HomeHeadlineRK-Jakmania dan Dekonstruksi Away Day

RK-Jakmania dan Dekonstruksi Away Day

Kecil Besar

Dengarkan artikel ini:

Audio ini dibuat menggunakan AI.

Skeptisisme dan keraguan tertuju kepada Ridwan Kamil (RK) yang dianggap tak diuntungkan kala berbicara diskursus Jakmania dan Persija Jakarta jelang Pilkada 2024. Padahal, dengan “kelemahannya” itu, RK justru bisa membawa era baru yang lebih positif bagi Jakmania-Persija dan Bobotoh-Persib dibandingkan kandidat lain.


PinterPolitik.com

Kontestasi elektoral yang melibatkan pendukung sepak bola di Pilpres 2024 kembali terulang di Pilkada Jakarta 2024. Kali ini, Jakmania-Persija Jakarta dan Ridwan Kamil (RK) jadi sorotan karena korelasi rivalitas abadi dengan Bobotoh-Persib Bandung.

Diskursus sendiri bergulir dan seolah “dimanfaatkan” oleh rival RK-Suswono, yakni Pramono Anung-Rano Karno serta Dharma Pongrekun-Kun Wardana.

Namun, dalam sebuah kesempatan wawancara di sebuah stasiun televisi swasta beberapa hari lalu, Ketua Umum Jakmania Diky Budi Ramadhan atau Diky Soemarno menyiratkan saran agar para kandidat datang, mendengarkan, dan menanyakan terlebih dahulu kebutuhan Jakmania dan Persija sebelum memberi janji politik.

Menariknya, dalam kesempatan itu, Diky membandingkan dengan apa yang Anies Baswedan lakukan di Pilkada Jakarta 2017 silam.

Ihwal itu, di sisi lain, bisa saja berkorelasi dengan kalkulasi suara para simpatisan Anies yang juga menjadi variabel determinan dan saat ini tengah berstatus sebagai swing voters di Pilkada Jakarta 2024.

Akan tetapi, jika diinterpretasi lebih dalam, RK sebenarnya memiliki peluang lebih baik untuk berkontribusi bagi Jakmania dan Persija, termasuk yang memiliki irisan dengan legacy serta relasi positif Anies dengan Jakmania sebelumnya. Mengapa demikian?

Membalik Rivalitas?

Secara spesifik, rivalitas di antara Jakmania dan Bobotoh telah menjadi bagian integral dari identitas mereka masing-masing. Dalam konteks politik, identitas yang kuat ini sering kali digunakan oleh politisi untuk memperkuat basis dukungan mereka atau untuk menyerang lawan.

Di Pilkada Jakarta 2024, rivalitas ini menjadi lebih dari sekadar simbol dan menjadi alat politik yang dieksploitasi oleh berbagai kandidat untuk memenangkan suara.

Kendati dilakukan secara tak langsung, Pramono Anung-Rano Karno dan Dharma Pongrekun-Kun Wardana tampaknya menyadari betul bagaimana rivalitas tersebut bisa menjadi keuntungan politik bagi mereka. 

Baca juga :  Alus Nothing to Lose Pramono?

Dengan memanfaatkan narasi rivalitas Jakmania-Bobotoh, mereka mencoba menciptakan citra RK sebagai kandidat yang “tidak sesuai” dengan Jakarta, karena latar belakangnya yang kuat di Jawa Barat dan kedekatannya dengan Bobotoh.

Di atas kertas, strategi itu berpotensi mengalienasi Jakmania dan membuat mereka enggan mendukung RK.

Namun, strategi semacam itu bukan lah baru. Dalam banyak kasus, rivalitas sering digunakan sebagai alat untuk memecah belah suara dan menciptakan ketegangan di antara kelompok-kelompok pendukung.

Sebagai contoh, di Amerika Serikat (AS), politisi sering kali menggunakan perbedaan ras, etnis, atau agama sebagai alat politik untuk memecah belah dan mengontrol basis pemilih.

