HomeHeadlineSemakin Sulit Megawati Percaya Puan?

Semakin Sulit Megawati Percaya Puan?

Dengarkan artikel berikut. Audio ini dibuat menggunakan teknologi AI

Kongres 2025 PDIP sudah di depan mata. Akankah ada pergantian pucuk kepemimpinan, atau terlalu dini bagi Megawati Soekarnoputri untuk mencari pengganti dirinya?  


PinterPolitik.com 

Kongres PDIP yang rencananya akan digelar pada April 2025 jadi salah satu topik politik yang paling menarik untuk dibahas saat ini. Bagaimana tidak, di dalam kongres tersebut diasumsikan secara kuat akan terjadi sejumlah pergantian jajaran pimpinan, contohnya seperti posisi Sekretaris Jenderal (Sekjen) yang dugaannya akan diisi orang baru karena Hasto Kristiyanto kini terjebak kasus hukum. 

Namun tidak hanya itu, kini di media sosial pun mulai muncul asumsi bahwa posisi Ketua Umum (Ketum) bisa saja ikut mengalami perubahan. Asumsi ini tentu bukan tanpa sebab, karena Megawati Soekarnoputri sendiri beberapa kali pada tahun 2024 sempat memberikan semacam “kisi-kisi” bahwa anak kandungnya, Puan Maharani, mungkin layak untuk menggantikan posisi dirinya sebagai Ketum PDIP.  

Secara alamiah, diskusi mengenai kelayakan Puan Maharani sebagai ketum baru PDIP saat itu bergulir dengan lancar di masyarakat, tidak heran, Puan memang anak kandung Mega, yang berarti juga layak disebut sebagai “pembawa obor” trah Soekarno di PDIP.

Menariknya, sosok Puan sendiri belakangan juga kerap dipandang sebagai “jembatan” antara PDIP dan lawan-lawannya. Peran diplomatisnya ini lantas menjadi basis argumen bagi sejumlah pendukungnya bahwa Puan telah menjadi politisi yang dewasa untuk dipercaya sebagai Ketum

Kendati demikian, kondisi politik yang saat ini sedang melanda PDIP bisa jadi justru membuat dinilai membuat pandangan PDIP, bahkan Megawati secara individual terhadap Puan berubah. Mengapa demikian? 

image

Paradoks Puan? 

Spekulasi bahwa Megawati kini mempertanyakan kepercayaannya kepada Puan untuk menggantikannya sebetulnya memiliki basis argumen yang cukup rasional. Spekulasi ini didasarkan pada sejumlah dinamika politik yang berkembang, baik internal maupun eksternal, yang menempatkan posisi Puan dalam sorotan tajam. 

Untuk memahami potensi keputusan Megawati, kita dapat merujuk pada teori kepercayaan politik dan konsep psikologi kepemimpinan, khususnya teori “Loyalty vs. Competence Dilemma“. Dalam teori ini, seorang pemimpin dihadapkan pada dilema untuk memilih penerus yang loyal tetapi mungkin kurang kompeten, atau kompeten tetapi dihinggapi risiko ketidakpastian melanjutkan amanah.  

Baca juga :  Prabowo and the Hero Complex

Dalam kasus Puan, sikapnya yang cenderung melunak terhadap kubu politik di luar PDIP, seperti kelompok pendukung Joko Widodo (Jokowi) dan Presiden Prabowo Subianto dalam beberapa bulan terakhir, memang dapat dianggap sebagai sinyal bahwa ia berusaha memainkan peran sebagai “jembatan politik”. Namun, pendekatan ini juga dapat menciptakan persepsi bahwa Puan berkompromi dengan nilai-nilai inti partai. 

Dalam konteks psikologi kepemimpinan, faktor ini bisa saja membuat Megawati menilai adanya potensi ancaman yang ditimbulkan oleh jika Puan diberikan jabatan Ketum pada Kongres 2025 nanti. Hal ini karena secara alamiah manusia cenderung lebih takut kehilangan apa yang sudah dimiliki dibandingkan memperoleh sesuatu yang baru.  

Dalam hal ini, Megawati mungkin khawatir bahwa memberikan kepercayaan penuh kepada Puan dapat merusak warisan politik yang telah ia bangun dengan susah payah. Sikap Puan yang lebih akomodatif terhadap pihak luar dapat memunculkan kekhawatiran bahwa ia akan mengorbankan nilai-nilai partai demi mencapai konsensus politik. 

Lebih jauh, teori “ingroup vs. outgroup bias” dalam psikologi sosial dapat membantu menjelaskan mengapa Megawati mungkin ragu terhadap Puan. Dalam teori ini, individu cenderung memberikan kepercayaan lebih kepada anggota kelompok yang menunjukkan kesetiaan tinggi dan menghindari perilaku yang dapat dianggap mendukung kelompok luar. Sikap Puan yang tampak lebih “ramah” terhadap lawan politik partai dapat membuatnya terlihat sebagai ancaman potensial yang memungkinkan terjadinya infiltrasi kepentingan eksternal ke dalam PDIP. 

Selain itu, tekanan hukum dan politik yang dihadapi PDIP, seperti kasus hukum yang melibatkan Sekjen Hasto Kristiyanto, semakin memperkuat pentingnya kepemimpinan yang kuat dan tidak terpengaruh oleh pengaruh luar. Dalam situasi ini, Megawati mungkin merasa dirinya masih diperlukan secara langsung untuk menunjukkan kapasitas sebagai pemimpin yang tegas dalam menghadapi tantangan tersebut.  

Baca juga :  Operasi Bawah Tanah Jokowi

Lantas, jika kepercayaan terhadap Puan memang belum optimal, kira-kira langkah apa yang tengah dipersiapkan Megawati dalam menyambut Kongres 2025? 

image

Kembali Dipimpin Megawati? 

