HomeNalar PolitikRidwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Ridwan Kamil “Ditelantarkan” KIM Plus? 

Dengarkan artikel berikut

Hasil tidak memuaskan yang diperoleh pasangan Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) dalam versi quick count Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) menjadi pertanyaan besar. Mengapa calon yang didukung koalisi besar tidak tampil dominan? 


PinterPolitik.com 

Pemilihan Gubernur Jakarta 2024 (Pilgub Jakarta 2024) baru saja kita laksanakan bersama-sama. Mengacu kepada sejumlah hasil hitung cepat (quick count) dari beberapa lembaga survei, pasangan calon (paslon) Pramono Anung–Rano Karno tampak menjadi yang paling unggul dengan perolehan suara 49%-50%, sementara, pesaingnya, Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) berada di suara 38%-39%. 

Hasil quick count ini tentu merupakan hal yang menarik karena seakan jadi pembuktian dari ucapan Adi Prayitno, Direktur Parameter Politik Indonesia, pada awal November lalu, yang menduga “mesin” KIM Plus tidak berjalan maksimal, sebagai respons atas hasil survei elektabilitas RIDO yang relatif stagnan. 

Menanggapi kecurigaan tersebut, hari ini (28/11), Ahmad Riza Patria, Ketua Tim Pemenangan RIDO menegaskan bahwa seluruh partai anggota KIM Plus sudah bekerja secara kompak dan solid, dan bahkan menambahkan bahwa semua partai sudah bekerja dari pagi hingga pagi untuk memenangkan RIDO. 

Kendati demikian, fakta yang terjadi di lapangan justru terlihat unik. Menurut survei pascapencoblosan yang dilakukan Litbang Kompas, pemilih dari sejumlah partai KIM Plus justru ternyata memiliki persentase yang buruk terhadap paslon RIDO. Partai Nasdem misalnya, memiliki persentasi pemilih Pramono-Rano sebesar 47,1 persen, PKB sebesar 43,3 persen, dan Demokrat 42,6 persen.  

Angka-angka tersebut seakan menjadi “pengkhianat” dari klaim yang disebutkan Ahmad Riza. Lantas, sanggupkah kenyataan yang terjadi di lapangan ini menjadi indikasi bahwa betul “mesin politik” KIM Plus tidak bekerja maksimal dalam Pilgub Jakarta? 

image

Ke Mana Mobilisasi Para Elite? 

Dua hal yang menjadi tanda besar dalam inkonsistensi dukungan KIM Plus adalah klaim soal totalitas dukungan koalisi (variabel 1) dan pengaruh politik pasangan RIDO di lapangan (variabel 2). 

Baca juga :  Pedang Bermata Dua Anies?

Logikanya sederhana: jika KIM Plus benar-benar total dalam mendukung RIDO, pasangan ini seharusnya memiliki pengaruh politik yang besar. Secara matematis, gabungan partai-partai KIM Plus seharusnya mampu menggalang setidaknya 40% suara di Jakarta. 

Namun, kenyataannya berbeda. Sepanjang masa kampanye, sejumlah survei menunjukkan elektabilitas RIDO hanya berada di posisi kedua, dan cenderung stagnan. Hal ini semakin mencurigakan saat kampanye akbar terakhir—tidak satu pun Ketua Umum (Ketum) partai KIM Plus hadir di acara tersebut. 

Dari sisi komunikasi politik, absennya para Ketum partai ini jelas menjadi “lampu merah” yang menunjukkan adanya masalah. Jika memang mendukung secara serius, para Ketum seharusnya turut menunjukkan dukungan yang lebih nyata dan konsisten. 

Well, bagaimanapun kenyataannya, fenomena minimnya mobilisasi elite politik dalam KIM Plus menarik untuk ditelaah.  

Teori Mobilisasi Elite mampu memberikan perspektif menarik dalam memahami fenomena tersebut. Teori yang berakar dari pemikiran Vilfredo Pareto dan Gaetano Mosca ini, menekankan peran strategis elite politik dalam mengoordinasikan sumber daya, menggerakkan massa, dan menyampaikan narasi kampanye yang kuat. Dalam konteks politik elektoral, elite bukan hanya sekadar figur di balik layar, tetapi mesin penggerak yang menentukan efektivitas kampanye. Ketika elite gagal bergerak, dukungan dari massa akar rumput pun ikut melemah. 

Sederhananya, teori mobilisasi elite menegaskan bahwa sumber daya politik—baik material maupun simbolis—harus diarahkan dengan strategi yang jelas, dan hal ini hanya mungkin jika elite berfungsi secara optimal.  

Dengan elite yang bekerja secara solid, paslon yang didukung tentunya sanggup menyalurkan sumber daya dengan efektif, memastikan kampanye di tingkat lokal berjalan dengan intensitas yang tinggi. Sementara, untuk level pemasangan spanduk dan baliho di masa awal kampanye saja, sempat muncul pandangan bahwa koalisi pasangan RIDO sudah terlihat kalah curi start dari pasangan Pramono-Rano. 

Sebagian besar partai politik besar di Indonesia biasanya mengikuti apa yang diinginkan oleh Ketua Umumnya (Ketum). Apa pun keputusan Ketum, struktur partai cenderung menyesuaikan. Jadi, jika basis massa partai justru memilih calon dari partai lain, wajar jika muncul pertanyaan: apakah memang ada instruksi dari Ketum untuk mendukung paslon tertentu, atau justru tidak ada arahan sama sekali? 

