HomeNalar PolitikRamadan Tiba, Mungkinkah People Power?

Ramadan Tiba, Mungkinkah People Power?

Kecil Besar

Bulan Ramadan disebut-sebut dapat menjadi momentum yang mampu mendinginkan suasana politik yang masih panas usai Pilpres 2019. Banyak pihak juga berharap persatuan dan persaudaraan dapat terjalin kembali. Namun, di sisi lain, banyak pula peristiwa perang bersejarah dan revolusi yang terjadi pada bulan Ramadan, termasuk yang paling fenomenal tentu saja Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945.


PinterPolitik.com

“Ramadan, Ramadan, Ramadan. We’re ready. Here we come,” – Deen Squad, grup rap asal Kanada

[dropcap]B[/dropcap]ulan suci Ramadan memang merupakan waktu yang sangat ditunggu-tunggu oleh sebagian besar umat Muslim. Dalam bulan ini, umat Muslim diharuskan menjaga berbagai hasrat dan nafsunya, termasuk juga untuk meningkatkan kesabarannya.

Tidak sedikit juga pernyataan dan ajakan bahwa Ramadan merupakan momentum yang tepat untuk menjaga dan membangun kembali persatuan usai Pilpres 2019 yang dilontarkan. Menteri Agama (Menag) Lukman Hakim Saifuddin misalnya, mengharapkan Ramadan dapat menjadi perawat persaudaraan umat Muslim di Indonesia.

Selain Menag, Menteri Pertahanan (Menhan) Ryamizard Ryacudu juga berkomentar senada dalam suatu acara beberapa waktu lalu. Perpecahan antara pendukung kubu 01, Joko Widodo (Jokowi)-Ma’ruf Amin, dan kubu 02, Prabowo Subianto-Sandiaga Uno, dianggap Ryamizard tidak perlu lagi eksis guna menjalankan Ramadan yang aman dan kondusif.

Di luar pejabat eksekutif, Ketua DPR Bambang Soesatyo juga mengatakan bahwa Ramadan merupakan momentum untuk melakukan pemulihan hubungan yang baik antar-kelompok. Pemulihan tersebut meliputi penghentian ujaran kebencian, saling tuduh, saling ancam, dan pernyataan-pernyataan provokatif.

Tidak hanya pejabat-pejabat negara, ajakan dan rekomendasi senada juga datang dari kelompok ulama. Majelis Ulama Indonesia (MUI) misalnya, berharap masyarakat dapat mengendalikan diri di tengah-tengah proses penghitungan suara yang bertepatan dengan bulan Ramadan. Selain MUI, sekitar 1.500 ulama juga berkumpul dalam Multaqo Ulama untuk merekomendasikan stabilitas keamanan pasca-Pemilu.

Di tengah-tengah seruan people power yang sempat digaungkan oleh kubu Prabowo-Sandi, mampukah ajakan-ajakan tersebut menghasilkan perdamaian pasca-Pilpres 2019? Benarkah bulan Ramadan sebagai momentum perdamaian mampu menghambat gerakan people power?

Momentum Damai?

Kedatangan bulan Ramadan memang menjadi momentum spiritual yang banyak ditunggu umat Muslim. Namun, kedatangannya juga dapat menjadi momentum bagi perpolitikan Indonesia.

Momentum Ramadan dapat digunakan untuk mengedepankan persamaan nilai di antara kelompok-kelompok Muslim di Indonesia. Jika persamaan nilai ini hadir, kesalingpahaman pun dapat terwujud.

Dalam tulisan yang berjudul “Grounding in Communication”, Herbert H. Clark dan Susan E. Brennan mengemukakan teori komunikasi yang disebut dengan grounding. Dalam teori tersebut, dijelaskan bahwa untuk melakukan komunikasi, pihak-pihak yang terlibat memerlukan common ground – sebutan untuk pengetahuan, keyakinan, dan asumsi yang mutual.

Dengan common ground dan akumulasinya, setiap pihak dapat membangun kesalingpahaman. Selain itu, dengan adanya common ground, diharapkan tercipta tindakan kolektif bersama.

