HomeNalar PolitikSoal Data, Menkes Budi Kritik Jokowi?

Soal Data, Menkes Budi Kritik Jokowi?

Menteri Kesehatan (Menkes) Budi Gunadi Sadikin mengakui secara terang-terangan bahwa dirinya ‘kapok’ menggunakan data dari Kemenkes untuk program vaksinasi. Apa yang bisa dimaknai dari kritik terbuka Menkes soal lembaga yang Ia pimpin sendiri itu?


PinterPolitik.com

Budi Gunadi Sadikin mendapat apresiasi dari publik ketika tampil dalam sebuah acara talk show yang dipandu jurnalis kawakan Najwa Shihab beberapa waktu lalu. Budi memenuhi undangan Najwa tak lama setelah dirinya resmi dilantik sebagai Menteri Kesehatan (Menkes). 

Kehadiran Budi di acara tersebut memang bisa dibilang spesial. Sebab, beberapa bulan sebelumnya sang presenter mengkritik habis-habisan pendahulu Budi, Terawan Agus Putranto lantaran jarang memenuhi undangan untuk berdiskusi mengenai carut marutnya penanganan pandemi Covid-19 lewat satire kursi kosongnya. 

Ketika diwawancarai Najwa saat itu, ada sejumlah hal penting terkait penanganan pandemi yang belum pernah diutarakan pendahulunya kepada publik. Salah satunya terkait janji membenahi data yang dimiliki kementerian yang Ia pimpin. 

Pernyataan eks Direktur Utama Bank Mandiri itu pun nyatanya tak sekadar cuap-cuap belaka. Baru-baru ini, Menkes Budi kembali menyinggung ihwal carut-marutnya persoalan data di tubuh kementeriannya sendiri. 

Diksi yang digunakan Menkes Budi saat itu pun juga cukup menarik. Ia mengatakan ‘kapok’ dan tak ingin ‘tertipu’ dua kali oleh data Kementerian Kesehatan (Kemenkes) yang dianggap tak sesuai kenyataan di lapangan. Sebagai gantinya, Ia mengaku akan menggunakan data milik Komisi Pemilihan Umum (KPU) untuk basis vaksinasi karena dinilai paling mutakhir. 

Tak hanya mengungkit persoalan data, di kesempatan yang sama, Menkes Budi juga mengakui bahwa strategi testing, tracing, dan treatment (3T) yang dilakukan pemerintah selama ini salah sasaran. Ia menilai testing yang dilakukan sejauh ini tidak menjangkau suspek Covid-19 meskipun kapasitasnya telah memenuhi standar yang ditetapkan Badan Kesehatan Dunia (WHO). 

Langkah Menkes Budi yang berani terang-terangan mengakui kesalahan dan mengkritik kinerja kementerian yang dipimpinnya sendiri itu bisa dibilang merupakan fenomena yang cukup langka. Sebab, sebagaimana diketahui publik selama ini, kebanyakan pejabat justru akan menutup-nutupi kesalahan dan membela marwah lembaga yang dipimpinnya. 

Menyikapi hal ini, lantas mengapa kemudian Menkes Budi berani mengakui kesalahan pemerintah dalam strategi 3T secara terbuka sekaligus melontarkan kritik seputar data yang Ia alamatkan kepada kementeriannya sendiri itu? 

Sengkarut Persoalan Data

Sejak awal penanganan pandemi, kredibilitas pemerintah dalam menyajikan data yang berkaitan dengan Covid-19 memang sudah banyak mendapat sorotan tajam. Hal ini dicurigai karena pemerintah dianggap tak sepenuhnya mempublikasikan data-data tersebut kepada publik. 

Presiden Joko Widodo (Jokowi) sendiri mengakui hal itu. Dalam pernyataannya di awal-awal pandemi, kepala negara mengaku bahwa pemerintah memang sengaja tak mempublikasikan sejumlah informasi seputar pandemi untuk mencegah kepanikan publik. 