Baca juga :  The Last Duel

Lantas, bagaimana kita mengambil pelajaran fenomena Pilgub Jakarta ini? 

image

Koalisi Bukan Segalanya? 

Kekalahan Ridwan Kamil dalam versi quick count Pilgub Jakarta 2024 seharusnya menjadi momentum refleksi, terutama bagi koalisi pendukungnya. Dengan modal politik yang kuat dan dukungan dari partai-partai besar, kekalahan ini lebih mencerminkan kegagalan koalisi dalam memanfaatkan peluang yang ada. 

Ridwan Kamil, dengan modal politik yang begitu besar sebelum penyelenggaraan Pilkada, sebenarnya adalah kandidat yang sangat mungkin untuk memenangkan pertarungan. Namun, bahkan kandidat terbaik sekalipun membutuhkan dukungan penuh dari mesin politik yang solid dan elite yang aktif. Mungkin, absennya peran strategis koalisi, ditambah dengan lemahnya mobilisasi elite, menjadi penyebab utama mengapa kampanye ini tidak mampu mencapai potensi penuhnya. 

Apakah KIM Plus benar-benar solid dalam mendukung kandidat yang mereka usung?  Atau justru mungkin ada ketidakselarasan internal yang akhirnya menghambat mesin politik mereka bekerja maksimal? 

Pilgub ini memberikan pelajaran penting bahwa kemenangan dalam politik tidak hanya soal kandidat yang baik, tetapi juga tentang koalisi yang mampu bekerja sebagai tim. Tanpa soliditas dan komitmen yang jelas, bahkan kandidat terbaik pun tidak akan mampu mengatasi ketidakefektifan mesin politik di belakangnya.  

Jika KIM Plus ingin menjadi kekuatan politik yang relevan di masa depan, mereka harus belajar dari kekalahan ini dan memastikan bahwa koalisi mereka tidak hanya solid di atas kertas, tetapi juga dalam tindakan nyata. Namun, pada akhirnya ini semua hanyalah asumsi belaka. Bagaimanapun juga, kenyataan politik dari fenomena ini hanya dapat diketahui oleh para anggota koalisi. (D74) 

spot_imgspot_img

#Trending Article

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Prabowo dan Hegemoni Rasa Takut

Beberapa konglomerat menyiratkan “ketakutan” soal akan seperti apa pemerintahan Prabowo bersikap terhadap mereka.

“Parcok” Kemunafikan PDIP, What’s Next?

Diskursus partai coklat atau “parcok" belakangan jadi narasi hipokrit yang dimainkan PDIP karena mereka justru dinilai sebagai pionir simbiosis sosial-politik dengan entitas yang dimaksud. Lalu, andai benar simbiosis itu eksis, bagaimana masa depannya di era Pemerintahan Prabowo Subianto dan interaksinya dengan aktor lain, termasuk PDIP dan Joko Widodo (Jokowi)?

Prabowo vs Kemlu: Warrior vs Diplomat?

Perbedaan pendapat dalam politik luar negeri tampaknya sedang terjadi antara Prabowo dan diplomat-diplomat Kemlu. Mengapa demikian?

Prabowo dan Prelude Gerindra Empire?

Partai Gerindra di bawah komando Prabowo Subianto seolah sukses menguasai Pulau Jawa setelah tiga “mahapatih” mereka, yakni Andra Soni, Dedi Mulyadi, serta Ahmad Luthfi hampir dapat dipastikan menaklukkan Pilkada 2024 sebagai gubernur. Hal ini bisa saja menjadi permulaan kekuasaan lebih luas di Jawadwipa. Mengapa demikian?

Kejatuhan Golkar di Era Bahlil?

Dengan kekalahan Ridwan Kamil dan Airin Rachmi Diany di Pilkada Serentak 2024. Mungkinkah Golkar akan semakin jatuh di bawah Bahlil Lahadalia?

Prabowo dan Filosofi Magikarp ala Pokémon

Pemerintahan Prabowo Subianto siapkan sejumlah strategi untuk tingkatkan investasi dan SDM. Mungkinkah Prabowo siap untuk “lompat katak”?

Belah PDIP, Anies Tersandera Sendiri?

Endorse politik Anies Baswedan di Pilgub Jakarta 2024 kepada kandidat PDIP, yakni Pramono Anung-Rano Karno justru dinilai bagai pedang bermata dua yang merugikan reputasinya sendiri dan PDIP di sisi lain. Mengapa demikian?

More Stories

Ada Operasi Intelijen Kekacauan Korea Selatan? 

Polemik politik Korea Selatan (Korsel) yang menyeret Presiden Yoon Suk Yeol jadi perhatian dunia. Mungkinkah ada peran operasi intelijen dalam kekacauan kemarin? 

Kok Megawati Gak Turun Gunung?

Ketua Umum (Ketum) PDIP, Megawati Soekarnoputri hingga kini belum terlihat ikut langsung dalam kampanye Pilkada. Kira-kira apa alasannya? 

Betulkah Jokowi Melemah? 

Belakangan mulai muncul pandangan bahwa pengaruh politik Jokowi kian melemah, hal tersebut seringnya diatribusikan dengan perkembangan berita judi online yang kerap dikaitkan dengan Budi Arie, dan kabar penangguhan jabatan doktor Bahlil Lahadalia, dua orang yang memang dulu disebut dekat dengan Jokowi. Tapi, apakah betul Jokowi sudah melemah pengaruhnya?