Kehadiran common ground ini bisa dilihat dalam kegiatan G8 – kelompok yang terdiri dari delapan negara dengan kekuatan terbesar di dunia – di mana pemimpin-pemimpin negara tersebut mengesampingkan kepentingannya masing-masing dan melakukan sesuatu yang dianggap mereka sebagai hal yang mutual, yaitu pertandingan sepak bola.

Dalam salah satu pertemuan di bulan Mei 2012, pemimpin-pemimpin negara G8 – seperti Presiden Amerika Serikat (AS) Barack Obama, Kanselir Jerman Angela Merkel, Perdana Menteri Inggris David Cameron, dan lain-lain – menyaksikan pertandingan final UEFA Champions League antara Chelsea FC dan Bayern Munich, dua tim yang masing-masing berasal dari Inggris dan Jerman.

Baca juga :  Bobby: Mr. Controversy or Strongmen Wannabe?

Sekalipun tengah dihadapkan pada banyak masalah pelik dunia internasional kala itu – termasuk ketegangan politik dengan Rusia yang juga merupakan anggota G8 – para pemimpin ini mampu lepas dan larut dalam momentum sepak bola tersebut.

Jika tokoh-tokoh tersebut menggunakan sepak bola sebagai common ground, bagaimana dengan Ramadan? Apakah kedatangan bulan suci ini dapat menjadi common ground bagi berbagai kepentingan yang berbeda?

Dengan common ground dan akumulasinya, setiap pihak dapat membangun kesalingpahaman dan menciptakan suatu tindakan kolektif. Share on X

Ramadan yang disebut-sebut sebagai bulan kedamaian tentu dapat menjadi common ground di tengah-tengah panasnya perpolitikan. Terdapat juga anggapan bahwa umat Muslim juga perlu menjaga dirinya dari pikiran negatif, sikap iri, kemarahan, hingga hal-hal kecil, seperti mengumpat, bergosip, mengeluh, dan lain-lain.

Anggapan bahwa umat Muslim perlu menjaga diri ketika Ramadan ini misalnya ditranslasikan menjadi rekomendasi larangan ujaran kebencian oleh Menteri Mujahid Yusof di masjid-masjid Malaysia. Selain Malaysia, bulan ini pun sering dijadikan alasan dan periode damai di negara-negara yang sedang berkonflik, seperti Afghanistan, Libya, dan Palestina.

Di Afghanistan misalnya, gencatan senjata dilakukan antara pemerintah dan Taliban ketika memasuki akhir bulan Ramadan pada tahun 2018. Gencatan itu dilakukan setelah ulama-ulama Afghanistan mengeluarkan fatwa untuk mendorong perdamaian agar masyarakat di negara tersebut dapat menjalankan akhir bulan Ramadan dengan damai.

Selain Afghanistan, Libya yang dipenuhi dengan kekacauan sejak meninggalnya Muammar Khadafi juga diajak oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk melakukan gencatan senjata sebagai alasan humaniter bagi korban-korban perang. Di Palestina, gencatan senjata pada bulan Ramadan juga telah berhasil disepakati dengan Israel menyusul terbunuhnya 19 korban sipil beberapa hari sebelumnya.

Jika melihat contoh di berbagai negara tersebut, Ramadan memang memiliki nilai yang berpotensi untuk menjadi alasan dan momentum damai dalam carut-marut yang terjadi.

Lalu, bagaimana dengan ajakan damai Ramadan dalam situasi pasca-Pemilu 2019 di Indonesia?

Tentunya, kedatangan Ramadan merupakan hal yang bisa mendinginkan situasi pasca-Pilpres yang panas. Kehadiran Ramadan sebagai common ground di antara kedua pendukung kubu bisa saja membuat keduanya mendorong terjalinnya silaturahmi kembali.

Adanya anggapan nilai bahwa Ramadan dapat membatasi hasrat dan nafsu, termasuk ungkapan kemarahan, bisa saja membuat masyarakat lebih menjaga diri, sehingga demarkasi sosial di antara kedua kubu tidak kembali melebar dan tidak menimbulkan perpecahan kembali. Kesalingpahaman juga dapat terbentuk melalui dorongan untuk berkomunikasi di antara kedua kubu dalam bulan Ramadan.

People Power Saat Ramadan?

