara dengan pengaruh terbesar di sektor ini. Bagaimana dampaknya terhadap konstelasi geopolitik global? 

Epik! Kisah Negara “Immortal”, Etiopia

Etiopia menjadi salah satu negara dengan budaya peradaban paling tua di dunia saat ini. Apa rahasianya?

Cilukba PSI!

PSI mewacanakan Pemilu Raya, yakni pemilihan Ketua Umum partai secara langsung oleh anggotanya.

Thrilling Saga: Pangudi Luhur dan Taruna Nusantara

Kabar hangat penunjukan Bimo Wijayanato sebagai Direktur Jenderal Pajak, Kementerian Keuangan menyingkap latar belakang pendidikannya, terutama jenjang pendidikan menengah di SMA Taruna Nusantara. Menariknya, Tarnus melahirkan banyak sosok elite birokrasi, politik, dan pemerintahan belakangan ini, sebagaimana terjadi pada SMA Pangudi Luhur Jakarta. Lalu, apa yang dapat dimaknai dari fenomena ini?

Misteri Dua Power: Kisah Sandi dan Erick?

Sandiaga Uno kembali mencuat dalam politik nasional lewat wacana jadi Ketum PPP. Apakah ini bagian dari strategi jangka panjangnya menuju 2029?

“Original Sin”, Indonesia Harusnya Adidaya Antariksa? 

Di era Orde Lama dan awal Orde Baru, Indonesia pernah meluncurkan roket buatan sendiri dan dipandang sebagai kekuatan teknologi yang menjanjikan. Namun, menjelang Reformasi, semangat itu memudar.  

Utut, The Next Grandmaster PDIP?

Grandmaster catur yang bertransformasi menjadi elite PDIP, Utut Adianto menjadi nama menarik dalam bursa Sekretaris Jenderal PDIP andai benar-benar dilepaskan dari Hasto Kristiyanto. Lalu, mengapa nama Utut muncul dan diperhitungkan?

“A Desert Storm” Bayangi Kemenkeu?

Dinamika dan beberapa variabel substansial mengenai penerimaan negara di bawah Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto terus berkembang. Terbaru, penunjukan Hadi Poernomo sebagai Penasihat Khusus Presiden Bidang Penerimaan Negara menjadi salah satu variabel menarik yang memantik interpretasi mengenai keterkaitannya dengan kinerja Kementerian Keuangan serta masa depannya. Mengapa demikian?

More Stories

Cilukba PSI!

PSI mewacanakan Pemilu Raya, yakni pemilihan Ketua Umum partai secara langsung oleh anggotanya.

Misteri Creative Destruction Ijazah Jokowi

Kasus ijazah Jokowi memang jadi pergunjingan paling menyita perhatian publik dalam beberapa minggu terakhir.

The Next Rise of Golkar

Bahlil Lahadalia lakukan safari ke daerah-daerah dan ke organisasi-organisasi sayap Partai Golkar.