HomeNalar PolitikSosialis Milenial Indonesia, Akankah Bangkit?

Sosialis Milenial Indonesia, Akankah Bangkit?

Dunia sedang dikejutkan dengan kemunculan kesadaran Sosialisme Milenial yang diadopsi oleh beberapa politisi, seperti Alexandria Ocasio-Cortez dan Jeremy Corbin sebagai “jalan ketiga” untuk menjawab dampak sosial kapitalisme di Barat. Sosialisme milenial nyatanya mampu menarik 51 persen generasi muda AS dan membuat Alexandria Ocasio-Cortez meraih jabatan anggota Kongres. Lalu, akankah hal serupa terjadi juga di Indonesia?


PinterPolitik.com

[dropcap]B[/dropcap]eri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.

Demikianlah kutipan dari Soekarno, sang founding father Republik Indonesia yang cukup terdengar heroik di telinga anak muda, apalagi jelang peringatan hari sumpah pemuda.

Itu artinya, kaum muda masih menjadi faktor penting dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, terutama dalam politik.

Kini, “generasi milenial” menjadi sebutan yang acap kali digunakan untuk mengganti istilah kelompok muda tersebut karena saat ini mereka-mereka yang lahir di era 1980-an sampai jelang tahun 2000 lah yang ada di kategori umur tersebut .

Di Indonesia sendiri, term milenial juga kerap kali dihubungkan dengan generasi muda yang aktif dalam berbagai kegiatan sosial dan politik.

Baru-baru ini, majalah The Economist menerbitkan edisi khusus yang membahas fenomena munculnya apa yang disebut sebagai sosialisme milenial.

Kemunculan sosialisme milenial ini disinyalir diinisiasi oleh politisi perempuan termuda Amerika Serikat (AS),  Alexandria Ocasio-Cortez dan pemimpin Partai Buruh di Inggris, Jeremy Corbin.

Istilah ini muncul setelah survei dari Gallup mengungkapkan bahwa sebanyak 51 persen generasi milenial di AS mengaku melihat paham sosialisme secara positif.

Di beberapa negara lain juga menunujukkan tren serupa. Salah satunya di Prancis, di mana hampir sepertiga kaum mudanya memilih kandidat presiden berhaluan kiri pada Pemilu 2017 lalu.

Konon, penyebab meningkatnya angka milenial yang menyukai paham sosialis ini disebabkan karena kegagalan kapitalisme dalam menjawab berbagai persoalan ketimpangan ekonomi, kemiskinan dan perubahan iklim yang kini disebut menjadi konsen kaum muda.

Lalu bagaimanakah dengan Indonesia? Mungkinkah pemuda di Indonesia juga akan menggandrungi jalan politik sosialisme layaknya di AS dan Prancis? Mungkinkah sosialisme millenial juga mampu menjadi solusi terbaik memecah sengkarut suhu politik jelang Pilpres 2019 yang semakin memanas?

Sosialisme Bangkit dari Kubur

Alexandria Ocasio-Cortez, politisi perempuan berusia 29 tahun sekaligus keturunan kelas pekerja kulit berwarna, berhasil mendobrak kemapanan politik AS. Ia berhasil memenangkan Pemilu Sela atau midterm election untuk Dewan Perwakilan (House of Representatives) AS.

Ia juga menjadi anggota kongres termuda dalam sejarah politik AS dan dikenal sebagai politisi progresif yang secara terbuka mendaku diri sebagai seorang sosialis.

Sebagai anak muda dan sosialis, ia menjadi inspirasi bagi kemunculan sosialisme milenial di AS, bahkan di seluruh dunia.

Kemenangan Ocasio-Cortez sangat mungkin yang menginspirasi Bernie Sanders, politisi sosialis berusia 77 tahun, untuk kembali lagi dalam gelanggang pertempuran Pilpres AS melawan Trump dan Elizabet Warren di tahun 2020 nanti.

Lantas apa itu sosialisme dan bagaimana pertaliannya dengan sosialisme milenial?

Paham sosialisme tentu tidak asing bagi para pemerhati ilmu sosial. Michael Newman dalam bukunya Socialism: A Very Short Introduction menyebutkan ciri dasar sosialisme sebagai sebuah ideologi adalah komitmen terhadap pembentukan masyarakat yang setara dan relasi kepemilikan kapital dianggap sebagai hambatan struktural bagi penciptaan masyarakat yang setara itu.

Sedangkan dalam konteks politik kenegaraan, sosialisme sendiri merupakan jalan yang ditempuh oleh suatu pemerintahan dengan melakukan kontrol terhadap faktor produksi dan sumber daya yang digunakan untuk mencapai masyarakat yang tanpa kelas.

