HomeNalar PolitikSkenario Jalan Ketiga Demokrat

Skenario Jalan Ketiga Demokrat

Kecil Besar

Sudah tiga tahun Demokrat menyeimbangkan pemerintah dan oposisi. Kini saatnya mereka menjadi penyeimbang di 2019.


PinterPolitik.com

Partai Demokrat melalui Agus Harimurti Yudhyono (AHY) terus melakukan komunikasi politik dengan banyak pihak. Komunikasi ini dilakukan dalam rangka mencari pasangan koalisi yang cocok untuk mereka.

Menurut AHY, ia ingin membangun chemistry dengan berbagai pihak. Baginya, dalam politik yang penting adalah komunikasi. Dirinya membantah bahwa pertemuan dengan Presiden Joko Widodo (Jokowi) beberapa waktu lalu mengindikasikan bahwa Demokrat akan berlabuh ke poros petahana dalam Pemilu mendatang.

Demokrat memang partai yang cukup rajin bertemu dengan pucuk-pucuk pimpinan partai lain, beberapa waktu terakhir. AHY setidaknya sudah bersafari bertemu Prabowo Subianto, Wiranto, sampai Airlangga Hartarto.

Dari banyaknya pertemuan itu justru muncul indikasi bahwa Demokrat sedang mendorong terbentuknya poros tengah. Bahkan, AHY sendiri telah menyanggupi dirinya untuk menjadi capres alternatif saat bersafari di banyak daerah.

Ada sejumlah alasan yang sempat mengemuka, mengapa Demokrat kemungkinan tidak akan berlabuh ke poros Jokowi maupun Prabowo. Di sejumlah kesempatan, AHY mengatakan bahwa Demokrat ingin menjadi penyeimbang pemerintah-oposisi. Putra pertama Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) itu juga meyakini bahwa Demokrat punya kapasitas untuk membentuk poros ketiga.

Bagi masing-masing poros baik itu Jokowi maupun Prabowo, kehadiran poros baru ini bisa menjadi game changer. Hal ini juga membuat memori mengenai manuver Demokrat di Pilkada DKI 2017 bangkit kembali. Sekalipun tidak meraih kemenangan, Demokrat sukses memecah suara dan menjatuhkan petahana di akhir laga.

Ambisi Persatuan atau Partisan Semata?

Selama tiga tahun lebih, Demokrat konsisten menjadi partai penyeimbang, tidak oposisi dan tidak juga mendukung pemerintah. Sikap ini terus menerus ditunjukkan oleh seluruh elemen partai, baik melalui sikap SBY sebagai Ketua Umum, maupun fungsionaris partai lainnya. Persatuan adalah semangat yang selalu disampaikan oleh SBY.

Dalam banyak kesempatan, SBY berani mengambil langkah tengah—walaupun tidak terlalu signifikan kepada hasil keputusan, terutama karena lemahnya Demokrat di parlemen. Misalnya, saat Demokrat memilih mendukung Undang-Undang (UU) Ormas bersama partai-partai pendukung pemerintah, namun beberapa hari setelahnya malah mengajukan revisi UU tersebut bersama partai-partai oposisi.

SBY juga tanggap dalam merespon gelombang politik Islam yang tengah bangkit. Dalam safarinya ke Pondok Pesantren Daar El-Qolam Januari lalu, SBY sekali lagi mencoba menengahi polarisasi antara pemerintah dan umat Islam. SBY menyebut pemerintah harus berhati-hati dalam menangkap ulama, sekaligus mengimbau ulama untuk berceramah dengan sejuk. (Baca juga: Giliran Islam Dari Demokrat)

Dengan sikap-sikap seperti itu, Demokrat telah menjadi partai yang merekatkan perpecahan di negeri ini—walaupun efektivitas narasi Demokrat tentu masih dapat diperdebatkan.

Baca juga :  Ini Akhir Cerita Thohir Brothers?
Susilo Bambang Yudhoyono bersama Lukman Hakim Saifuddin

Di samping itu, sikap ini juga membuat Demokrat menarik untuk dilirik menjadi koalisi di poros tengah. Seminggu terakhir, PAN dan PKB menjadi dua partai yang paling tertarik untuk bergabung. Kedua partai itu sepertinya punya ambisi yang tidak dapat mereka penuhi di dua poros lain.

Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar (Cak Imin) misalnya, sudah memendam ambisi untuk menjadi capres sejak 2014 lalu. Namun pada saat itu terganjal adanya persoalan internal partai. (Baca juga: Cak Imin Jadi Wapres, Bisakah?)