Meskipun Ramadan dianggap momentum yang tepat bagi pendingingan situasi pasca-Pilpres, persoalan-persoalan yang menghantui hasil Pemilu 2019 masih belum dapat terselesaikan. Jika kita mengacu pada banyaknya dugaan kecurangan, tidak menutup kemungkinan seruan people power yang digaungkan kubu Prabowo-Sandi tetap saja dapat terjadi.

Dalam beberapa kasus, bulan Ramadan tidak serta merta menghentikan semangat perjuangan kelompok tertentu. Bahkan, beberapa perjuangan yang terjadi menilai dan menjadikan Ramadan sebagai momentum untuk meningkatkan upaya perjuangan itu sendiri.

Baca juga :  Geopolitical AI: Ini Pusat Dunia Masa Depan?

Hal ini terjadi dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia yang salah satu peristiwanya bertepatan juga dengan bulan Ramadan, yaitu Proklamasi Kemerdekaan. Proklamasi yang dilakukan pada tanggal 17 Agustus 1945 kala itu jatuh pada tanggal 9 Ramadan 1334 H.

Sang Proklamator Soekarno sendiri menilai bahwa peristiwa yang terjadi pada tanggal 17 tersebut sesuai dengan nilai-nilai kesucian dalam Islam, yaitu karena terjadi pada bulan suci Ramadan dan kesucian angka 17 itu sendiri dalam ajaran agama Islam.

Selain peristiwa Proklamasi di Indonesia, revolusi juga pernah terjadi pada bulan Ramadan, yaitu Revolusi Ramadan Irak yang terjadi pada Februari 1963. Dalam revolusi tersebut, pihak oposisi melakukan kudeta dan eksekusi terhadap Perdana Menteri Irak Abdul Karim Qasim.

Ramadan juga disebut-sebut sebagai bulan di mana perang keagamaan terjadi. Di Libya misalnya, Komandan Khalifa Haftar memerintahkan prajurit-prajuritnya untuk berperang lebih keras guna menanggapi ajakan gencatan senjata PBB. Haftar menganggap bahwa bulan Ramadan merupakan bulan di mana perang suci atau jihad dilakukan.

Dengan melihat contoh-contoh tersebut, Ramadan belum tentu dapat menjadi bulan yang mendinginkan dan menenangkan sepenuhnya. Jika begitu, bagaimana dengan Ramadan Indonesia yang diwarnai dengan seruan people power? Mungkinkah people power terjadi pada bulan Ramadan ini?

Dengan bertepatannya pengumuman hasil rekapitulasi Pemilu 2019 oleh KPU yang paling lambat akan dilakukan pada 22 Mei nanti pada bulan Ramadan, tidak menutup kemungkinan people power dapat dilaksanakan apabila hasilnya dianggap tidak berlegitimasi. Beberapa kelompok pun telah menyatakan akan mengadakan aksi pada hari tersebut.

Ijtima Ulama III yang dilakukan beberapa waktu lalu juga merestui strategi gerakan people power yang dilakukan pada bulan Ramadan guna mengatasi berbagai dugaan kecurangan Pemilu. Ketua Gerakan Nasional Pengawal Fatwa (GNPF) Yusuf Muhammad Martak menyebutkan bahwa beberapa perjuangan Nabi Muhammad SAW. juga dilakukan pada bulan Ramadan, seperti Pertempuran Badar.

Terkait perjuangan Rasul pada bulan Ramadan, Juru Kampanye Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Ansufri Idrus Sambo, memberikan empat model people power terkait hasil Pilpres 2019 nanti, yaitu model Pertempuran Badar, model Pertempuran Khandaq, model Perang Tabuk, model Pembebasan (Fathu) Mekkah.

Beberapa perang dan peristiwa tersebut juga memang bertepatan pada bulan Ramadan, seperti Pertempuran Badar, kepulangan Rasul dari Perang Tabuk, dan Pembebasan Mekkah.

Jika melihat berbagai contoh peristiwa dan perjuangan yang terjadi pada bulan Ramadan, tidak menutup kemungkinan people power dapat terjadi dalam beberapa minggu ke depan. Berbagai indikasi kecurangan dalam Pemilu 2019 sendiri juga terus dilaporkan pada dan diproses oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu).

