Dengarkan artikel ini:
Pemerintah resmi menyatakan bahwa 4 pulau yang diperebutkan Aceh dan Sumatera Utara kembali menjadi milik Aceh. Warganet menanggapinya dengan menghadirkan terminologi “Geng Solo” – yang sebetulnya sudah muncul sejak lama – dalam pergunjingan dan diskursus politik. Sebutan ini seolah menjadi predikat melekat pada Jokowi dan jaring-jaring kekuasaannya, termasuk dalam konteks posisi sang menantu yang jadi Gubernur Sumatera Utara, Bobby Nasution, di kasus 4 pulau.
Di tengah dinamika politik nasional pasca Pemilu 2024, sebuah istilah perlahan menjadi bagian dari diskursus publik: “Geng Solo”. Ungkapan ini bukan sekadar plesetan geografis. Ia memuat muatan kritik, sinisme, sekaligus penanda kekuatan jaringan yang telah bertahun-tahun dibangun oleh Presiden ke-7 RI, Joko Widodo (Jokowi), sejak dirinya menjabat Wali Kota Solo, hingga kini menjadi tokoh sentral dalam peta kekuasaan nasional—meski secara formal tidak lagi menjabat sebagai kepala negara.
Geng Solo adalah istilah yang menggambarkan konfigurasi kekuasaan berbasis kekerabatan, loyalitas, dan asal-usul daerah. Ia mengacu pada lingkaran kekuasaan Jokowi yang mencakup anak-anaknya, menantunya, para menteri yang menjadi “orang-orangnya Jokowi” atau dikenal dekat secara personal, serta elite-elite di Polri, TNI, dan birokrasi yang dikenal sebagai bagian dari “orang-orangnya Jokowi”.
Istilah ini makin ramai dipergunjingkan publik ketika konflik administratif dan politik mengenai kepemilikan empat pulau antara Aceh dan Sumatera Utara mencuat. Salah satu tokoh yang terlibat adalah Bobby Nasution, Gubernur Sumatera Utara sekaligus menantu Jokowi.
Dalam polemik tersebut, keputusan akhirnya memihak pada Aceh—tapi bukan itu yang jadi sorotan. Nama Bobby, Tito Karnavian (Mendagri), dan sejumlah aktor lain disebut sebagai bagian dari Geng Solo.
Bahkan, narasi di media sosial menyebut bahwa keputusan ini menunjukkan mulai melemahnya pengaruh jaringan tersebut, karena meskipun “mereka mengatur”, hasil akhirnya tidak berpihak. Presiden Prabowo dinilai sedang berupaya menyeimbangkan posisi kekuasaan agar ada di bawha kendalinya.
Situasi ini diperkuat dengan kehadiran Gibran Rakabuming Raka sebagai Wakil Presiden mendampingi Prabowo. Posisi itu secara tidak langsung menjadi simbol formalisasi pengaruh Geng Solo dalam pemerintahan. Meskipun Prabowo kini memegang kendali utama pemerintahan, tak bisa disangkal bahwa bayang-bayang keluarga Jokowi tetap menyertai.
Seiring berkembangnya zaman, Geng Solo bukan hanya jadi julukan. Ia telah menjelma menjadi terminologi politik. Ia menandai kritik terhadap sistem patronase yang berbasis asal-usul dan loyalitas, bukan pada kompetensi. Pengaruh Geng Solo tak hanya terlihat di pemerintahan, tapi juga di BUMN, lembaga hukum, bahkan dunia usaha.
Pertanyaannya, bagaimana kita harus memahami gejala ini secara teoritis? Dan apa implikasinya terhadap legitimasi kekuasaan Prabowo saat ini?
Dinasti, Patronase, dan Hegemoni Lokal
Untuk memahami Geng Solo sebagai gejala politik, kita perlu menarik benang merah dari tiga kerangka teori: dinasti politik, patron-klien, dan hegemoni lokal.
Pertama, teori dinasti politik. Scholars seperti Kanchan Chandra menyebut bahwa dinasti politik tumbuh subur di sistem demokrasi yang lemah institusinya. Dalam konteks Indonesia, demokrasi prosedural tidak selalu menghasilkan meritokrasi. Jokowi, meskipun berasal dari kelas menengah bawah, membangun kekuatan politiknya bukan hanya lewat pencapaian, tapi juga melalui rekrutmen keluarga.