Cak Imin sendiri sampai saat ini masih menunjukkan ambisinya untuk maju menjadi cawapres Jokowi. Namun, karena mendapatkan respon dingin dari Jokowi, PKB tidak ragu mengajukan nama Cak Imin ke Prabowo. Prabowo pun menyambut baik pendekatan Cak Imin ini. PKB semakin kentara “bermain dua kaki” menjelang Pemilu.

Sementara PAN, sepertinya punya motif dan ambisi yang agak berbeda dengan PKB. Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan memang sempat menyebut diri tidak berambisi untuk mengejar tiket capres maupun cawapres—walaupun banyak pihak meyakini Zulkifli punya keinginan yang sebaliknya, karena besarnya dukungan kader PAN. Di beberapa kesempatan, Zulkifli menyatakan jabatan Ketua MPR yang diembannya adalah yang tertinggi di negara ini.

Ambisi PAN di poros ini, kemungkinan besar adalah mendekatkan diri pada Demokrat. Sejauh menjadi partai pendukung pemerintah, PAN memang malah terlihat lebih bermain di tengah, mirip-mirip dengan posisi Demokrat. Kedekatan hubungan Demokrat dengan PAN pun sudah terjalin cukup lama, sejak partai itu masih dipimpin Hatta Rajasa. (Baca juga: Politik Tengah Absolut Zulkifli Hasan)

Jika demikian, bagaimana prospek Demokrat bila benar-benar berkoalisi dengan PAN dan PKB? Jika dihitung secara matematis, poros ketiga ini telah mengantongi 27,86 persen kursi parlemen dan 26,81 persen suara sah nasional. Angka-angka tersebut memenuhi syarat minimum untuk mengusung pasangan capres-cawapres sendiri.

Belum lagi, bila sukses merangkul PAN dan PKB, maka Demokrat akan mampu meraih dukungan dari massa Islam, mengingat PAN dan PKB memiliki kombinasi basis akar rumput Muhammadiyah-NU.

Karenanya, poros baru ini punya dua keuntungan yakni dapat mencegah polarisasi politik secara nasional, serta dapat pula menjadi moda pemenuhan ambisi ketiga partai, dengan catatan bila mampu mengusung capres-cawapres alternatif yang punya daya jual tinggi.

Siapa Capres yang Cocok?

Tanpa mengabaikan Zulkifli, mayoritas pemberitaan yang muncul mengenai poros ini adalah akan diusungnya Cak Imin-AHY sebagai pasangan. Secara kasat mata, pasangan ini adalah kombinasi komplit kalangan militer dengan Islam.

Baca juga :  PDIP Has Fallen?

Akan tetapi, kedua nama itu belum cukup menjanjikan bila diadu dengan Jokowi dan Prabowo. Politisi Demokrat Imelda Sari mengatakan, partainya masih mengkaji kemungkinan nama Cak Imin dan AHY untuk ditandemkan di 2019.

Bahkan, di internal koalisi sendiri pasti bakal ada perdebatan siapa bakal jadi capres dan siapa bakal jadi cawapres. Cak Imin lebih senior dari AHY, tapi AHY punya elektabilitas lebih baik dari Cak Imin.

Berturut-turut, AHY dan Cak Imin punya elektabilitas sebesar 1,5 persen dan 0,1 persen, menurut survei Poltracking. Sementara menurut survei Indo Barometer, AHY dan Cak Imin berturut-turut memiliki elektabilitas 3,3 persen dan 0,2 persen. Sementara Jokowi dan Prabowo punya elektabilitas hampir selalu di atas 20 persen.

Jika dibandingkan dengan Jokowi dan Prabowo, maka AHY dan Cak Imin tentu saja bagai melihat ke puncak Gunung Everest.

Jenderal Gatot Nurmantyo

Karenanya, poros ini tentu harus punya nama dan daya saing untuk melawan Jokowi dan Prabowo.

Belakangan, terdengar nama dua orang tanpa partai yang bakal diusung oleh poros ini, yakni Jenderal Gatot Nurmantyo dan Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Kedua nama tersebut diungkapkan oleh politisi PAN Yandri Susanto. PAN adalah yang paling menyukai Gatot, mungkin karena sadar tidak ada sosok di internal partainya yang layak dijadikan cawapres.

Secara elektabilitas, keduanya jelas lebih baik daripada Zulkifli maupun Cak Imin. Gatot di beberapa survei bahkan punya elektabilitas lebih baik dari AHY. Menurut survei Median akhir Februari lalu, Gatot memiliki elektabilitas sebesar 5,5 persen, Anies dengan 4,5 persen, sementara AHY dengan 3,3 persen.