Jenni Tennison dalam tulisannya yang berjudul Why isn’t The Government Publishing More Data About Coronavirus Deaths? menyayangkan sikap otoritas yang tak terbuka dalam menyampaikan data terkait pandemi. Sebab menurutnya, data merupakan instrumen penting dalam membuat kebijakan sehari-hari, bukan hanya bagi pemerintah, namun juga bagi para ahli dan ilmuwan. 

Kendati demikian, persoalan data dalam konteks Indonesia sayangnya tak hanya berkutat pada persoalan transparansi, melainkan juga kredibilitas data itu sendiri. 

Baca juga :  Maruarar Sirait Resmi Gabung Gerindra?

Data penerima vaksin misalnya sudah menjadi sorotan sebelum Menkes Budi melontarkan kritiknya secara terbuka kemarin. Ini terjadi pada saat rapat kerja Menkes dengan Komisi IX DPR RI beberapa waktu lalu. 

Menkes Budi saat itu menyebut pemerintah telah mencanangkan jumlah penerima vaksin Covid-19 sebanyak 181,5 juta jiwa. Budi menyebut angka tu berasal dari basis data yang dimiliki Kemenkes yang disandingkan dengan data dari berbagai lembaga, seperti data Kementerian Dalam Negeri, hingga data Badan Penyelenggara Bantuan Sosial (BPJS) Kesehatan. 

Namun begitu, Ketua Komisi IX Felly Estelita Runtuwene justru menyebut data itu masih belum dapat diandalkan. Menurutnya, data yang dijadikan pembanding oleh Kemenkes, seperti data BPJS Kesehatan pun masih bermasalah. 

Pernyataan Felly ini sedikit banyak memberikan afirmasi bahwa persoalan data yang dihadapi Indonesia merupakan masalah sistemik yang memerlukan solusi secara menyeluruh. Sebab, masalah itu tak hanya bercokol di Kemenkes, melainkan juga terjadi di berbagai di kementerian dan lembaga lainnya. 

Otokritik dalam Politik

Sikap Menkes Budi yang tak segan menyatakan keraguannya untuk menggunakan data dari kementeriannya sendiri itu bisa dipandang sebagai otokritik atau kritik diri. Meski cukup langka terjadi, namun kritik diri atau self-criticism merupakan konsep yang dikenal dalam dimensi politik. 

Magdalena Nowicka-Franczak dalam publikasinya yang berjudul Self-criticism in Public Discourse: A Device of Modernization menyebut bahwa self-criticism merupakan konsep yang sudah cukup tua. Ia mengatakan konsep tersebut dapat ditarik jauh hingga ke era Socrates, di mana filsuf tersebut pernah mengungkapkan bahwa berkat introspeksi kritis, jiwa seseorang dapat mendekati kebenaran akan keberadaan seseorang. 

Dalam konteks modern, Franczak mengatakan bahwa subjek kritik diri melakukannya melalui introspeksi, mendefinisikan kesalahan dan batas tanggung jawab mereka. 

Kendati begitu, Barbara Kellerman dalam tulisannya yang berjudul When Should a Leader Apologize—and When Not? memaparkan beberapa alasan mengapa tak banyak pemimpin atau politikus yang berani mengakui kesalahan dan melakukan kritik diri secara terbuka kepada publik. 

Menurutnya, mengakui kesalahan bagi politikus merupakan langkah berisiko tinggi, baik untuk diri mereka sendiri maupun organisasi yang mereka wakili. Di satu sisi, kesediaan untuk mengakui kesalahan dapat menunjukkan kekuatan karakter seseorang, namun di sisi lain juga bisa dilihat sebagai tanda kelemahan. 

Barbara menilai pengakuan kesalahan biasanya dilakukan ketika kesalahan tersebut terlalu sulit untuk diperbaiki. Para pemimpin akan mengakui kesalahan secara terbuka ketika mereka mengetahui bahwa risiko tidak mengakui kesalahan akan lebih besar dari pada mengakuinya di depan publik. 

Berangkat dari sini, dapat dikatakan bahwa langkah Menkes Budi yang memilih untuk mengkritik dan mengakui kesalahan secara terbuka terkait persoalan data di Kemenkes dan strategi 3T bisa saja disebabkan karena Ia merasa dua permasalahan itu sudah terlalu sulit untuk diperbaiki. 