Ironisnya, sampel di Negeri Paman Sam itu sempat terjadi di Pilkada Jakarta 2017. Kali ini, identitas kelompok pendukung sepak bola seperti Jakmania memiliki dampak yang jauh lebih langsung dan emosional terhadap preferensi politik.

Dampaknya, polaritas dan narasi konfliktual justru terpelihara. Bahkan residunya masih dapat dirasakan hingga saat ini.

Dalam konteks ini, teori dekonstruksi Jacques Derrida kiranya dapat menjadi pisau analisis yang positif dan konstruktif untuk menginterpretasi relasi sosial-politik.

Di titik ini, rivalitas di antara Jakmania dan Bobotoh sesungguhnya dapat di-dekonstruksi dengan membongkar asumsi-asumsi dasar yang memposisikan keduanya sebagai lawan yang tidak dapat berdamai.

Dekonstruksi untuk membalik rivalitas ini kiranya bisa diarahkan pada upaya untuk membingkai ulang hubungan tersebut sebagai bentuk interaksi dinamis yang pada akhirnya dapat mewarnai demokrasi dan persaingan elektoral yang berbuah positif.

Menariknya, di antara para kandidat di Pilkada Jakarta 2024, hanya RK yang lebih relate dengan sepak bola dan dinamikanya.

Realita itu kiranya dapat menjadi titik awal transisi skeptisisme menjadi optimisme terhadap RK, tak hanya dalam konteks Jakmania dan Persija, melainkan di aspek lain yang krusial bagi Jakarta.

infografis ridwan kamil makin melesat 1

Menguak Esensi Sosok RK

Meskipun menghadapi tantangan besar terkait rivalitas di ranah tribun supporter, RK tetap memiliki peluang yang tidak boleh diabaikan untuk merengkuh suara Jakmania.

Baca juga :  Blok ROJALIS: Magnet Pertahanan Baru?

Satu hal yang menarik, RK bisa saja memberikan terobosan janji politik sebagai pemersatu, salah satunya menjamin keamanan dan kenyamanan away day Jakmania ke Bandung atau sebaliknya. Sekali lagi, presumsi ini berangkat dari RK sebagai satu-satunya kandidat Pilkada Jakarta 2024 yang relate dengan sepak bola.

Hal itu pun dapat tercermin dari beberapa pemimpin yang di awal dianggap “sepele” atau tidak memiliki peluang, namun akhirnya diterima dan menjadi pemersatu.

Salah satu contoh yang relevan adalah Nelson Mandela, yang awalnya dianggap sebagai musuh oleh pemerintah apartheid Afrika Selatan, tetapi kemudian diterima sebagai pemimpin yang berhasil menyatukan negara yang terpecah oleh rasialisme.

Mandela menggunakan pendekatan yang inklusif dan berusaha mendengarkan serta memahami semua pihak, meski awalnya diabaikan oleh sebagian besar populasi kulit putih di Afrika Selatan. Pendekatan seperti ini sangat mungkin diterapkan oleh RK dalam menghadapi tantangan dalam isu Jakmania dan Persija.

Selain isu Jakmania dan Persija yang tampak di permukaan seperti di lini masa, ceruk suara lain pun kiranya tak boleh disepelekan. Utamanya, silent majority yang dalam perspektifnya menganggap RK paling relevan untuk memimpin Jakarta dengan portofolionya.

Sebagai catatan, dengan latar belakang profesional sebagai arsitek dan perencanaan wilayah perkotaan, RK diakui sebagai sosok yang paling mumpuni untuk memimpin Jakarta.

Mengacu pada hasil survei Centre for Strategic and International Studies (CSIS) pada tahun 2022 silam dengan melibatkan para ahli dari berbagai kompetensi, RK ditasbihkan sebagai sosok yang dianggap paling memahami dan mampu menyelesaikan permasalahan Jakarta.

Meski belakangan kerap mendapat kabar kurang positif dari akar rumput, tentu catatan itu tak boleh dikesampingkan begitu saja dari meja analisis untuk melihat peluang RK di Jakarta.