Tak hanya baik secara elektabilitas, nama Gatot juga menarik untuk poros ini karena kedekatan sang jenderal dengan massa Islam, yang tercermin sejak Aksi Bela Islam 212. Sejak momentum itu, Gatot menjadi populer di kalangan Islam.

Terlebih, belakangan ini nama Gatot seperti semakin ditinggalkan oleh poros Jokowi maupun Prabowo. Jokowi lebih aktif menjalankan komunikasi politik dengan partai-partai pengusungnya. Sementara Prabowo banyak diisukan dengan nama-nama seperti Gubernur Anies, Tutut Soeharto, bahkan Basuki Tjahja Purnama (Ahok).

Bila ingin menang, maka Gatot memang menjadi pilihan paling menarik untuk bakal poros ketiga ini. Sementara calon wakilnya, tinggal diperebutkan oleh Cak Imin ataupun AHY.

Poros ini tentu akan menjadi kuat dan mampu menandingi dominasi Jokowi dan Prabowo. Pertanyaannya, apakah mungkin terbentuk? (R17)

Artikel Sebelumnya
Artikel Selanjutna
spot_imgspot_img

#Trending Article

Deddy Corbuzier: the Villain?

Stafsus Kemhan Deddy Corbuzier kembali tuai kontroversi dengan video soal polemik revisi UU TNI. Pertanyaannya kemudian: mengapa Deddy?

Sejauh Mana “Kesucian” Ahok?

Pasca spill memiliki catatan bobrok Pertamina dan dipanggil Kejaksaan Agung untuk bersaksi, “kesucian” Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok seolah diuji. Utamanya, terkait pertaruhan apakah dirinya justru seharusnya bertanggung jawab atas skandal dan kasus rasuah perusahaan plat merah tempat di mana dirinya menjadi Komisasis Utama dahulu.

Teror Soros, Nyata atau “Hiperbola”? 

Investor kondang George Soros belakangan ramai dibincangkan di media sosial. Apakah ancaman Soros benar adanya, atau hanya dilebih-lebihkan? 

Begitu Sulit Sri Mulyani

Kementerian Keuangan belum juga memberikan paparan kinerja APBN bulan Januari 2025.

Mitos “Hantu Dwifungsi”, Apa yang Ditakutkan?

Perpanjangan peran dan jabatan prajurit aktif di lini sipil-pemerintahan memantik kritik dan kekhawatiran tersendiri meski telah dibendung sedemikian rupa. Saat ditelaah lebih dalam, angin yang lebih mengarah pada para serdadu pun kiranya tak serta merta membuat mereka dapat dikatakan tepat memperluas peran ke ranah sipil. Mengapa demikian?

Inikah Akhir Hidup NATO?

Perbedaan pendapat antara Amerika Serikat (AS) dan negara-negara anggota Organisasi Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) belakangan terlihat semakin kentara. Apa maknanya?

Apocalypse Now Prabowo: Sritex dan Tritum Konfusianisme

Badai PHK menghantui Indonesia. Setelah Sritex menutup pabriknya dan menyebabkan 10 ribu lebih pekerja kehilangan pekerjaan, ada lagi Yamaha yang disebut akan menutup pabrik piano yang tentu saja akan menyebabkan gelombang pengangguran.

Tiongkok Pesta Thorium, Bisa Pantik “Perang”? 

Dunia dihebohkan dengan kabar bahwa Tiongkok berhasil menemukan cadangan thorium yang jumlahnya diprediksi bisa menghidupi kebutuhan energi negara tersebut selama 60 ribu tahun. Kira-kira, apa dampak geopolitik dari hal ini? 

More Stories

Mengejar Industri 4.0

Revolusi industri keempat sudah ada di depan mata. Seberapa siapkah Indonesia? PinterPolitik.com “Perubahan terjadi dengan sangat mendasar dalam sejarah manusia. Tidak pernah ada masa penuh dengan...

Jokowi dan Nestapa Orangutan

Praktik semena-mena kepada orangutan mendapatkan sorotan dari berbagai pihak, baik di dalam maupun luar negeri. Di era Presiden Joko Widodo (Jokowi), praktik-praktik itu terus...

Indonesia, Jembatan Dua Korea

Korea Utara dikabarkan telah berkomitmen melakukan denuklirisasi untuk meredam ketegangan di Semenanjung Korea. Melihat sejarah kedekatan, apakah ada peran Indonesia? PinterPolitik.com Konflik di Semenanjung Korea antara...