Selain itu, keputusan Budi untuk membuka persoalan tersebut kepada khalayak saat dirinya baru mengampu jabatan sebagai Menkes bisa juga dimaknai sebagai manuver untuk menghindari diri menjadi pihak yang dipersalahkan jika nantinya dua persoalan itu menyebabkan terjadinya kegagalan dalam penanganan pandemi, khususnya program vaksinasi. 

Sebab, dengan mengakui kesulitan yang dihadapi sedari awal menjabat, rasionalnya publik tentu akan cenderung menyasar pendahulu Budi sebagai pihak yang dianggap gagal dalam menyelesaikan persoalan tersebut. 

Baca juga :  Puan yang Nggak Direstui

Pengamat Politik Rocky Gerung, misalnya, menyebut bahwa pernyataan Budi yang mengaku enggan menggunakan data Kemenkes mengindikasikan bahwa selama ini Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah dibohongi oleh pejabat sebelumnya dengan data-data yang keliru. Benarkah demikian?

Kritik untuk Jokowi?

Sejak awal, Presiden Jokowi menginginkan bahwa program vaksinasi dapat diselesaikan dalam kisaran waktu kurang lebih setahun. Jokowi menyebut target itu didasari dari angka-angka yang Ia terima seputar data vaksinator, puskesmas, hingga rumah sakit yang mampu melakukan vaksinasi. 

Oleh karenanya, kritik Menkes seputar carut marutnya data kementerian yang Ia pimpin juga bisa saja ditujukan untuk menjawab keinginan Presiden Jokowi tersebut. 

Sebab dalam pernyataannya, Menkes Budi mengaku pernah diberi data jumlah puskesmas dan rumah sakit (RS) dari pendataan Kemenkes. Berdasarkan data itu, secara agregat disebutkan jumlah total puskesmas dan RS cukup untuk melaksanakan vaksinasi Covid-19 secara nasional.

Namun Menkes menyebut ketika ditelusuri baru terungkap bahwa sarana kesehatan yang ada ternyata tidak mencukupi untuk melakukan vaksinasi. Dengan adanya keterbatasan ini, Ia mengatakan vaksinasi di kota-kota besar mungkin saja dilakukan dengan cepat, namun bagi sejumlah daerah terpencil seperti Puncak Jaya, Kalimantan Tengah, dan Kalimantan Selatan, vaksinasi bisa-bisa baru rampung setelah 3.000 hari atau delapan tahun. Hal ini kemudian membuat prasangka Rocky, bahwa Jokowi selama ini membaca data yang keliru bisa jadi benar adanya. 

Sementara itu, terkait persoalan testing, pengakuan Menkes Budi yang menilai strategi pemerintah keliru lantaran tak menyasar suspek Covid-19 bisa juga dipandang sebagai jawaban untuk pernyataan Menko Perekonomian, Airlangga Hartarto. Sebab, belum lama ini, Airlangga sempat membanggakan bahwa Indonesia sudah melakukan testing sebanyak 288 ribu lebih atau melebihi kapasitas standar yang diminta WHO. 

Di titik ini, setidaknya kritik Menkes Budi terhadap data Kemenkes dan strategi testing pemerintah dapat dilihat dalam tiga dimensi. Pertama, sebagai jawaban kepada Presiden bahwa ambisi vaksinasi rampung dalam waktu kurang dari setahun agaknya sulit terwujud. 

Kedua, hal ini sekaligus juga bisa dipandang sebagai kritik kepada kepala negara untuk segera melakukan pembenahan data di berbagai kementerian dan lembaga yang ada. Sebab, persoalan data ini merupakan hal yang sangat krusial dalam penanganan pandemi. 

Ketiga, pengakuan Menkes Budi soal strategi testing merupakan kritik kepada pemerintah agar tak melupakan begitu saja strategi 3T di tengah euforia vaksinasi. Sebab, sebagaimana sudah dikemukakan para ahli dan epidemiolog, program vaksinasi bisa saja gagal jika strategi 3T tak dilakukan dengan semestinya. 