Menarik untuk dinantikan dinamika Pilkada Jakarta dan peluang para kandidatnya dalam beberapa waktu ke depan. (J61)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Political Mimicry: Dari Anies, Jokowi, Hingga Risma

Gaya komunikasi politik Jokowi, Anies, dan Risma, dianggap jadi acuan keunikan berpolitik di Indonesia. Mungkinkah mereka telah ciptakan sesuatu yang disebut: political mimicry?

Prabowo-SBY: Tomorrow’s Legacy

Di balik momen saling puji Prabowo dan SBY di Universitas Pertahanan, tersirat warisan besar dua jenderal: menjadikan pendidikan sebagai medan strategis. Kedisiplinan, nasionalisme, dan karakter menjadi jawaban mereka atas disrupsi generasi cemas dan krisis moral di era digital.

Blok ROJALIS: Magnet Pertahanan Baru?

Untuk pertama kalinya sejak Orde Baru, industri pertahanan Indonesia terlihat mulai berporos ke Prancis, Turki, dan Italia. Mungkinkah ini awal terbentuknya poros pertahanan baru yang bisa kita sebut: The Rojalis Block?

Bobby: Mr. Controversy or Strongmen Wannabe?

Bobby Nasution mencuri perhatian sebagai Gubernur termuda dengan langkah berani namun sarat kontroversi. Dari anggaran nyeleneh hingga polemik pulau perbatasan, ia tampil di persimpangan antara warisan Jokowi dan ambisi politik mandiri. Sedang membangun citra atau sekadar bayangan dinasti? Mengapa?

Misi Sakral 24.000 Tamtama?

Rekrutmen 24.000 tamtama TNI AD tampak bukan sekadar ekspansi militer, tapi bagian dari visi strategis untuk menjadikan prajurit sebagai agen pembangunan desa dan ketahanan pangan. Mengacu pada model serupa tapi tak sama yang diterapkan Vietnam dan Tiongkok, inilah kiranya wajah baru pertahanan sosial-produktif Indonesia. Benarkah demikian?

Masih Mungkinkah Mengejar AS & Tiongkok?

ASEAN adalah blok regional yang kuat, tapi bahkan gabungan sepuluh negaranya masih jauh tertinggal dibanding dua adidaya dunia: Amerika Serikat dan Tiongkok. Apakah ini pertanda bahwa dunia kini bergerak menuju tatanan geopolitik yang hanya ditentukan oleh dua poros kekuatan besar?

Menertawakan ‘Kesenjangan’ Bersama TikTok

Pernah sebut transportasi umum sebagai shuttle bus? Mungkin, humor ini benar-benar gambarkan kesenjangan sosial, seperti yang ramai di TikTok.

Rahasia Puan & BG di Balik Layar?

Di balik gestur keharmonisan yang kembali terlihat di antara Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri, peran aktor kunci di balik layar agaknya cukup krusial. Tak hanya bekerja dalam satu konteks, efek domino politik bukan tidak mungkin tercipta dari andil mereka.

More Stories

Prabowo-SBY: Tomorrow’s Legacy

Di balik momen saling puji Prabowo dan SBY di Universitas Pertahanan, tersirat warisan besar dua jenderal: menjadikan pendidikan sebagai medan strategis. Kedisiplinan, nasionalisme, dan karakter menjadi jawaban mereka atas disrupsi generasi cemas dan krisis moral di era digital.

Bobby: Mr. Controversy or Strongmen Wannabe?

Bobby Nasution mencuri perhatian sebagai Gubernur termuda dengan langkah berani namun sarat kontroversi. Dari anggaran nyeleneh hingga polemik pulau perbatasan, ia tampil di persimpangan antara warisan Jokowi dan ambisi politik mandiri. Sedang membangun citra atau sekadar bayangan dinasti? Mengapa?

Misi Sakral 24.000 Tamtama?

Rekrutmen 24.000 tamtama TNI AD tampak bukan sekadar ekspansi militer, tapi bagian dari visi strategis untuk menjadikan prajurit sebagai agen pembangunan desa dan ketahanan pangan. Mengacu pada model serupa tapi tak sama yang diterapkan Vietnam dan Tiongkok, inilah kiranya wajah baru pertahanan sosial-produktif Indonesia. Benarkah demikian?