Dengarkan artikel ini:
Gagasan Jakarta Fund yang diusulkan oleh Pramono Anung memang terlihat menjanjikan, namun punya banyak catatan. Sebagai sebuah municipal fund, Jakarta Fund punya tantangan untuk menjamin iklim investasi di ibukota bisa benar-benar menjanjikan bagi para investor. Jika tidak, ini hanya akan jadi bagian dari program lain yang gagal mendarat.
Setelah resmi menjabat beberapa bulan terakhir, Gubernur DKI Jakarta Pramono Anung melontarkan satu gagasan berani yang menjadi bagian dari program kampanyenya: pembentukan Jakarta Fund.
Gagasan ini disampaikan Pramono lagi pada Mei 2025 di Balai Kota Jakarta, dalam sebuah forum resmi pemerintahan yang menggarisbawahi pentingnya inovasi pembiayaan daerah. Dalam kesempatan tersebut, Pramono menjanjikan ruang dan sumber daya yang tak hanya sekadar APBD tahunan. Ia bicara tentang dana abadi.
“Kenapa Jakarta enggak punya ‘Jakarta Fund’?” begitu katanya, menyebut perlunya satu mekanisme khusus untuk mendukung aktivitas seni, budaya, dan pendidikan secara berkelanjutan di Jakarta. Ia membandingkan ide ini dengan Indonesia Investment Authority (INA), lembaga sovereign wealth fund milik pemerintah pusat. Namun Pramono buru-buru menegaskan: “Pendekatannya sedikit berbeda dari pemerintah pusat. Danantara, Danantara aja.”
Bedanya memang kentara. Jakarta Fund dicanangkan sebagai municipal investment fund—dana investasi milik pemerintah daerah. Berbeda dengan Danantara yang merupakan sovereign fund milik pemerintah pusat dengan skala investasinya mencapai ratusan miliar dolar dan didesain untuk mendatangkan investor global ke sektor strategis seperti energi, pangan, hingga hilirisasi, Jakarta Fund berangkat dari logika lokal: mengelola Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA) DKI Jakarta sebesar Rp 5-6 triliun tiap tahun agar lebih produktif. Gagasan awalnya bahkan bukan untuk membiayai infrastruktur keras, tapi soft-power: seni, pendidikan, dan modal kerja untuk warga.
Namun, inisiatif ini bukan tanpa kerikil. Credit rating Jakarta tentu tak bisa menyaingi Indonesia. Skala aset juga terpaut jauh—Jakarta Fund diproyeksi hanya bermodal awal Rp 2 hingga Rp 3 triliun. Di saat Danantara sudah mencatatkan AUM (Asset Under Management) hingga Rp 147 triliun bersama co-investor, Jakarta Fund masih berupa wacana. Ini pertaruhan besar Pramono, bukan hanya karena desain lembaganya yang harus dibuat dari nol, tapi karena ia perlu menyakinkan DPRD, para investor, dan publik bahwa Jakarta bisa dan layak memiliki fund sendiri.
Lebih jauh, dalam konteks politik, Jakarta Fund adalah sinyal. Ia bukan semata proyek kebijakan, tapi upaya simbolik menegaskan diferensiasi antara Gubernur DKI Jakarta yang berasal dari PDIP dengan pemerintahan pusat yang dikomandoi Prabowo Subianto. Jakarta Fund, dalam bahasa lain, adalah cara Pramono menunjukkan bahwa Jakarta bisa berdikari, bahkan dalam investasi.
Politik Investasi Publik
Apa yang dilakukan Pramono ini bukan hal sepele. Ia tengah berusaha membangun satu bentuk sub-sovereign wealth fund, dan dalam teori ekonomi kelembagaan, ini adalah eksperimen institusional kelas berat. Beberapa scholar bisa membantu kita membaca inisiatif ini lebih jernih.
Pertama, Elinor Ostrom, dalam berbagai karyanya soal governance of common resources, menekankan pentingnya kelembagaan lokal yang fleksibel dan didesain partisipatif untuk keberhasilan pengelolaan sumber daya. Jakarta Fund, jika hendak bertahan dan tumbuh, tak bisa hanya dibentuk secara top-down. Harus ada prinsip partisipasi publik, transparansi, dan nested enterprises—sinergi antarlevel pemerintahan. Jika tidak, ia hanya akan menjadi versi kecil dari korporatisme negara.