Kendati demikian, yang tahu pasti maksud dan tujuan dari kritik Menkes Budi terkait data dan strategi testing hanyalah pihak terkait sendiri. Namun setidaknya dari kritik Menkes tersebut pemerintah seharusnya sadar untuk mulai menganggap serius persoalan carut-marutnya data agar tak menyusahkan kebijakannya sendiri di kemudian hari. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (F63)


► Ingin lihat video menarik lainnya? Klik di bit.ly/PinterPolitik

Ingin tulisanmu dimuat di rubrik Ruang Publik kami? Klik di bit.ly/ruang-publik untuk informasi lebih lanjut.

spot_imgspot_img

#Trending Article

The Battle of Javanesia 2: Proxy War Jokowi vs Prabowo di Pilkada 2024

Pilkada serentak 2024 akan jadi panggung pertaruhan partai politik dan elite nasional untuk menentukan siapa yang jejaring kekuasaannya mampu merambah hingga ke level terbawah.

Triad, Grup Mafia Penguasa Asia?

Kelompok mafia tidak hanya ada di negara-negara Barat, di Asia, sebuah kelompok yang disebut Triad kerap disamakan dengan mafia-mafia ala Italia. Bagaimana sejarahnya?

Manuver Mardiono, PPP “Degradasi” Selamanya?

Kendati belakangan berusaha tetap membawa PPP eksis di kancah perpolitikan nasional dengan gestur merapat ke koalisi Prabowo-Gibran, Muhamad Mardiono agaknya tetap akan cukup sulit membawa PPP bangkit jika tak membawa perubahan signifikan. Mengapa demikian?

Simpati, ‘Kartu’ Rahasia Prabowo?

Prabowo meminta relawan dan pendukungnya untuk tidak berdemo agar jaga perdamaian dan tensi politik. Apakah ini politik simpati ala Prabowo?

Sembako Siap Melambung Akibat Iran? 

erang Iran-Israel diprediksi akan berdampak besar pada ekonomi Indonesia. Mengapa demikian? 

Siasat Megawati Pengaruhi Para Hakim MK

Megawati mengirimkan pengajuan diri menjadi amicus curiae atau “sahabat pengadilan” yang merupakan pendapat hukumnya kepada para Hakim MK terkait sengketa Pilpres 2024.

Ini Rahasia Jokowi Kalahkan Megawati?

Kendati diprediksi melemah pasca kepresidenan, Presiden Joko Widodo (Jokowi) dinilai memiliki kunci rahasia agar tetap bisa memiliki pengaruh dalam politik dan pemerintahan. Bahkan, Jokowi agaknya mampu untuk melampaui kekuatan dan pengaruh Megawati Soekarnoputri. Mengapa demikian?

Diskualifikasi Gibran: Putusan Terbaik atau Terburuk MK?

Opsi mendiskualifikasi Gibran sebagai cawapres, tetapi tetap mengesahkan kemenangan Prabowo adalah pilihan yang tengah didiskusikan oleh banyak pihak menuju pembacaan putusan MK terkait sengketa Pilpres 2024.

More Stories

Dibenturkan, Nadiem Tetap Tak Terbendung?

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) Nadiem Makarim kembali mendapat sorotan. Kali ini draf Peta Jalan Pendidikan 2020-2035 yang tak mencantumkan frasa agama dipersoalkan oleh...

Benci Produk Asing, Anomali Nasionalisme Jokowi?

Pernyataan terbaru Presiden Jokowi soal benci produk asing terus menuai polemik. Banyak pihak menilai Presiden punya standar ganda karena pemerintah sendiri masih melakukan impor...

Puan Sulit Taklukkan Ganjar?

Sejumlah analis dan pengamat memprediksi PDIP akan mengusung Prabowo-Puan dalam Pilpres 2024 mendatang. Namun prospek tersebut kini terancam dengan tingginya elektabilitas Gubernur Jawa Tengah,...