Bisa dipastikan pula bahwa kubu-kubu yang bertarung memanfaatkan momentum bulan Ramadan ini dengan sikap yang berbeda-beda. Ajakan untuk menurunkan tensi politik tentu tidak bisa dipandang dalam dimensi tunggal.

Yang jelas, sesuai dengan apa yang dinyanyikan oleh grup rap Deen Squad di awal tulisan, masyarakat pun siap menghadapi Ramadan, termasuk apabila bertepatan dengan berbagai aksi protes indikasi kecurangan Pemilu 2019. Menarik untuk ditunggu. (A43)

spot_imgspot_img

#Trending Article

Political Mimicry: Dari Anies, Jokowi, Hingga Risma

Gaya komunikasi politik Jokowi, Anies, dan Risma, dianggap jadi acuan keunikan berpolitik di Indonesia. Mungkinkah mereka telah ciptakan sesuatu yang disebut: political mimicry?

Prabowo-SBY: Tomorrow’s Legacy

Di balik momen saling puji Prabowo dan SBY di Universitas Pertahanan, tersirat warisan besar dua jenderal: menjadikan pendidikan sebagai medan strategis. Kedisiplinan, nasionalisme, dan karakter menjadi jawaban mereka atas disrupsi generasi cemas dan krisis moral di era digital.

Blok ROJALIS: Magnet Pertahanan Baru?

Untuk pertama kalinya sejak Orde Baru, industri pertahanan Indonesia terlihat mulai berporos ke Prancis, Turki, dan Italia. Mungkinkah ini awal terbentuknya poros pertahanan baru yang bisa kita sebut: The Rojalis Block?

Bobby: Mr. Controversy or Strongmen Wannabe?

Bobby Nasution mencuri perhatian sebagai Gubernur termuda dengan langkah berani namun sarat kontroversi. Dari anggaran nyeleneh hingga polemik pulau perbatasan, ia tampil di persimpangan antara warisan Jokowi dan ambisi politik mandiri. Sedang membangun citra atau sekadar bayangan dinasti? Mengapa?

Misi Sakral 24.000 Tamtama?

Rekrutmen 24.000 tamtama TNI AD tampak bukan sekadar ekspansi militer, tapi bagian dari visi strategis untuk menjadikan prajurit sebagai agen pembangunan desa dan ketahanan pangan. Mengacu pada model serupa tapi tak sama yang diterapkan Vietnam dan Tiongkok, inilah kiranya wajah baru pertahanan sosial-produktif Indonesia. Benarkah demikian?

Masih Mungkinkah Mengejar AS & Tiongkok?

ASEAN adalah blok regional yang kuat, tapi bahkan gabungan sepuluh negaranya masih jauh tertinggal dibanding dua adidaya dunia: Amerika Serikat dan Tiongkok. Apakah ini pertanda bahwa dunia kini bergerak menuju tatanan geopolitik yang hanya ditentukan oleh dua poros kekuatan besar?

Menertawakan ‘Kesenjangan’ Bersama TikTok

Pernah sebut transportasi umum sebagai shuttle bus? Mungkin, humor ini benar-benar gambarkan kesenjangan sosial, seperti yang ramai di TikTok.

Rahasia Puan & BG di Balik Layar?

Di balik gestur keharmonisan yang kembali terlihat di antara Prabowo Subianto dan Megawati Soekarnoputri, peran aktor kunci di balik layar agaknya cukup krusial. Tak hanya bekerja dalam satu konteks, efek domino politik bukan tidak mungkin tercipta dari andil mereka.

More Stories

Menertawakan ‘Kesenjangan’ Bersama TikTok

Pernah sebut transportasi umum sebagai shuttle bus? Mungkin, humor ini benar-benar gambarkan kesenjangan sosial, seperti yang ramai di TikTok.

Didit Hediprasetyo, the Designer ‘Prince’?

Bagi Didit Hediprasetyo, kecakapannya di dunia estetika bukanlah batasan. Kemampuannya justru menembus batas-batas, termasuk batas politik.

Lady Gaga: ‘Bad Romance’ Indonesia-Singapura?

Dibandingkan Indonesia, Taylor Swift dan Lady Gaga lebih memilih konser di Singapura. Mengapa ini jadi "bad romance” Indonesia-Singapura?