Uni Soviet dan Venezuela merupakan dua contoh negara yang menggunakan sistem pemerintahan ini. Namun sayang, sosialisme Uni Soviet harus runtuh, sementara Venezuela pun kini sedang mengalami krisis ekonomi yang tak berkesudahan.

Di Indonesia, pernah ada partai yang mengusung ideologi sosialis. Adalah Partai Sosialis Indonesia  (PSI) yang didirikan oleh Sutan Sjahrir pada 19 November 1945 yang jadi platform politik paham tersebut.

Sayangnya, partai ini harus dibubarkan oleh Presiden Soekarno yang menurut sejarawan M.C. Ricklefs, akibat permusuhan para pemimpin partai tersebut terhadap Soekarno selama bertahun-tahun, sikap oposisi terhadap demokrasi terpimpin, dan keterlibatan dalam peristiwa Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI).

Kemudian, di era Orde Baru hingga kini, sosialisme sendiri menjadi sebuah istilah yang ditabukan karena dianggap sama dengan komunisme – sekalipun paham terakhir sesungguhnya adalah bentuk ekstrem dari sosialisme.

Sebagai sebuah ideologi, sosialisme cukup mendapat tempat di hati para milenial di Indonesia, terutama dalam kajian-kajian di kampus dan gerakan aktivisme. Buku-buku tentang sosialisme dan tokoh-tokohnya – seperti Karl Marx, Friedrich Engels, hingga Tan Malaka – menjadi icon yang cukup populer di kalangan anak muda.

Contohnya adalah  gelaran Kiri Fest, sebuah acara diskusi tentang sosialisme dan komunisme yang beberapa waktu lalu sempat menghebohkan publik dan sempat dirazia oleh pihak berwajib.

Selain itu, beberapa waktu yang lalu, pemerintah bersama militer juga melakukan razia dan penyitaan buku yang terkait dengan paham sosialisme dan komunisme di Kediri.

Hal tersebut menunjukkan bahwa antusiasme generasi muda Indonesia terhadap sosialisme sesungguhnya juga masih cukup tinggi.

Namun, sebagai gerakan politik, nampaknya sosialisme milenial masih belum begitu menggema. Mungkin hanya Sjahrir satu-satunya tokoh yang berani mendaku sebagai penganut ideologi sosialisme dan mengejawantahkannya dalam bentuk gerakan politik. Kalaupun ada, tokoh-tokoh tersebut masih belum berani muncul ke permukaan.

Mencari Milenial Sosialis Indonesia

Dalam konteks gerakan politik milenial di Indonesia, munculnya Partai Solidaritas Indonesia  (PSI) yang mendaku diri sebagai partai politiknya anak muda, tentu menarik perhatian.

Memiliki singkatan mirip dengan Partai Sosialis Indonesia, kemunculan PSI awalnya memunculkan harapan akan lahirnya gerakan politik progresif ala-ala kelompok sosialis.

Dengan mengusung gerakan progresif anak muda, kiprah PSI dalam perpolitikan nasional mulai mendapat atensi secara luas, sekalipun secara ideologi, partai ini tidak bisa dibilang sosialis.

Memang partai yang dipimpin oleh Grace Natalie ini dalam beberapa kesempatan menunjukkan sikap-sikap progresif yang lebih mengarah pada upaya mendobrak status quo budaya politik Indonesia yang distigmakan dipenuhi oleh elite-elite korup dan konservatif.

Misalnya saja upaya PSI menentang adanya Perda Syariah, hingga mengecam praktik poligami yang mendatangkan kritikan dari banyak pihak.

Namun, seiring dinamisnya kondisi politik tanah air, eksistensi PSI nampaknya dipertanyakan banyak pihak. Elektabilitas PSI dalam survei terbaru Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA hanya menyentuh angka 0,4 persen, jauh dari batas Parliamentary Threshold 4 persen.

Jika ditarik benang merah dengan kemunculan fenomena sosialisme milenial yang begitu booming di AS, sesungguhnya kemunculan PSI ini – meski berbeda ideologi – juga didasari dengan semangat yang sama, yakni menggugat status quo.

Sosialisme milenial menggugat status quo kapitalisme yang dianggap gagal, sedangkan PSI meggugat status quo budaya politik di Indonesia yang korup dan konservatif.

Millenial sosialis apa bedanya dengan sosialis zaman old? Share on X

Pencapaian dua gerakan ini juga berbeda. Sosialisme milenial cenderung lebih disukai oleh kelompok muda dan bahkan tokohnya berhasil menduduki kursi parlemen, sedangkan survei elektabilitas PSI justru tak selaras dengan semangat milenial di Indonesia.