Penutup dari analisis ini membawa kita pada prediksi menarik menjelang Kongres PDIP 2025 mendatang. Dalam konteks politik yang semakin dinamis dan penuh tekanan, Megawati kemungkinan besar akan tetap mempertahankan posisinya sebagai Ketum PDIP.  

Langkah ini dapat dimaknai sebagai upaya untuk menjaga soliditas partai di tengah ancaman politik dan hukum yang terus mengintai. Dengan tetap berada di pucuk kepemimpinan, Megawati dapat memastikan bahwa kendali partai tetap berada dalam genggaman yang tegas dan stabil. 

Namun, Megawati juga bisa saja sesungguhnya telah mempersiapkan strategi kontingensi untuk mengantisipasi kondisi di mana ia tidak lagi mampu melanjutkan tugasnya. Dalam skenario ini, Prananda Prabowo, putra Megawati, dapat menjadi pilihan utama sebagai penerus. Prananda selama ini dikenal sebagai sosok yang lebih banyak bekerja di balik layar namun memiliki pemahaman mendalam tentang dinamika partai dan loyalitas yang tak diragukan.  

Dengan menjadikan Prananda sebagai “strategi cadangan”, Megawati dapat memastikan bahwa arah dan ideologi partai tetap terjaga, sekaligus memberikan waktu bagi Puan untuk membuktikan kapasitas dan loyalitasnya. 

Prediksi ini menunjukkan bahwa Megawati tidak hanya berorientasi pada kelangsungan kepemimpinan partai, tetapi juga pada keberlanjutan ideologi dan nilai-nilai yang telah menjadi fondasi PDIP. Dengan strategi yang matang, Megawati dapat menghadapi tantangan politik ke depan sambil memastikan bahwa regenerasi kepemimpinan partai berlangsung tanpa gejolak yang merugikan. 

Akan tetapi pada akhirnya tentu ini semua hanyalah asumsi belaka, yang jelas, menjelang Kongres 2025 nanti konstelasi politik di internal PDIP menarik untuk terus kita soroti. Layak kita tunggu dinamikanya. (D74)

spot_imgspot_img

#Trending Article

100 Hari, Prabowo Justru Insecure?

Meski tak serta merta dapat dijadikan generalisir, dengan kinerja 100 hari yang cenderung jamak dinilai belum maksimal, penilaian terhadap bagaimana Presiden Prabowo Subianto memegang kendali nahkoda RI bermunculan. Utamanya, mengenai kemantapan prinsip kepemimpinan Presiden Prabowo di tengah tarik-menarik pengaruh internal maupun eksternal dalam politik kekuasaan.

Anies-Mahfud Perlu “Dikantongi” Prabowo? 

Eks-rival Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), yakni Anies Baswedan dan Mahfud MD belakangan semakin menunjukkan gestur positif terhadap Prabowo. Apakah seharusnya Prabowo merangkul mereka? 

Prabowo, Amartya Sen, dan Orde Baru

Program Makan Siang Bergizi (MBG) alias makan siang gratis yang kini sudah dijalankan oleh pemerintahan Prabowo Subianto nyatanya punya visi yang serupa dengan program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang merupakan program di era Orde Baru.

Hasto vs Jokowi, Benarkah Prabowo AFK?

Tak berkomentar atau memberikan statement khusus menjadi hal normatif yang kiranya tepat dilakukan Presiden Prabowo Subianto terhadap intrik panas kasus Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang berhadapan langsung dengan Joko Widodo. Padahal, drama yang dibumbui video skandal pejabat itu berkelindan dengan proyeksi stabilitas politik dan pemerintahan ke depan.

Prabowo and the Hero Complex

Kisah seorang pahlawan (hero) selalu menciptakan inspirasi di hati banyak orang. Mengapa makna ini begitu berarti bagi Presiden Prabowo Subianto?

Mengapa Era Keemasan Sains Orba Hilang? 

Indonesia sempat alami euforia sains dan imajinasi yang tinggi ketika awal hingga pertengahan Orde Baru. Mengapa tren tersebut tiba-tiba hilang? 

The Invincible Bahlil and The Philosopher King

Dengarkan artikel ini: Meski kerap dikritik dan dianggap kontroversial, nyatanya sosok Bahlil Lahadalia harus diakui jadi inspirasi bagi banyak orang. Meniti karier dari pelosok,...

Menguak “Beban” Erick Pecat STY

Pemecatan pelatih Timnas Sepak Bola Pria Indonesia oleh PSSI meninggalkan interpretasi karena dua untaian frasa “mencurigakan” yang terujar dari Erick Thohir dan anak Shin Tae-yong, yakni “dinamika kompleks” dan “perlakuan PSSI”. Bahkan, sesuatu hingga ke ranah yang bertendensi politis. Benarkah demikian?

More Stories

Anies-Mahfud Perlu “Dikantongi” Prabowo? 

Eks-rival Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), yakni Anies Baswedan dan Mahfud MD belakangan semakin menunjukkan gestur positif terhadap Prabowo. Apakah seharusnya Prabowo merangkul mereka? 

Mengapa Era Keemasan Sains Orba Hilang? 

Indonesia sempat alami euforia sains dan imajinasi yang tinggi ketika awal hingga pertengahan Orde Baru. Mengapa tren tersebut tiba-tiba hilang? 

Megawati Harus Ubah Sikap PDIP?

Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) belakangan menghadapi dinamika yang cukup memberatkan. Kira-kira bagaimana Partai Banteng Moncong Putih akan menjadikan ini sebagai pelajaran untuk langkah-langkahnya ke depan?