Gibran jadi Wali Kota Solo, lalu Wapres. Bobby jadi Wali Kota Medan, lalu Gubernur Sumatera Utara. Putra bungsunya, Kaesang Pangarep, juga disebut-sebut sedang dipersiapkan untuk arena politik berikutnya. Geng Solo adalah bentuk artikulatif dari politik dinasti itu sendiri—ia bukan sekadar realitas, tapi simbol.
Kedua, kerangka patron-klien. James C. Scott dan Edward Banfield menjelaskan bahwa dalam sistem patronase, loyalitas lebih dihargai ketimbang kompetensi. Geng Solo bukan hanya keluarga. Ia juga mencakup lingkaran loyalis yang tumbuh bersama Jokowi: dari Menteri hingga kepala lembaga, dari kepala daerah hingga perwira tinggi.
Struktur ini menciptakan jaringan kekuasaan informal yang kerap lebih efektif dari struktur formal. Penunjukan-penunjukan strategis yang tidak sepenuhnya transparan memperkuat anggapan bahwa Geng Solo tak hanya kuat, tapi juga sulit digoyang.
Ketiga, kita bisa pakai analisis hegemoni lokal dari Antonio Gramsci. Hegemoni adalah kekuasaan yang tampak alami karena berhasil mempengaruhi cara berpikir dan bertindak masyarakat. Dalam hal ini, Jokowi membangun hegemoni lewat citra sederhana, dekat rakyat, dan keberhasilan infrastruktur. Geng Solo kemudian hadir sebagai warisan dari hegemoni tersebut.
Masyarakat yang masih melihat Jokowi sebagai figur ideal—terlepas dari kritik—secara tidak sadar menerima kehadiran keluarga dan loyalisnya sebagai kelanjutan dari kesuksesan. Di titik ini, Geng Solo tidak lagi sekadar jaringan politik, tapi simbol hegemoni budaya yang menjalar ke dalam birokrasi dan pemerintahan.
Namun, ketiga teori ini juga mengingatkan bahwa dinasti, patronase, dan hegemoni bisa runtuh ketika tak lagi ditopang konsensus sosial. Dan di sinilah tantangan Prabowo berada.
Menghadapi Bayangan Geng Solo
Sebagai Presiden, Prabowo kini memiliki otoritas formal dan politik. Namun kehadiran Geng Solo menjadi semacam “kekuasaan dalam kekuasaan”. Apalagi pengaruhnya nyata. Ia hadir dalam bentuk keputusan politik yang berat sebelah, jabatan strategis yang diwariskan, dan konflik kepentingan yang mengaburkan batas antara keluarga dan negara.
Langkah pertama yang perlu dilakukan Prabowo adalah menata ulang struktur kekuasaan birokrasi dan pemerintahan. Tanpa harus mendiskriminasi siapapun yang punya hubungan dengan Jokowi, Prabowo perlu memastikan bahwa setiap posisi diisi berdasarkan kompetensi dan integritas, bukan loyalitas terhadap masa lalu. Reformasi internal kabinet dan lembaga menjadi penting untuk memastikan bahwa program-program baru benar-benar dijalankan sesuai arah kebijakan Presiden.
Langkah kedua adalah menghidupkan kembali meritokrasi politik. Prabowo harus memastikan bahwa generasi baru elite tidak lahir dari kekerabatan, tapi dari kompetisi. Program rekrutmen kepemimpinan muda, pelatihan birokrasi berbasis kinerja, hingga pembukaan ruang kritik di internal pemerintahan bisa menjadi cara untuk menggeser dominasi Geng Solo ke arah tatanan baru yang lebih sehat.
Langkah ketiga, dan mungkin yang paling penting, adalah membangun narasi tandingan secara kultural dan simbolik. Jika Jokowi membangun citra sederhana dan “orang biasa,” maka Prabowo perlu membangun imaji pemimpin negarawan—yang tegas, inklusif, dan berorientasi pada masa depan. Narasi ini penting agar publik tidak terjebak pada nostalgia terhadap figur lama, tapi percaya pada visi baru yang ditawarkan.
Geng Solo mungkin bukan organisasi, tapi ia adalah fenomena. Ia lahir dari sistem yang longgar, budaya politik yang permisif, dan kelemahan institusional yang kronis. Tapi ia juga bisa padam ketika sistem diperkuat, politik diperbaiki, dan rakyat diberi alternatif.
Kini bola ada di tangan Prabowo. Akankah ia membiarkan matahari masa lalu tetap bersinar di langit pemerintahannya, atau menyalakan obor baru yang lebih terang dan adil? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)