HomeHeadlineSegitiga Besi Megawati

Segitiga Besi Megawati

Dengarkan artikel ini:

Audio dibuat dengan menggunakan AI.

Relasi Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri kini memasuki babak baru menyusul wacana pertemuan dua tokoh tersebut. Meski belum juga terjadi, banyak yang menilai dengan berakhirnya kekuasaan Jokowi, praktis posisi politik Megawati kembali dominan di hadapan pemerintahan Prabowo. Pertanyaannya adalah apa yang membuat Mega begitu kuat?


PinterPolitik.com

Megawati Soekarnoputri, ketua umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), adalah salah satu tokoh politik paling berpengaruh di Indonesia. Meskipun PDIP memilih berada di luar pemerintahan dalam era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, posisi politik Megawati tetap menjadi faktor penting yang dipertimbangkan oleh berbagai pihak.

Makin menarik lagi hal ini dikupas di tengah wacana dukungan politik PDIP bagi pemerintahan Prabowo, meski partai banteng itu tak berada dalam kekuasaan. Narasi rencana pertemuan Prabowo dan Mega, serta sempalan-sempalan isu soal posisi Jokowi yang masih menjadi penghambat merupakan bagian dari kompleksitas isu yang berkembang hari-hari ini.

Yang jelas, semua dinamika tersebut menunjukkan Megawati masih jadi sosok politik yang kuat hari ini. Kekuatan Megawati yang bertahan hingga saat ini tidak dapat dilepaskan dari tiga faktor utama yang dapat dianalisis melalui konsep “segitiga besi” atau iron triangle. Faktor-faktor tersebut adalah kekuatan finansial, hubungan dengan militer, dan kemampuan pribadi Megawati yang karismatik. Seperti apa faktor-faktor itu dimaknai?

Kekuatan Finansial: Relasi dengan Pengusaha dan Pengaruh Ekonomi

Kekuatan finansial merupakan salah satu pilar utama dalam politik. Dalam kasus Megawati, hubungan eratnya dengan sejumlah pengusaha terkemuka memberikan fondasi finansial yang kuat bagi PDIP.

Salah satu contoh tokoh yang cukup berperan dalam karier politik Megawati adalah Arifin Panigoro, seorang pengusaha yang mendukung Megawati sejak masa awal perjuangannya melawan Orde Baru. Arifin tidak hanya memberikan dukungan finansial tetapi juga membantu membangun jaringan politik yang luas. Meski di kemudian hari berbeda jalan dengan Megawati, dukungan Arifin besar maknanya di awal gerak politik Mega.

Sosok Arifin ini pernah disebut sebagai “pemasok” nasi bungkus bagi para mahasiswa yang melaksanakan protes dan demo di tahun 1998 untuk menumbangkan Soeharto.

Dukungan Arifin Panigoro juga menjadi signifikan pada masa-masa krusial, seperti ketika Megawati berhadapan dengan kekuatan politik Soeharto. Lebih lanjut, keterlibatan Arifin dalam berbagai manuver politik, termasuk gerakan yang memuluskan jalan Megawati menjadi presiden setelah Abdurrahman Wahid (Gus Dur) dimakzulkan, menunjukkan bahwa hubungan dengan pengusaha dapat menjadi alat politik yang ampuh.

Baca juga :  PDIP vs PKI vs Masyumi: Mana Parpol Terbesar Indonesia? 

Hal ini sesuai dengan teori oligarki dari Jeffrey Winters, yang menyatakan bahwa kekuasaan politik sering kali didukung oleh sumber daya ekonomi yang terkonsentrasi.

Selain itu, kekuatan finansial Megawati tidak hanya berasal dari dukungan individu tetapi juga dari kemampuan PDIP sebagai partai politik untuk menggalang dana melalui jaringan yang kuat. Ini mencerminkan kemampuan Megawati menjaga stabilitas finansial partai, yang menjadi dasar keberlanjutan pengaruh politiknya.

Relasi dengan Militer: Pilar Stabilitas dan Keamanan

Faktor kedua yang menjelaskan kekuatan politik Megawati adalah hubungan strategisnya dengan militer. Sejak awal kemunculannya di panggung politik, Megawati didukung oleh tokoh-tokoh militer yang memiliki pengaruh besar. Salah satu tokoh yang sering disebut adalah Benny Moerdani, mantan Panglima ABRI, yang dianggap sebagai salah satu sosok yang membawa Megawati ke politik.