Tokoh yang dimunculkan oleh PSI juga tak bisa menjadi icon gerakan pemuda secara populer. Partai ini justru sekadar menampilkan tampilan sis dan bro yang ganteng dan cantik. Meskipun kader PSI pintar-pintar dan memiliki latar belakang pendidikan yang cukup mumpuni, nyatanya hal tersebut bukan jaminan juga bahwa mereka populer di kalangan kaum terpelajar.

Pada akhirnya, kemunculan PSI di Indonesia memang belum bisa menjadi sebuah fenomena besar layaknya popularitas Ocasio-Cortez yang kini begitu mendapat tempat di hati kaum milenial AS.

Yang jelas, sosialisme milenial – yang sekalipun disebut The Economist tak ada bedanya dengan sosialisme lama yang hanya menjadi jargon dan bukan menjadi solusi bagi permasalahan yang dihadapi kapitalisme – telah menarik simpati kaum muda untuk aktif terlibat dalam politik.

Lalu bagaimanakah dengan jargon terbuka dan progresif PSI? Masihkah jargon tersebut laku dijual seiring semakin dekatnya hari pencoblosan? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (M39)

Baca juga :  Ambang Batas MK: Anies “Ancam” Jokowi?
spot_imgspot_img

#Trending Article

100 Hari, Prabowo Justru Insecure?

Meski tak serta merta dapat dijadikan generalisir, dengan kinerja 100 hari yang cenderung jamak dinilai belum maksimal, penilaian terhadap bagaimana Presiden Prabowo Subianto memegang kendali nahkoda RI bermunculan. Utamanya, mengenai kemantapan prinsip kepemimpinan Presiden Prabowo di tengah tarik-menarik pengaruh internal maupun eksternal dalam politik kekuasaan.

Anies-Mahfud Perlu “Dikantongi” Prabowo? 

Eks-rival Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), yakni Anies Baswedan dan Mahfud MD belakangan semakin menunjukkan gestur positif terhadap Prabowo. Apakah seharusnya Prabowo merangkul mereka? 

Prabowo, Amartya Sen, dan Orde Baru

Program Makan Siang Bergizi (MBG) alias makan siang gratis yang kini sudah dijalankan oleh pemerintahan Prabowo Subianto nyatanya punya visi yang serupa dengan program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang merupakan program di era Orde Baru.

Hasto vs Jokowi, Benarkah Prabowo AFK?

Tak berkomentar atau memberikan statement khusus menjadi hal normatif yang kiranya tepat dilakukan Presiden Prabowo Subianto terhadap intrik panas kasus Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang berhadapan langsung dengan Joko Widodo. Padahal, drama yang dibumbui video skandal pejabat itu berkelindan dengan proyeksi stabilitas politik dan pemerintahan ke depan.

Prabowo and the Hero Complex

Kisah seorang pahlawan (hero) selalu menciptakan inspirasi di hati banyak orang. Mengapa makna ini begitu berarti bagi Presiden Prabowo Subianto?

Mengapa Era Keemasan Sains Orba Hilang? 

Indonesia sempat alami euforia sains dan imajinasi yang tinggi ketika awal hingga pertengahan Orde Baru. Mengapa tren tersebut tiba-tiba hilang? 

The Invincible Bahlil and The Philosopher King

Dengarkan artikel ini: Meski kerap dikritik dan dianggap kontroversial, nyatanya sosok Bahlil Lahadalia harus diakui jadi inspirasi bagi banyak orang. Meniti karier dari pelosok,...

Menguak “Beban” Erick Pecat STY

Pemecatan pelatih Timnas Sepak Bola Pria Indonesia oleh PSSI meninggalkan interpretasi karena dua untaian frasa “mencurigakan” yang terujar dari Erick Thohir dan anak Shin Tae-yong, yakni “dinamika kompleks” dan “perlakuan PSSI”. Bahkan, sesuatu hingga ke ranah yang bertendensi politis. Benarkah demikian?

More Stories

Ahmad Dhani, Paradoks Politisi Selebritis?

Prediksi tentang lolosnya beberapa artis ke Senayan memunculkan kembali skeptisme tentang kualifikasi yang mereka tawarkan sebagai representasi rakyat. Layakkah mereka menjadi anggota dewan? PinterPolitik.com Popularitas mungkin...

Prahara Prabowo dan Ijtima Ulama

Kedatangan Prabowo di forum Ijtima Ulama III sehari yang lalu menyisakan sejuta tanya tentang masa depan hubungan antara mantan Danjen Kopassus ini dengan kelompok...

Vietnam, Ilusi Poros Maritim Jokowi

Insiden penabrakan kapal Vietnam ke kapal TNI AL di perairan Natuna Utara menghidupkan kembali perdebatan tentang doktrin poros maritim yang selama ini menjadi kebijakan...