Dengarkan artikel ini:
Audio ini dibuat menggunakan AI.
Seremoni tanam dan/atau panen padi menjadi ritual yang agaknya semi-wajib dilakukan oleh pejabat negara atau politisi. Gibran Rakabuming Raka dan Puan Maharani menjadi spotlight dengan apa yang dilakukannya, di mana tampak merefleksikan makna tertentu yang signifikan.
Baru-baru ini, Wakil Presiden, Gibran Rakabuming Raka menarik perhatian publik ketika menanam padi bersama petani di Ngawi, Jawa Timur. Ia terlihat berjalan maju menggunakan mesin rice transplanter, seolah menggandeng kemajuan teknologi pertanian dengan kesederhanaan politik.
Reaksi warganet di media sosial seketika segera membangkitkan memori kolektif pada adegan serupa tapi tak sama dengan yang diperagakan Ketua DPR RI, Puan Maharani, pada 2022 dan 2021 silam.
Selain menanam dalam situasi rintik hujan, Puan juga pernah berjalan maju menanam padi secara manual, menuai tanggapan beragam di ruang digital.
Momen-momen seperti ini, walau ending-nya terlihat memantik simpul senyum, sesungguhnya sarat makna politis.
Dalam istilah Erving Goffman, peristiwa semacam ini adalah “front stage performance”, di mana para aktor politik menyampaikan pesan bukan hanya melalui kata-kata, melainkan juga melalui gestur, simbol, dan latar peristiwa yang penuh pertimbangan.
Dalam konteks ini, persawahan bukan hanya ruang produksi pangan, melainkan panggung produksi makna politik.
Tentu, apa yang dilakukan Gibran dan Puan tak bisa sekadar dinilai dari penampilan visualnya.
Ada perbedaan teknis dan konteks sosial yang membedakan keduanya. Namun, jika zoom out dilakukan, terdapat pola komunikasi visual yang berulang dan membentuk “ritual politik pertanian” yang lebih luas, yang patut ditelaah secara kritis.
Menyemai Modal Politik?
Secara teoretis, tindakan menanam padi yang dilakukan pejabat publik dapat dipahami melalui konsep politik simbolik dari Murray Edelman. Dalam buku The Symbolic Uses of Politics, Edelman menyebut bahwa simbol politik digunakan untuk menyederhanakan isu kompleks dan menciptakan ilusi keterlibatan pemimpin dalam kehidupan rakyat.
Gambar pejabat yang menanam maupun memanen padi dengan tangan kotor dan kaki berlumur lumpur, tentu menyampaikan pesan “saya bersama kalian, para petani.”
Lengkap dengan semaian benih padi atau segenggam gabah yang diangkat ke udara menciptakan pose foto publikasi kehumasan yang tampak menjadi template pejabat negara +62 di berbagai level.
Pesan ini menyasar dua ranah sekaligus. Pertama, visual populism, yakni usaha memperlihatkan keberpihakan pada rakyat kecil (petani sebagai simbol rakyat marginal).
Kedua, agrarian identity, di mana pejabat menunjukkan bahwa negara masih memiliki semangat agraris di tengah gelombang industrialisasi dan urbanisasi.
Namun, efektivitas pesan ini sangat bergantung pada dua hal yakni konteks politik (misalnya menjelang pemilu, reshuffle kabinet, atau krisis pangan) dan “kecanggihan” publik dalam membaca simbol (masyarakat semakin kritis terhadap pencitraan).
Dalam kasus Gibran dan Puan, kemiripan gestur (sama-sama berjalan maju) justru membuka ruang debat, apakah ini bagian dari strategi komunikasi yang dirancang, atau sekadar mimesis politik belaka?
Gibran menggunakan mesin rice transplanter, sebuah perangkat teknologi yang mengisyaratkan modernisasi, sementara Puan tampil dalam kesederhanaan manual di bawah hujan. Dua gaya berbeda, dua pendekatan yang sama-sama menyasar citra “pemimpin merakyat”.
Namun, ketika simbol terlalu sering digunakan tanpa narasi kebijakan yang konkret, ia rentan menjadi empty signifier, tanda kosong yang bisa diisi apa saja tetapi kehilangan daya transformasionalnya.

Maknanya Apa Bang Messi?
Pertanyaannya kini, sejauh mana aksi tanam padi ini berkontribusi pada transformasi kebijakan pertanian Indonesia secara konkret?
Jika dilihat secara substansial dan dari segi struktur agraria, Indonesia masih menghadapi tantangan akut, yaitu alih fungsi lahan, ketimpangan penguasaan tanah, kerentanan petani terhadap perubahan iklim, dan ketergantungan pada impor pangan pokok.
Menurut kajian Bappenas (2022), sekitar 56% petani kita adalah petani gurem (memiliki lahan < 0,5 ha), dengan rentang usia yang semakin menua.
Dalam situasi seperti ini, simbol semata tidak cukup. Dibutuhkan kebijakan substantif yang menyasar akar masalah. Reforma agraria kiranya bukan hanya redistribusi tanah, tetapi juga reformasi struktur kelembagaan.
Belum lagi persoalan subsidi dan akses teknologi agar tepat guna dan bermuara pada petani kecil yang tak terpinggirkan dalam mekanisasi.
Lalu, proteksi harga dan pasar yang menjadi krusial, terutama bagi petani padi yang menghadapi gejolak harga beras dan permainan tengkulak.
Terakhir, kebijakan dan insentif bagi regenerasi petani, mengingat lebih dari separuh persentase petani Indonesia berusia di atas 45 tahun.
Ironisnya, momen tanam padi politisi seringkali tidak dibarengi dengan diskursus kebijakan semacam itu.
Agenda itu berhenti sebagai seremoni simbolis yang justru memperkuat impresi bahwa pejabat publik masih melihat pertanian sebagai elemen nostalgia, bukan sektor strategis masa depan.
Tanpa konsistensi kebijakan, yang terjadi justru delegitimasi. Narasi visual tak lagi dipercaya, dan rakyat membaca simbol dengan sinisme.
Menanam padi atau komoditas lain memang bisa menjadi gestur politik yang kuat, dengan catatan, diiringi dengan konsistensi kebijakan dan kehadiran negara yang nyata dalam sektor pertanian. Namun, jika hanya menjadi bagian dari to-do list pencitraan yang berulang, itu kiranha akan mengalami kelelahan simbolik.
Indonesia membutuhkan pemimpin yang tidak hanya berani kotor di sawah saat kamera menyala, tetapi juga berani membenahi sistem saat kamera mati. Sawah bukan panggung teatrikal, melainkan ladang nyata bagi perut rakyat dan ketahanan negara.
Sebagaimana disampaikan Clifford Geertz dalam studinya tentang petani Jawa, simbol dan ritual agraris harus dipahami sebagai bagian dari struktur makna yang lebih dalam. Maka, tanam padi bukan sekadar event, tapi harus menjadi bagian dari gestalt politik pertanian, yakni kesatuan utuh antara niat, kebijakan, dan simbol.
Jika tidak, Indonesia hanya akan terus menyaksikan repetisi yang memukau secara visual, tetapi hampa secara substansial. Sawah akan terus jadi tempat para politisi menanam citra, bukan kebijakan. Dan itu, bagi petani kita, tak akan menumbuhkan apa pun. (J61)