Kedua, Dani Rodrik, ekonom dari Harvard, dalam tulisannya soal good jobs and industrial policy, menyebutkan bahwa bentuk intervensi negara yang efektif harus dirancang sesuai konteks lokal dan harus melibatkan eksperimentasi institusional.
Jakarta Fund bisa menjadi contoh bagaimana pemerintah daerah bisa memainkan peran aktif dalam menciptakan lapangan pekerjaan, memfasilitasi usaha kecil, bahkan membangun ekonomi kreatif berbasis warga. Namun keberhasilannya sangat bergantung pada kualitas kelembagaan, bukan sekadar jumlah dana.
Ketiga, dalam teori Urban Political Economy, seperti dibahas oleh scholars seperti David Harvey dan Manuel Castells, kota-kota besar seperti Jakarta bukan sekadar ruang administrasi, tetapi juga arena kontestasi kapital.
Dalam konteks ini, Jakarta Fund adalah usaha untuk mengklaim ulang ruang fiskal kota yang selama ini bergantung pada APBD dan logika belanja tahunan. Ia adalah bentuk urban fiscal sovereignty, sebuah langkah menjadikan kota sebagai aktor ekonomi otonom di tengah arsitektur fiskal negara yang sangat sentralistis.
Namun teori ini juga memberi peringatan. Dana seperti Jakarta Fund bisa dengan mudah berubah menjadi instrumen elite capture. Jika tidak diawasi secara demokratis, dana investasi daerah justru bisa melanggengkan patronase baru. Apalagi Jakarta Fund menyasar seni dan budaya—area yang rentan ditunggangi untuk pencitraan atau proyek politik.
Mimpi Dana Abadi: Mungkin atau Mustahil?
Pramono menyebut bahwa jika dikelola profesional dan transparan, Jakarta Fund bisa tumbuh menjadi Rp 20 triliun dalam dua tahun. Optimisme itu bukan tanpa dasar, melihat pengalaman INA yang melesat dari Rp 6 triliun ke Rp 150 triliun hanya dalam dua tahun. Tapi tetap saja, realitas Jakarta berbeda dengan negara.
Secara fiskal, ruang gerak Jakarta memang besar—dengan APBD sekitar Rp 86 triliun dan SiLPA tahunan sekitar Rp 5-6 triliun. Namun setiap rupiah SiLPA juga diperebutkan berbagai kepentingan. Komitmen politik harus kuat agar dana abadi tak mudah dialihkan atau dikebiri.
Kedua, Jakarta Fund harus segera menjawab desain kelembagaan: apakah akan jadi BUMD? Yayasan? Atau badan khusus seperti INA? Ini penting karena status kelembagaan akan menentukan fleksibilitas investasi, rekrutmen SDM, dan sistem pelaporan. Mengandalkan pola birokrasi konvensional hampir pasti memperlambat pertumbuhan aset dan menciptakan distorsi.
Ketiga, ada faktor trust. Untuk menjadi kendaraan investasi, dana abadi harus dipercaya oleh investor, lembaga keuangan, dan masyarakat. Transparansi, audit terbuka, serta rekrutmen profesional adalah syarat minimum. Jika Jakarta Fund berakhir dikelola oleh pensiunan ASN atau kader partai, maka kepercayaan publik bisa runtuh sejak awal.
Dan terakhir, ada tantangan politik. Pramono, sebagai kader PDIP, kini berjalan sendirian di Jakarta. Skema-skema kerja sama investasi akan terbatas, terutama jika Jakarta Fund dilihat sebagai upaya mendirikan “negara dalam negara.” Dalam konteks ini, silat Pramono bukan hanya soal desain ekonomi, tapi juga manuver politik untuk tetap relevan dalam dinamika kekuasaan pasca-Jokowi.
Namun, jika Pramono berhasil, maka Jakarta Fund bisa menjadi warisan monumental. Ia akan menandai babak baru dalam sejarah desentralisasi fiskal Indonesia, di mana pemerintah daerah tak hanya menunggu transfer pusat, tapi mulai menciptakan modalnya sendiri. Dalam lanskap global, kota-kota seperti Toronto, Seoul, dan bahkan Medellin di Kolombia sudah memulai jalur serupa. Jakarta tak harus tertinggal.
Pertanyaannya tinggal satu: apakah Pramono punya cukup waktu dan kekuatan untuk merealisasikan mimpi ini sebelum politik nasional kembali berubah? Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)