Benny dikenal sebagai figur yang berorientasi pada stabilitas nasional, dan dukungannya terhadap Megawati menunjukkan kepercayaan militer terhadap potensi kepemimpinannya.

Selain Benny, ada tokoh lain seperti A.M. Hendropriyono yang juga mendukung Megawati. Hendropriyono, yang dikenal sebagai ahli strategi di bidang keamanan, menjadi salah satu pendukung setia Megawati dalam berbagai situasi krusial, termasuk saat ia menjadi presiden.

Hubungan Megawati dengan militer ini tidak hanya memberikan perlindungan politik tetapi juga legitimasi di mata masyarakat, terutama dalam konteks Indonesia yang memiliki sejarah panjang keterlibatan militer dalam politik.

Konsep teori civil-military relations oleh Samuel Huntington dapat digunakan untuk memahami dinamika ini. Menurut Huntington, hubungan sipil-militer yang harmonis diperlukan untuk stabilitas politik. Megawati mampu menjaga hubungan ini, sehingga menjadikannya tokoh yang sulit digantikan dalam lanskap politik Indonesia.

Kemampuan Pribadi: Karisma dan Warisan Bung Karno

Faktor ketiga yang tidak kalah penting adalah kemampuan pribadi Megawati. Sebagai putri Bung Karno, presiden pertama Indonesia, Megawati mewarisi kharisma dan legitimasi historis yang tidak dimiliki oleh banyak politisi lainnya.

Kepribadian Megawati yang tenang dan tegas mencerminkan gaya kepemimpinan Bung Karno, yang membuatnya mudah diterima oleh berbagai kalangan, termasuk akar rumput PDIP yang sangat loyal.

Karakter kepemimpinan Megawati dapat dianalisis melalui konsep Max Weber tentang otoritas karismatik. Weber menyatakan bahwa otoritas karismatik berasal dari keyakinan masyarakat terhadap kualitas luar biasa seorang pemimpin.

Baca juga :  Megawati Harus Ubah Sikap PDIP?

Dalam konteks Megawati, warisan Bung Karno menjadi sumber utama otoritas karismatiknya. Megawati juga berhasil mengelola warisan ini dengan bijaksana, menjaga loyalitas pendukungnya selama beberapa dekade.

Loyalitas ini tidak hanya berasal dari pengaruh personal tetapi juga dari strategi Megawati dalam menjaga konsistensi ideologi PDIP sebagai partai nasionalis dan pro-rakyat. Megawati dikenal sebagai pemimpin yang tidak mudah tergoda oleh pragmatisme politik, yang membuatnya dihormati oleh pendukungnya meskipun menghadapi berbagai tantangan.

PDIP di Luar Pemerintahan: Bukti Kekuatan Megawati?

Keputusan PDIP untuk berada di luar pemerintahan Prabowo Subianto menunjukkan keberanian Megawati untuk mempertahankan prinsip partai, meskipun itu berarti kehilangan akses langsung ke kekuasaan eksekutif. Namun, menariknya, posisi politik Megawati tetap diperhitungkan oleh Prabowo.

Hal ini menunjukkan bahwa kekuatan Megawati tidak bergantung pada posisi formal dalam pemerintahan tetapi lebih pada pengaruhnya yang melampaui struktur formal kekuasaan.

Dalam konteks ini, teori hegemonik Gramsci dapat digunakan untuk menjelaskan dominasi Megawati. Gramsci berpendapat bahwa kekuasaan tidak hanya berasal dari kontrol langsung terhadap institusi tetapi juga dari kemampuan untuk mempengaruhi opini publik dan membangun konsensus. Megawati mampu menggunakan jaringan politik, relasi ekonomi, dan kharismanya untuk mempertahankan hegemoninya di panggung politik nasional.

Pada akhirnya, kekuatan politik Megawati Soekarnoputri tidak terlepas dari tiga pilar utama yang membentuk “segitiga besi” kekuatannya: kekuatan finansial, hubungan dengan militer, dan kemampuan pribadi yang karismatik. Kombinasi ketiga faktor ini, ditambah dengan kemampuan Megawati menjaga loyalitas pendukungnya, membuatnya tetap menjadi tokoh sentral dalam politik Indonesia, bahkan ketika PDIP memilih berada di luar pemerintahan.

Dalam era pasca-Jokowi, kekuatan Megawati semakin terlihat dominan. Dengan tidak adanya sosok seperti Jokowi yang memiliki basis politik kuat untuk menandingi PDIP, Megawati kini berdiri sebagai figur politik yang sulit tergoyahkan.

Pengaruhnya terhadap Prabowo Subianto, meskipun PDIP tidak mendukung pemerintahan Prabowo, menunjukkan betapa besarnya pengaruh Megawati dalam menentukan arah politik Indonesia.

Segitiga besi Megawati adalah bukti bahwa kekuatan politik tidak hanya berasal dari posisi formal tetapi juga dari jaringan, strategi, dan kemampuan pribadi seorang pemimpin. Dengan segala kelebihan ini, Megawati tetap menjadi salah satu aktor politik terpenting di Indonesia, yang pengaruhnya akan terus dirasakan dalam waktu yang lama. Menarik untuk ditunggu kelanjutannya. (S13)

spot_imgspot_img

#Trending Article

100 Hari, Prabowo Justru Insecure?

Meski tak serta merta dapat dijadikan generalisir, dengan kinerja 100 hari yang cenderung jamak dinilai belum maksimal, penilaian terhadap bagaimana Presiden Prabowo Subianto memegang kendali nahkoda RI bermunculan. Utamanya, mengenai kemantapan prinsip kepemimpinan Presiden Prabowo di tengah tarik-menarik pengaruh internal maupun eksternal dalam politik kekuasaan.

Anies-Mahfud Perlu “Dikantongi” Prabowo? 

Eks-rival Prabowo Subianto dalam Pemilihan Presiden 2024 (Pilpres 2024), yakni Anies Baswedan dan Mahfud MD belakangan semakin menunjukkan gestur positif terhadap Prabowo. Apakah seharusnya Prabowo merangkul mereka? 

Prabowo, Amartya Sen, dan Orde Baru

Program Makan Siang Bergizi (MBG) alias makan siang gratis yang kini sudah dijalankan oleh pemerintahan Prabowo Subianto nyatanya punya visi yang serupa dengan program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang merupakan program di era Orde Baru.

Hasto vs Jokowi, Benarkah Prabowo AFK?

Tak berkomentar atau memberikan statement khusus menjadi hal normatif yang kiranya tepat dilakukan Presiden Prabowo Subianto terhadap intrik panas kasus Sekretaris Jenderal PDIP Hasto Kristiyanto yang berhadapan langsung dengan Joko Widodo. Padahal, drama yang dibumbui video skandal pejabat itu berkelindan dengan proyeksi stabilitas politik dan pemerintahan ke depan.

Prabowo and the Hero Complex

Kisah seorang pahlawan (hero) selalu menciptakan inspirasi di hati banyak orang. Mengapa makna ini begitu berarti bagi Presiden Prabowo Subianto?

Mengapa Era Keemasan Sains Orba Hilang? 

Indonesia sempat alami euforia sains dan imajinasi yang tinggi ketika awal hingga pertengahan Orde Baru. Mengapa tren tersebut tiba-tiba hilang? 

The Invincible Bahlil and The Philosopher King

Dengarkan artikel ini: Meski kerap dikritik dan dianggap kontroversial, nyatanya sosok Bahlil Lahadalia harus diakui jadi inspirasi bagi banyak orang. Meniti karier dari pelosok,...

Menguak “Beban” Erick Pecat STY

Pemecatan pelatih Timnas Sepak Bola Pria Indonesia oleh PSSI meninggalkan interpretasi karena dua untaian frasa “mencurigakan” yang terujar dari Erick Thohir dan anak Shin Tae-yong, yakni “dinamika kompleks” dan “perlakuan PSSI”. Bahkan, sesuatu hingga ke ranah yang bertendensi politis. Benarkah demikian?

More Stories

Prabowo, Amartya Sen, dan Orde Baru

Program Makan Siang Bergizi (MBG) alias makan siang gratis yang kini sudah dijalankan oleh pemerintahan Prabowo Subianto nyatanya punya visi yang serupa dengan program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) yang merupakan program di era Orde Baru.

The Invincible Bahlil and The Philosopher King

Dengarkan artikel ini: Meski kerap dikritik dan dianggap kontroversial, nyatanya sosok Bahlil Lahadalia harus diakui jadi inspirasi bagi banyak orang. Meniti karier dari pelosok,...

Operasi Bawah Tanah Jokowi

Dalam beberapa bulan terakhir, dunia politik Indonesia diguncang oleh isu yang cukup kontroversial: dugaan keterlibatan Joko Widodo (Jokowi) dalam upaya mengambil alih Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP).